BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu kebutuhan manusia adalah berinteraksi dengan sekitar, baik dengan sesama insan ataupun dengan lingkungannya. Interaksi yang dilakukannya bertujuan untuk kelangsungan hidupnya. Salah satu alat yang digunakan insan untuk berinteraksi adalah bahasa. Dengan bahasa seseorang dapat mengungkapkan pikiran, ide, perasaan, dan kemauannya kepada orang lain. Menurut Anwar (1984: 20) bahasa dan masyarakat tidak sanggup dipisahkan, keduanya memiliki korelasi erat, keduanya saling mendukung, oleh karenanya keberadaan bahasa tidak sanggup dilepaskan dari masyarakat pemakainya.
Sejak lahir manusia sudah diajarkan untuk berbahasa sebagai sarana berkomunikasi dengan orang-orang di lingkungannya. Pelajaran bahasa secara formal didapatkan oleh anak-anak mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Salah satu pelajaran bahasa yang ada yaitu pelajaran bahasa Indonesia yang diajarkan melalui sebuah proses belajar mengajar. Dalam interaksi belajar mengajar ada dua pelaku utama yaitu guru dan siswa. Dalam proses pembelajaran yang baik yaitu siswa yang harus aktif dalam proses pembelajaran, tidak seperti proses pembelajaran konvensional di mana siswa hanya menjadi pendengar dikala guru membuktikan materi, tetapi siswa yang lebih banyak bicara perihal materi, mirip dalam diskusi kelompok, siswa diarahkan oleh guru agar siswa mau bertukar pikiran dengan teman-teman sekelasnya. Media yang digunakan dalam proses diskusi tersebut adalah melalui komunikasi lisan.
Pemakaian bahasa Indonesia pada siswa dari perkotaan berbeda dengan siswa kawasan pedesaan. Kegiatan belajar mengajar pada siswa yang bersekolah di kawasan perkotaan mayoritas menggunakan bahasa Indonesia, lantaran bahasa ibu yang digunakan oleh siswa adalah bahasa Indonesia. Berbeda dengan siswa yang bersekolah di kawasan pedesaan mereka lebih sering berkomunikasi verbal menggunakan bahasa daerah. Hal tersebut yang menjadi masalah saat pelajaran bahasa Indonesia berlangsung. Di sekolah kawasan pedesaan guru harus lebih berkerja keras dalam mendekatkan siswa pada bahasa Indonesia, bagi siswa yang terbiasa menggunakan bahasa daerah contohnya siswa yang berasal dari daerah Sunda maka mereka saat pelajaran bahasa Indonesia berlangsung pun siswa akan kesulitan menyesuaikan diri dengan harus berkomunikasi lisan dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Di sekolah menengah pertama, pelajaran Bahasa Indonesia menjadi salah satu pelajaran wajib. Seharusnya siswa sudah bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam situasi formal mirip saat kegiatan pembelajaran berlangsung atau dikala siswa melaksanakan acara diskusi kelompok, bagi siswa yang berasal dari daerah pedesaan akan kesulitan lantaran mereka tidak terbiasa menggunakan bahasa tersebut.
Salah satu sekolah menengah pertama yang terletak di kawasan pedesaan adalah SMP Negeri 2 CIBALIUNG, di kecamatan CIBALIUNG, Kabupaten Pandeglang. Siswa yang bersekolah di Sekolah Menengah Pertama terserbut umumnya berasal dari desa-desa di sekitar sekolah, seperti Desa Mekarwangi, Sodong, Ciandur. Lokasi sekolah berjarak 20 km dari selatan kota Pandeglang. Siswa di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 CIBALIUNG mempunyai latar bahasa yang berbeda-beda, namun sebagian besar mereka berasal dari keluarga petani yang kesehariannya menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari, bahkan beberapa dari mereka ada yang masih canggung menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan dikala berguru mengajar berlangsung mirip dikala berdiskusi kelompok. Beberapa fakta yang dijelaskan di atas menimbulkan masalah yang tidak ditemui pada siswa-siswa di sekolah daerah perkotaan yang sudah biasa menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari, atau paling tidak mereka tidak canggung berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Siswa-siswa yang bersekolah di Sekolah Menengah Pertama daerah pedesaan mirip Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 CIBALIUNG, Kabupaten Pandeglang tentunya berbeda dengan siswa dari perkotaan yang sudah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia.. Studi masalah ini dilakukan untuk memperoleh data empirik yang terkait dengan pemunculan alih kode dan campur kode dalam proses diskusi kelompok bahasa Indonesia di kelas VII-A, VII-B, VIII-A, VIII-B,VIIIC IX-A, IX-B, IXC Sekolah Menengah Pertama Negeri CIBALIUNG, mirip persepsi guru terhadap peristiwa alih kode dan campur kode yang terjadi pada siswa, jenis-jenis atau bentuk alih kode dan campur kode, dan faktor penyebab munculnya alih kode dan campur kode. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang muncul pada pembelajaran bahasa Indonesia (aktivitas diskusi) pada sekolah menengah pertama di kawasan pedesaan agar menjadi perhatian khusus bagi guru-guru yang mengajar di sekolah daerah pedesaan.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan fokus penelitian dalam penelitian ini ialah “Bagaimana Alih Kode dan Campur Kode dalam Pemakaian Bahasa Indonesia Pada Aktivitas Diskusi Siswa di Sekolah Menengah Pertama 2 CIBALIUNG?”
C. Rumusan Masalah
Adapun rumusan duduk kasus dalam penelitian ini ialah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah persepsi guru terhadap peristiwa alih kode dan campur kode dalam aktivitas diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 CIBALIUNG, Kabupaten Pandeglang?
2. Bagaimanakah bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 CIBALIUNG, Kabupaten Pandeglang?
3. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode dalam proses diskusi kelompok pada pelajaran Bahasa Indonesia di kelas Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 CIBALIUNG, Kabupaten Pandeglang?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan menjelaskan hal-hal di bawah ini.
1. Persepsi guru terhadap peristiwa alih kode dan campur kode dalam acara diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 CIBALIUNG, Kabupaten Pandeglang.
2. Bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 CIBALIUNG, Kabupaten Pandeglang.
3. Faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode dalam proses diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di kelas Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 CIBALIUNG, Kabupaten Pandeglang.
E. Kegunaan Penelitian
1. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat untuk mendapatkan hasil penelitian perihal persepsi guru, bentuk , dan faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode dalam proses diskusi kelompok Bahasa Indonesia di kelas VIII Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 CIBALIUNG, Kabupaten Pandeglang.
2. Bagi guru, penelitian ini sanggup menjadi masukan untuk menggunakan bahasa yang tepat dalam mengajarkan materi sehingga materi dapat tersampaikan kepada peserta didik (siswa) dengan jelas dan peserta didik dapat menangkap materi dengan baik.
3. Bagi siswa, sanggup menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
4. Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam upaya mengadakan penemuan pembelajaran bagi para guru bahasa Indonesia yang lain, dan meninggalkan taktik pembelajaran yang monoton (konvensional), selain itu sekolah akan mendapatkan siswa yang mempunyai kemampuan berbahasa yang baik.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Deskripsi Konseptual
1. Hakikat Bahasa
Bahasa berdasarkan teori struktural sanggup didefinisikan sebagai suatu sistem tanda arbitrer yang konvensional (Soeparno, 2002: 1). Anderson (dalam Tarigan, 1989: 4) mengemukakan adanya delapan prinsip dasar mengenai hakikat bahasa: yaitu sebagai berikut, (1) bahasa adalah suatu sistem, (2) bahasa adalah vokal (bunyi ujaran), (3) Bahasa tersusun dari lambang-lambang arbitrer, (4) setiap bahasa bersifat unik (khas), (5) bahasa dibangun dari kebiasaan-kebiasaan, (6) bahasa ialah alat komunikasi, (7) bahasa berhubungan erat dengan budaya tempat berada, dan (8) bahasa selalu berubah-ubah.
Douglas (dalam Tarigan, 1989: 5-6), setelah menelaah batasan bahasa dari enam sumber, menciptakan rangkuman sebagai berikut.
a. Bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, barangkali juga oleh sistem generatif.
b. Bahasa adalah seperangkat lambang-lambang manasuka atau simbol-simbol arbitrer.
c. Lambang tersebut terutama sekali bersifat vokal tetapi mungkin juga bersifat visual.
d. Lambang-lambang atau simbol-simbol tersebut mengandung makna konvensional.
e. Bahasa dipergunakan sebagai alat komunikasi atau sarana pergaulan sesama insan manusia.
f. Bahasa beroperasi dalam suatu masyarakat bahasa (a speech community) atau budaya.
g. Bahasa pada hakikatnya bersifat manusiawi, walaupun mungkin tidak terbatas pada insan saja.
h. Bahasa diperoleh semua orang atau bangsa dengan cara yang hampir atau banyak bersamaan; bahasa dan pembelajaran bahasa mempunyai ciri-ciri kesemestaan.
Bahasa juga dapat diartikan sebagai sarana komunikasi manusia yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk memberikan informasi kepada orang lain.
2. Ragam Bahasa
Bahasa mempunyai beberapa ragam, Joos (dalam Nababan, 1993: 22) membagi gaya atau ragam bahasa menjadi lima, yaitu sebagai berikut.
a. Ragam Baku
Ragam baku ialah ragam bahasa yang paling resmi yang dipergunakan dalam situasi-situasi yang khidmat dan upacara resmi. Dalam bentuk tertulis ragam beku ini terdapat dalam dokumen-dokumen bersejarah mirip undang-undang dasar dan dokumen penting lainnya.
b. Ragam Resmi
Ragam resmi ialah ragam bahasa yang dipakai dalam pidato-pidato resmi, rapat dinas, atau rapat resmi pimpinan suatu badan.
c. Ragam Usaha
Ragam usaha adalah ragam bahasa yang sesuai dengan pembicaraan-pembicaraan biasa di sekolah, perusahaan, dan rapat-rapat usaha yang berorientasi kepada hasil atau produksi; dengan kata lain, ragam ini berada pada tingkat yang paling operasional.
d. Ragam Santai
Ragam bahasa santai antarteman dalam berbincang-bincang, rekreasi, berolah raga, dan sebagainya.
e. Ragam Akrab
Ragam akrab adalah ragam bahasa antaranggota yang akrab dalam keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara lengkap dengan artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan ucapan pendek. Hal ini disebabkan oleh adanya saling pengertian dan pengetahuan satu sama lain. Dalam tingkat inilah banyak dipergunakan bentuk-bentuk dan istilah-istilah (kata-kata) khas bagi suatu keluarga atau kelompok.
3. Kontak Bahasa
Bahasa tidak akan pernah lepas dari insan dan kehidupan manusia. Bahasa tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dalam masyarakat yang terbuka di mana tiap-tiap individu dapat menerima kehadiran individu lain maka akan terjadi kontak bahasa. Crystal (dalam Ponulele, 1994: 24) menyatakan bahwa kontak bahasa adalah istilah yang digunakan dalam sosiolinguistik untuk mengacu pada situasi kontinuitas geografis atau kekerabatan antarbahasa atau antar dialek (jadi ada saling berpengaruh). Menurut Chaer (1994: 65) bahasa masyarakat yang datang akan mempengaruhi bahasa masyarakat yang dimasuki. Hal yang sangat menonjol yang bisa terjadi dari adanya kontak bahasa ini adalah terjadinya bilingualisme dan multilingualisme, dengan berbagai macam kasusnya, seperti interferensi, integrasi, alih kode, dan campur kode.
Mackey (dalam Rusyana, 1989: 4) menyatakan bahwa kontak bahasa ialah pengaruh suatu bahasa kepada bahasa lainnya yang menimibulkan perubahan dalam langue, dan menjadi milik tetap bukan saja dwibahasawan melainkan juga ekabahasawan. Kontak bahasa itu berlangsung bukan hanya dalam diri perorangan melainkan dalam situasi kemasyarakatan, yaitu tempat seseorang mempelajari bahasa kedua itu. Oleh karena itu kontak bahasa dianggap merupakan bagian dari kontak yang lebih luas, yaitu kontak budaya. Kontak bahasa terjadi dalam diri penutur secara individual. Kontak bahasa itu terjadi dalam situasi konteks sosial, yaitu situasi dikala seseorang berguru bahasa kedua di dalam masyarakatnya (Suwito, 1985: 39).
Dari beberapa pendapat pakar bahasa di atas sanggup disimpulkan bahwa kontak bahasa manusia itu dipengaruhi oleh norma-norma dan nilai sosial. Jadi dalam sosiolinguistik pengkajian bahasa harus disesuaikan dengan kehidupan manusia dan sekitarnya, baik sosial maupun budaya.
4. Bilingualisme
Bilingualisme dalam bahasa Indonesia sering disamakan dengan kedwibahasaan. Bilingualisme menurut Mackey dan Fishman (dalam Chaer, 1995: 112) diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seseorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Senada dengan pendapat Mackey dan Fishman, Kridalaksana (1974: 25) menyatakan bahwa bilingualisme ialah penggunaan dua bahasa secara berganti-ganti oleh satu orang atau satu kelompok. Ketika seseorang menggunakan dua bahasa dalam pergaulannya dengan orang lain, ia berdwibahasa dalam arti beliau melaksanakan kedwibahasaan yang disebut dengan bilingualisme (Dako, 2004: 269).
Dalam KUBI ( 1996: 185) bilingualisme didefinisikan sebagai hal penguasaan atas dua bahasa oleh penutur bahasa di suatu masyarakat bahasa, sedangkan bilingual berarti mengenal dua bahasa dengan baik: bangsa Indonesia kebanyakan mengenal bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Haugen (dalam Muharam, 2011: 199) berpendapat kedwibahasawan adalah tahu dua bahasa. Jika diuraikan secara lebih umum maka pengertian kedwibahasawan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseptif oleh seorang individu atau oleh masyarakat.Kedwibahasawan dengan tahu dua bahasa, cukup mengetahui dua bahasa secara pasif atau aktif.
Nababan (1984: 32) menyebut bilingualisme dengan bilingualitas yang berarti kemampuan dalam dalam dua bahasa. Menurut Nababan, bilingualitas sanggup dibagi menjadi dua mirip berikut.
a. Bilingualitas sejajar yaitu korelasi antara kemampuan dalam kedua bahasa pada orang yang berdwibahasa secara penuh dan seimbang, kemampuan dan tindak laris kedua bahasa itu ialah terpisah dan bekerja sendiri-sendiri.
b. Bilingualitas majemuk terjadi ketika dalam keadaan belajar bahasa kedua setelah menguasai satu bahasa (bahasa pertama atau utama) dengan baik, khususnya dalam berguru bahasa kedua atau absurd di sekolah.
Rahardi (2001: 15) menegaskan bahwa kedwibahasaan ialah peguasaan atas paling tidak dua bahasa yakni bahasa pertama dan bahasa kedua. Ahli lain, Nababan berpendapat kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa daam interaksi dengan orang lain (1984: 27). Menurut Mackey (dalam Kunjana Rahardi, 2001: 14) memberikan gambaran tentang kedwibahasaan sebagai gejala tuturan. Kedwibahasaan dianggapnya sebagai karakteristik pemakaian bahasa, yakni praktik pemakaian bahasa secara bergantian yang dilakukan oleh penutur. Pergantian dalam pemakaian bahasa tersebut dilatarbelakangi dan ditentukan leh situasi dan kondisi yang dihadapi oleh penutur itu dalam tindakan bertutur.
Kridalaksana (dalam Paul Ohoiwutun, 2002: 67) membagi kedwibahasaan dalam tiga kategori.
a. Bilingualisme koordinat, dalam tanda-tanda ini penggunaan bahasa dengan dua atau lebih sistem bahasa yang terpisah. Seorang bilingual koordinat, ketika menggunakan satu bahasa tidak menampakkan unsur-unsur bahasa dari bahsa lain. Pada waktu beralih ke bahasa lainnya tidak terjadi pencampuran sistem.
b. Bilingualisme beragam sering “mengacaukan” unsur-unsur dari kedua bahasa yang dikuasainya. Kadang-kadang kita menyaksikan orang-orang Indonesia yang bekerja sebagai buruh Malaysia melakuakan “kekacauan”dimaksud (linguistic interference).
c. Kedwibahasaan sub-ordinat. Fenomena ini terjadi pada seseorang atau masyarakat yang menggunakan dua sistem bahasa atau lebih secara terpisah. Biasanya masih terdapat proses penerjemahan. Seseorang yang bilingual sub-ordinate masih cederung mencampur-adukkan konsep-konsep bahasa pertama ke dalam bahasa kedua atau bahasa absurd yang dipelajari.
Menurut Ponulele (1994: 25) di dalam bilingualism terdapat para penutur yang menguasai dua bahasa atau lebih dan mereka disebut bilingual. Istilah ini bersifat relatif sekali, dalam arti belum diperoleh kesatuan pendapat dari para mahir bahasa tentang batas-batas kemampuan penguasaan bahasa seseorang untuk sanggup dikatakan sebagai seorang bilingual. Bloomfield (dalam Ponulele, 1994: 24) merumuskan bilingual sebagai native like of two language, dengan pengertian bahwa bilingual ialah seorang penutur yang bisa menggunakan dua bahasa yang sama baiknya. Kaprikornus berdasarkan Bloomfield seseorang gres sanggup menyandang gelar bilingual apabila dia mampu menggunakan secara aktif kedua hahasa sebagaimana kemampuan dikala ia menggunakan bahasa ibunya.
Crystal (dalam Ponulele, 1994:24) berpendapat yang mendukung pendapat Bloomfied dengan mengatakan bahwa seseorang dikatakan bilingual bilamana beliau bisa menguasai beberapa bahasa dengan fasih dan lancar, akan tetapi dijelaskan lagi bahwa rumusan ini mengacu pada kriteria yang terlalu ekstrim, orang yang meguasai dua bahasa secara sempurna memang ada, namun hal ini merupakan kecualian bukanlah keharusan. Sebagian besar bilingual sebetulnya didak mampu menguasai dua bahasa dengan kadar kualitas yang sama. Biasanya penguasaan bahasa ibu lebih fasih daripada penguasaan bahasa kedua. Sebagai contoh dikala seseorang dilahirkan di Jawa Tengah, dan setelah cukup umur ia bekerja dan menetap di Jakarta, walaupun beliau sudah mahir berkomunikasi dengan bahasa Indonesia lantaran dikala bersekolah di Jawa tengah pun ia mendapakan pelajaran bahasa Indonesia namun ia akan lebih menguasai bahasa daerahnya, dan dikala ia bertemu dengan orang dari asal wilayahnya beliau akan menentukan berkomunikasi dengan bahasa daerah (Jawa).
Bilingualisme yang sering terjadi di Indonesia adalah bilingualisme bahasa daerah dengan bahasa Indonesia. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut sanggup disimpulkan bahwa kedwibahasaan adalah penguasaan dua bahasa yang dilakukan secara bergantian dan berdasarkan situasi yang ada. Jadi, seseorang secara bergantian menggunakan dua bahasa yang berbeda berdasarkan situasi dan kondisi di mana penutur melaksanakan tindak tutur.
5. Pengertian Kode
Kode ialah suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri-ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan bicara, dan situasi tutur yang ada. Kode biasanya berbentuk varian-varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota-anggota masyarakat bahasa (Poedjosoedarmo, 1976: 3).
Suwito (1985: 67) menyatakan bahwa kode ialah salah satu varian di dalam hierarkhi kebahasaan yang dipakai dalam komunikasi. Suwito juga menyatakan bahwa alat komunikasi yang merupakan varian dari bahasa dikenal dengan istilah kode. Dengan demikian, maka dalam bahasa terkandung beberapa macam kode.
Menurut Richards (dalam Ponulele, 1994: 26) menyatakan bahwa kode ialah istilah yang digunakan sebagai pengganti bahasa, ragam tutur, atau dialek.
Dari pendapat-pendapat di atas sanggup di simpulkan bahwa kode ialah istilah untuk menyebut bahasa atau ragam bahasa, dalam pebicaraan sesorang tentu mengirimkan kode-kode tertentu kepada lawan bicaranya, dengan kode-kode tersebut maka penutur dan lawan tutur sanggup berkomunikasi dengan lancar.
Ponulele (1994:21) merumuskan hubungan hierarki antara kontak bahasa, bilingualisme, alih kode, dan campur kode sanggup digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1. Hubungan antara Bahasa, Bilingualisme, Alih Kode, dan Campur Kode.
Kaprikornus adanya bilingualisme disebabkan terjadinya kontak bahasa, dan akan menimbulkan munculnya tanda-tanda kebahasaan yaitu alih kode dan campur kode.
6. Alih Kode
a. Pengertian Alih Kode
Dalam keadaaan kedwibahasaan (bilingualisme), akan sering terdapat orang mengganti bahasa atau ragam bahasa, hal ini tergantung pada keadaan atau keperluan berbahasa itu. Kejadian itu disebut alih kode. Konsep alih kode ini mencakup juga kejadian beralihnya satu ragam bahasa (umpamanya ragam santai) ke ragam lain (umpamanya ragam formal), atau dari satu dialek ke dialek lain dan sebagainya (Nababan, 1993: 31-32).
Pengartian alih kode berdasarkan Kamal (2012) ialah Alih kode pada hakikatnya merupakan pergantian pemakaian bahasa atau dialek. Rujukannya ialah komunitas bahasa atau dialek.
Appel (dalam Chaer, 1995: 141) mendefinisikan alih kode sebagai “gejala peralihan pemakaian bahasa lantaran berubahnya situasi.”. Gumperz (dalam, Gulzar 2010: 26) code-switching is: "the juxtaposition within the same speech exchange of passages of speech belonging to two different grammatical systems or sub-systems”. yaitu, alih kode adalah penjajaran dalam pertukaran bahasa yang sama dari bagian-bagian dari bahasa yang termasuk dua sistem tata bahasa yang berbeda atau sub-sistem.
Hymes (dalam Chaer, 1995: 142) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Menurut Wardaugh (dalam Dako, 2004: 271) ada dua jenis alih kode, yaitu alih kode situasional dan metaforis.
Alih kode situasional terjadi pada dikala perubahan bahasa berdasarkan kebutuhan situasi yang dikenal oleh penutur itu sendiri, dimana dalam sebuah situasi mereka berbicara dengan sebuah bahasa dan pada situasi lain mereka berbicara dengan bahasa lain. Alih kode metaforis memiliki dimensi afektif dimana kita menegaskan kembali kode dengan perubahan, baik dari situasi formal ke stuasi informal, resmi ke keadan santai, serius ke keadaan humor, dan lain sebagainya.
Alih kode yaitu beralih dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain pada waktu ia berbicara atau menulis (Rusyana, 1989: 24). Menurut Suwito (1985: 68) alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Namun, di dalam suatu kode terdapat banyak sekali kemungkinan varian (baik varian regional, varian kelas sosial, ragam, gaya, ataupun register) sehingga insiden alih kode mungkin berwujud alih varian, alih ragam, dan alih gaya atau alih register. Peralihan demikian sanggup diamati baik lewat tingkat-tingkat tata bunyi, tata kata, tata kalimat, maupun wacananya.
Crystal (dalam Skiba, 1997) beropini suggests that code, or language, switching occurs when an individual who is bilingual alternates between two languages during his/her speech with another bilingual person. A person who is bilingual may be said to be one who is able to communicate, to varying extents, in a second language.
Hal tersebut memperlihatkan bahwa pengalihan kode atau bahasa, sering terjadi ketika seseorang yang mempunyai kemampuan menguasai lebih dari satu bahasa mengganti bahasanya pada saat berbicara dengan orang lain yang memiliki dua bahasa bisa dikatakan menjadi salah satu yang bisa berkomunikasi, pada tingkat yang bervariasi dalam bahasa kedua.
Poedjosoedarmo (1976: 20) mengemukakan bahwa insiden alih kode melibatkan peralihan kalimat. Dari banyak sekali pendapat di atas alih kode sanggup didefinisikan sebagai peristiwa peralihan pemakaian bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain atau dari satu ragam bahasa ke ragam bahasa lain. Dalam tanda-tanda kebahasaan (campur kode) ini faktor paling menetukan adalah penutur, dikala seorang penurut sedang melakukan campur kode, maka harus diketahui identitasnya, mirip tingkat pendidikannya, agama, ras, latar belakang sosial, dan lainnya. Setelah itu baru unsur kebahasaan yang menetukan terjadinya alih kode. dengan makin banyak bahasa yang dikausai oleh seorang penutur dari latar belakang pendidikannya, makin luas kemungkinan untuk bercampur kode. dari penjabaran tersebut, ada dua tipe yang menjadi latar belakang terjadinya alih kode, yaitu; latar belakang sikap dan latar belakang kebahasaan.
b. Ciri- ciri Alih Kode
Ciri-ciri alih kode berdasarkan Suwito (1985: 69) ialah sebagai berikut.
a. Masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya.
b. Fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks.
c. Macam-macam Alih Kode
Suwito (1985: 69) membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu sebagai berikut.
a. Alih kode intern
Alih kode intern adalah pergantian atau peralihan pemakaian bahasa yang terjadi antardialek, antarragam, atau antargaya dalam lingkup satu bahasa.
b. Alih kode ekstern
Alih kode ekstern adalah perpindahan pemakaian bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain yang berbeda. Perpindahan tersebut sanggup berupa perpindahan dari satu bahasa daerah ke bahasa daerah lain, perpindahan dari bahasa daerah ke bahasa nasional, perpindahan dari bahasa daerah ke bahasa asing, dan perpindahan dari bahasa nasional ke bahasa asing.
Alih kode intern yang biasanya terjadi dalam pembelajaran di sekolah yaitu alih kode ragam resmi dan ragam santai, alih kode ragam resmi dan ragam usaha, alih kode ragam resmi dan ragam beku, serta alih kode ragam santai dan ragam usaha. Sedangkan alih kode ekstern yang sering terjadi yaitu alih kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, serta alih kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Poedjosoedarmo (1976: 14-20) membagi alih kode menjadi dua macam yaitu sebagai berikut.
a) Alih kode sementara
Alih kode sementara yaitu pergantian kode bahasa yang dipakai oleh seorang penutur berlangsung sebentar. Pergantian itu bisa hanya berlangsung pada satu kalimat lalu pembicaraan kembali lagi ke kode biasanya.
b) Alih kode permanen
Alih kode permanen adalah alih kode yang sifatnya permanen. Alih kode permanen terjadi apabila penutur secara tetap mengganti kode bicaranya lawan tutur. Tidak mudah bagi seseorang untuk mengganti kode bicaranya terhadap seseorang lawan bicara secara permanen, sebab pergantian ini biasanya berarti adanya pergantian sikap relasi terhadap lawan bicara secara sadar.
d. Faktor Penyebab Alih Kode
Chaer (1995: 143) menyebutkan yang menjadi penyebab alih kode yaitu: (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, dan (5) perubahan topik pembicaraan.
Beberapa faktor penyebab alih kode menurut Suwito (1985: 72-74) sebagai berikut.
a) Penutur, alasan penutur yang melakukan alih kode dengan maksud tertentu. Seorang penutur atau pembicara terkadang melakukan alih kode terhadap mitra tuturnya karena ada maksud dan tujuan tertentu.Misalnya, seorang mahasiswa setelah beberapa saat berbicara dengan dosennya mengenai nilai mata kuliahnya yang belum tuntas dan beliau baru tahu bahwa dosennya itu berasal dari daerah yang sama dan juga mempunyai bahasa ibu yang sama pula. Agar urusannya cepat selesai, maka mahasiswa tersebut melaksanakan alih kode dari bahasa indonesia ke bahasa daerahnya agar semuanya bisa berjalan lancar dalam mengurus nilainya.
b) Lawan tutur. Lawan bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode lantaran sipenutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa lawan bicaranya. Misalnya, penutur bugis berusaha mengimbangi lawan bicaranya yang kebetulan orang mandar dengan menggunakan bahasa mandar pula.
c) Hadirnya penutur ketiga, misalnya alih kode tersebut dilakukan untuk menetralisasi situasi dan sekaligus menghormati. Perubahan situasi karena hadirnya orang ketiga Kehadiran orang ketiga yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama dengan yang di gunakan oleh penutur dan lawan bicara yang sedang berbicara. Misalnya, si A dan si B sementara bercakap bugis, kemudian si C tiba-tiba datang dan tidak menguasai bahasa bugis. Dengan demikian si A dan si B beralih kode dari bahasa bugis ke bahasa indonesia.
d) Pokok pembicaraan (topik). Topik pembicaraan merupakan hal dominan yang menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapakan dengan ragam baku dengan gaya netral dan serius. Sedangkan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa tak baku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.
e) Untuk membangkitkan rasa humor, untuk menyegarkan suasana. Dalam sebuah pembicaraan biasanya orang akan melakukan alih kode guna membangkitkan rasa humor dalam pembicaraan, biar suasana yang taginya serius dan tegang sanggup mencair dan lebih santai.
f) Untuk sekedar bergengsi. Walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor situasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadinya alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan dan cenderung tidak komunikatif.
Beberapa alasan beralih kode yang dikemukakan oleh Kammarudin (1989: 60-62) mirip berikut.
1) Karena sulit membicarakan topik tertentu pada bahasa tertentu.
2) Guna dasar pengalihan bahasa ke bahasa lain.
3) Untuk menegaskan sesuatu hal atau untuk mengakhiri kontradiksi yang sedang terjadi di kalangan pembicara.
4) Untuk mengeksklusifkan seseorang dari suatu situasi percakapan.
5) Mengutip ucapan orang lain.
6) Menekankan solidaritas kelompok.
7) Mengistimewakan yang disapa.
8) Menjelaskan hal yang telah disebutkan.
9) Membicarakan insiden yang telah lalu.
10) Untuk meningkatkan status atau gengsi atau kekuasaan atau keahlian seseorang.
Dari ketiga pendapat tentang faktor penyebab alih kode yang telah dikemukakan di atas, sanggup disimpulkan faktor-faktor penyebab alih kode ialah sebagai berikut.
1) Penutur, alasan penutur yang melakukan alih kode dengan maksud tertentu.
2) Lawan tutur, alasan lawan tutur mirip untuk mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan tuturnya.
3) Perubahan situasi hadirnya orang ketiga.
4) Perubahan topik pembicaraan.
5) Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya.
6) Untuk membangkitkan rasa humor, untuk menyegarkan suasana.
7) Untuk sekedar bergengsi.
8) Untuk menegaskan sesuatu hal atau untuk mengakhiri kontradiksi yang sedang terjadi di kalangan pembicara.
9) Mengutip ucapan orang lain.
10) Menekankan solidaritas kelompok.
11) Membicarakan insiden yang telah lalu.
12) Guna dasar pengalihan bahasa ke bahasa lain.
e. Fungsi Alih Kode
Fungsi alih kode merujuk pada apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan peralihan kode tersebut. Fungsi alih kode dan fungsi campur kode hampir sama. Di bawah ini adalah fungsi alih kode yang dikemukakan oleh Kammarudin (dalam Wulandari, 2002: 21).
1) Untuk menegaskan suatu hal atau untuk mengakhiri pertentangan yang sedang terjadi antara penuturnya.
2) Untuk mengakrabkan atau menekankan solidaritas kelompok.
3) Untuk mengutamakan yang disapa atau untuk menghormati.
4) Untuk meningkatkan status, gengsi, kekuasaan, atau keahlian berbahasa.
5) Untuk mengutip ucapan orang lain, misalnya ingin mengutip ucapan orang lain dengan bahasa lain.
Jadi, alih kode yang dilakukan oleh seorang penutur niscaya mempunyai fungsi tertentu sesuai dengan alasan penutur tersebut beralih kode. Dari faktor penyebab atau alasan penutur beralih kode, sanggup disimpulkan bahwa fungsi alih kode antara lain untuk menyantaikan, menegaskan, membujuk, menghormati, menyegarkan, dan menerangkan. Alih kode berguna sebagai strategi komunikasi untuk memberikan informasi.
7. Campur Kode
a. Pengertian Campur Kode
Di antara sesama penutur yang bilingual atau multi lingual, sering dijumpai sebagai suatu kekacauan atau interferensi bahasa (performance interference). Fanomena ini berbentuk penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa tertentu dalam satu kalimat atau wacana bahasa lain. Gejala tersebut dinamai campur kode (code mixing) (Paul Ohoiwutun, 2002: 69). Menurut Nababan (1993: 32) campur kode adalah suatu tindak bahasa bilamana orang yang mencampur dua (lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa. Nababan (dalam Paul Ohoiwutun, 2002: 69) juga menyatakan bahwa campur kode adalah “penggunaan lebih dari satu bahasa atau kode dalam satu wacana berdasarkan pola-pola yang masih belum jelas”. Di Indonesia tanda-tanda campur kode tersebut sering disebut dengan “ gado-gado”yang diibaratkan dengan sajian gado-gado, yakni adonan dari beragam sayuran. Realita yang terjadi di Indonesia yaitu pencampuran pengguaan bahasa Indonesia dengan bahasa daerah tertentu.
Weinreich (dalam Paul Ohoiwutun, 2002: 69) menamai campur kode sebagai “mixed grammer”. Campur kode didefinisikan sebagai pemakaian satuan bahasa dari bahasa satu ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa termasuk di dalamnya pemakaian kata atau sapaan.
b. Ciri-ciri Campur Kode
Suwito (1985: 75-76) mengemukakan dalam campur kode terdapat ciri-ciri khusus antara lain sebagai berikut.
1) Unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri, unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi.
2) Dalam kondisi yang maksimal, campur kode merupakan konvergensi kebahasaan, unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah meninggalkan fungsi-fungsi dan mendukung bahasa yang disisipinya
3) Unsur-unsur bahasa yang terlibat dalam campur kode terbatas pada tingkat frase saja.
Selain itu, juga masih ada ciri lain campur kode yaitu korelasi timbal balik antar peran dengan fungsi kebahasaan. Peran adalah siapa yang bercampur kode, fungsi kebahasaan adalah apa yang hendak dicapai oleh penutur dalam tuturannya.
c. Macam-macam Campur Kode
Suwito (1985: 78-79) menyebutkan beberapa macam campur kode yang berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya yaitu sebagai berikut.
1) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata.
Kata-kata sebagai sebuah kode yang disisipkan di dalam kode utama atau kode dasar dari bahasa lain merupakan unsur yang menimbulkan terjadinya campur kode dalam insiden berbahasa. Menurut Oka dan Suparno (1994: 25), kata adalah serapan satuan bahasa yang terbentuk dari satu morfem atau lebih. Contoh : seorang pemimpin harus mengayomi rakyat lahir dan batin “seorang pemimpin harus sanggup melindungi rakyat lahir batin.”
2) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa.
Frasa ialah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa (Ramlan, 1987: 151). Frase dari bahasa lain yang disisipkan oleh penutur dwibahasawan ke dalam kode dasar menimibulkan adanya campur kode dalam tindak tutur masyarakat. Chaer (1998: 301) berpendapat bahwa frasa merupakan gabungan dua buah kata atau lebih yang merupakan satu kesatuan, dan menjadi salah satu unsur atau fungsi kalimat (subjek, predikat, objek, keterangan). Contoh : anak korban tabrak lari itu sudah dibawa ke rumah sakit. “anak korban tabrak lari itu sudah dibawa ke balai pengobatan.
3) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster.
Bentuk baster yaitu suatu bentuk bahasa akibat adanya penggabungan kata dasar (asal bahasa Indonesia) dengan kata tambahan (asal bahasa Inggris) contohnya kata dasar hutan + imbuhan isasi menjadi hutanisasi. Bentuk ini juga mengakibatkan adanya campur kode dalam masyarakat bilingual. Menurut Thelender (dalam Suwito, 1985: 75), baster merupakan klausa-klausa yang berisi campuran dari beberaa variasi yang berbeda. Contoh : semua data yang ada di komputer itu jangan lupa dibackup sebelum diinstal ulang. “semua data yang ada di komputer itu jangan lupa disimpan ulang di folder yang berbeda sebelum computer diinstal ulang.
4) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud pengulangan kata.
Unsur berupa pengulangan kata yang diambil dari bahasa lain yang disisipkan ke dalam kode dasar menimbulkan campur kode dalam interaksi sosial. Pengulangan tersebut dapat berupa pengulangan seluruh kata dasar, pengulangan sebagian dari dasar, dan pengulangan yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks. Contoh : dana itu turun bebarengan dengan kenaikan harga sembako. “dana itu turun bersamaan dengan kenaikan harga sembako.”
5) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom.
Unsur-unsur ungkapan dari bahasa lain dimasukkan ke dalam kode dasar akan membentuk campur kode dalam peristiwa tutur. Menurut Kridalaksana, 1985: 80) ungkapan atau idiom ialah kontruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya.
6) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa.
Klausa dijelaskan sebagai satuan gramatikal yang terdiri dari subjek dan predikat, baik disertai objek, pelengkap, keterangan atau tidak. Klausa dari bahasa lain yang dimasukkan ke dalam kode dasar akan menyebabakan campur kode dalam peristiwa tutur. Oka dan Suparno, (1994: 26) klausa merupakan satuan gramatikal unsur pembentuk kalimat yang bersifat predikatif. Contoh : pemimpin yang bijaksana akan selalu bertindak ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. “pemimpin yang bijaksana akan selalu bertindak di depan emberi teladan, di tengah mendorong semangat, di belakang mengawasi.”
d. Faktor Penyebab Campur Kode
Suwito (1985: 77) mengemukakan latar belakang terjadinya campur kode pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua tipe yaitu tipe yang berlatar belakang pada sikap dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan. Alasan atau penyebab lain yang mendorong terjadinya campur kode ialah sebagai berikut.
1). Identifikasi peranan.
Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral, dan edukasional.
2). Identifikasi ragam.
Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa di mana seorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarkhi status sosialnya.
3) Keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan tampak karena ca mpur kode juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain dan sikap dan korelasi orang lain terhadapnya.
Suwito (1985: 78) juga menyatakan campur kode terjadi karena ada timbal balik antara peranan atau siapa yang memakai bahasa itu dan fungsi kebahasaan atau apa yang ingin dicapai penutur dalam tuturannya. Artinya, penutur mempunyai latar belakang sosial tertentu cenderung memilih bentuk campur kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu.
Campur kode dilakukan oleh penutur baik secara sadar maupun tidak sadar. Campur kode yang dilakukan secara sadar apabila penutur mempunyai tujuan tertentu, menunjuk ke suatu hal yang tidak dapat diungkapkan dengan bahasa utama yang digunakannya.
Nababan (1993: 32) menyatakan campur kode terjadi lantaran tidak adanya ungkapan yang tepat dalam bahasa yang dipakai penutur. Faktor-faktor yang mempengaruhi campur kode adalah penutur, petutur, dan topik pembicaraan.
Penutur yang multibahasawan mempunyai banyak kesempatan untuk melaku campur kode. Keheterogenan latar belakang petutur seperti usia, status sosial, dan tingkat pendidikan menuntut kepandaian penutur dalam memilih bahasa yang tepat. Namun demikian, dalam hal ini yang paling penting adalah penutur harus mengetahui bahwa petuturnya juga merupakan multibahasawan. Topik pembicaraan memungkinkan terjadinya campur kode, lantaran ada beberapa topik yang cenderung menuntut pemakaian kode bahasa tersendiri.
e. Tujuan Pemakaian Campur Kode
Menurut Suwito (1985: 78) tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh penutur dalam tuturannya sangat menentukan pilihan bahasanya. Suwito juga mengemukakan tujuan pemakaian campur kode ada beberapa macam, antara lain penutur ingin menunjukkan keterpelajarannya, ketaatan dalam beribadah, dan kekhasan daerahnya.
Menurut Nababan (1993: 32) campur kode dipakai penutur untuk memamerkan keterpelajarannya atau kedudukannya, selain itu untuk mencapai ketepatan makna ungkapan.
f. Fungsi Campur Kode
Fungsi campur kode hampir sama dengan fungsi alih kode sebagai berikut ini.
1) Untuk menegaskan suatu hal atau untuk mengakhiri kontradiksi yang sedang terjadi antara penuturnya.
2) Untuk mengakrabkan atau menekankan solidaritas kelompok.
3) Untuk mengutamakan yang disapa atau untuk menghormati.
4) Untuk meningkatkan status, gengsi, kekuasaan, atau keahlian berbahasa.
5) Untuk mengutip ucapan orang lain, misalnya ingin mengutip ucapan orang lain dengan bahasa lain.
g. Persamaan Alih Kode dan Campur Kode
Menurut Chaer (2004: 114) persamaannya ialah digunakannya dua atau lebih varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan masih mempunyai fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu. Dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (speces), tanpa fungsi keotonomian sebagai sebuah kode. berdasarkan pendapat tersebut sanggup disimpulkan bahwa persamaan alih kode dan campur kode ialah sama-sama digunakannya dua bahasa atau lebih dalam masyarakat tutur yang dilakukan dengan sadar dan disengaja lantaran sebab-sebab tertentu.
8. Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
Alih kode dan campur kode ialah dua hal yang berbeda. Hal pokok yang membedakan antara alih kode dan campur kode yang dikemukakan oleh Thelander (dalam Suwito, 1985: 76) sebagai berikut.
1) Di dalam alih kode, terjadi peralihan dari klausa bahasa yang satu ke klausa bahasa yang lain dalam suatu tuturan dan masing-masing klausa masih mendukung fungsi tersendiri.
2) Di dalam campur kode, klausa maupun frasa-frasanya terdiri dari klausa dan frasa baster dan masing-masing klausa maupun frasanya tidak lagi mendukung fungsi tersendiri.
9. Diskusi Sebagai Ragam Tuturan dalam Proses Belajar Mengajar
Interaksi belajar mengajar merupakan peristiwa komunikasi yang berlangsung dalam situasi formal (Zamzani, 2007: 1). Peristiwa tutur di dalam proses belajar mengajar seperti proses belajar mengajar Bahasa Indonesia merupakan insiden tutur formal, sehingga ragam bahasa yang digunakan ialah ragam formal.
Selain ragam bahasa formal, dalam proses belajar mengajar Bahasa Indonesia juga menggunakan ragam bahasa usaha (consultative). Tempat berlangsungnya proses berguru mengajar Bahasa Indonesia yang pada umumnya dilakukan di dalam ruangan, walaupun tidak menutup kemungkinan dilakukan di luar ruangan juga menghipnotis penggunaan ragam bahasanya.
Ditinjau dari etimoligis , kata diskusi berasal dari kata kerja “to discus‟ yang berarti berunding atau membincangkan. Menurut pendapat Suharyanti, (2011:39) diskusi ialah suatu bentuk kegiatan yang terdiri dari beberapa orang (yang bertatap muka secara langsung) dalam bertukar pikiran atau oendapat dan pandangan terhadap duduk kasus untuk mencari pemahaman.
Menurut Winarso dan Arief (2001: 68) bahwa diskusi merupakan sesuatu kegiatan kerjasama atau atau aktivitas koordinatif yang mengandung langkah-langkah dasar tertentu yang harus dipatuhi oleh seluruh kelompok.
Aktivitas berdiskusi mempunyai tujuan yaitu memperoleh hasil musyawarah dari anggota-anggota keompok agar dapat memecahkan masalah yang akan diselesaikan. Suharyanti (2011: 39-40) menjelaskan bahwa diskusi mempunyai tujuan umum dan khusus, yang dijelaskan sebagai berikut.
a. Tujuan umum
1) Melatih siswa atau akseptor diskusi untuk berpikir secara praktis
2) Melatih mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat orang lain.
3) Menumbuhkan dan mengembangkan sifat senang bekerja sama dengan orang lain.
4) Melatih siswa atau mahasiswa untuk berperan serta secara akatif dan berperan kostruktif terhadap suatu masalah.
5) Untuk mengembangkan pandangan gres siswa/mahasiswa dalam memecahkan duduk kasus yang memerlukan musyawarah.
b. Tujuan khusus
1) Untuk mengatasi duduk kasus yang dihadapi individu atau kelompok yang berafiliasi dengan mata pelajaran atau kurikulum.
2) Untuk menyeesaikan masalah yang bersifat sosial dan yang ada hubungannya dengan tingkah laku baik dari diri siswa/mahasiswa atau masyarakat.
3) Untuk menetukan atau menemukan kesatuan pendapat dan sikap dalam memecahkan masalah.
Jenis-jenis diskusi juga ada beberapa macam salah satunya ialah iskusi kelompok yang merupakan suatu pembicaraaan yang terdiri dari ekelompok akseptor guna memecahkan suatu masalah secara bahu-membahu dengan mempertimbangkan baik dan buruk, dan sekaligus menetapkan cara melaksanakan pemecahan yang baik (Suharyanti, 2011: 41).
Diskusi kelompok di dalam kelas termasuk pada kelompok tak resmi, eperti pendapat Wanger dan Arnold (dalam Wiranso dan Arief, 200: 70) menggolongkan diskusi kelompok yang tidak resmi adalah sebagai (1) kelompok studi, (2) kelompok pembentuk kebijakasaan, dan (3) Komite
Menurut Vygotsky (dalam Huda, 2011: 24) salah satu landasan teoritis ertama tentang belajar kelompok ini berasal dari pandangan konstruktivis sosial. Menurut Vygotsky mental siswa pertama kali berkembang pada level interpersonal dan mereka berguru menginternalisasikan dan mentrasformasikan interaksi interpersonal mereka dengan orang lain, lalu pada level intrapersonal dimana mereka mulai memperoleh pemahaman dan keterampilan baru dari hasil interaksi ini. Dengan demikian sangat baik bagi siswa semenjak dini diajarkan untuk belajar berinteraksi dengan sekitarnya baik itu dengan teman sebaya atau yang lebih dewasa, agar mereka bisa mendapatkan informasi-informasi yang belum mereka ketahui atau bertukar pikiran biar mereka bisa menuntaskan tugas-tugas yang tidak bisa mereka selesaikan sendiri, dengan musyawarah bersama teman-teman yang mempunyai pemikiran yang berbeda-beda mereka akan lebih mudah menuntaskan duduk kasus mereka.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan diskusi kelompok ialah suatu percakapan ilmiah oleh beberapa orang yang tergabung dalam suatu kelompok untuk saling bertukar pendapat suatu duduk kasus atau bahu-membahu mencari pemecahan mendapatkan balasan atau kebenaran atas suatu masalah.
Proses diskusi kelompok ini dapat dilakukan melalui forum diskusi diikuti oleh semua siswa di dalam kelas dapat pula dibuat kelompok-kelompok lebih kecil.
Dalam diskusi kelompok yang perlu diperhatikan ialah para siswa sanggup melibatkan dirinya untuk ikut berpartisipasi secara aktif di dalam lembaga diskusi kelompok, jadi metode diskusi kelompok ialah suatu cara penyajian bahan pelajaran dimana seorang guru memberi kesempatan kepada siswa (kelompok siswa) untuk mengadakan percakapan guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternatif pemecahan atas masalah.
Teknik metode diskusi kelompok sebagai proses belajar mengajar lebih cocok dilakukan jikalau guru mempunyai tujuan antara lain.
1) Memanfaatkan berbagai kemampuan yang ada atau yang dimiliki oleh para siswa.
2) Memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menyalurkan pendapatnya masing-masing.
3) Memperoleh umpan balik dari para siswa tentang tujuan yang telah dirumuskan telah tercapai.
4) Membantu para siswa menyadari dan bisa merumuskan banyak sekali masalah yang dilihat baik dari pengalaman sendiri maupun dari pelajaran sekolah.
5) Mengembangkan motivasi untuk berguru lebih lanjut.
Untuk dapat mengoperasikan metode diskusi kelompok ini ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan bagi guru antar lain.
1) Guru menggunakan masalah yang ada didiskusikan dan memperlihatkan pengarahan seperlunya mengenai cara-cara pemecahannya, hal terpenting ialah permasalahan yang dirumuskan sejelas-jelasnya biar sanggup dipahami baik-baik oleh setiap siswa.
2) Para siswa berdiskusi di dalam kelompok dan setiap anggota kelompok ikut berpartisipasi secara aktif.
3) Setiap kelompok melaporkan hasil diskusinya, hasil-hasil yang dilaporkan itu ditanggapi oleh semua siswa (kelompok lain).
4) Akhir diskusi para siswa mencatat hasil-hasil diskusinya dan guru mengumpulkan hasil diskusi dari tiap-tiap kelompok.
Diskusi kelompok merupakan salah satu pengalaman belajar yang diterapkan di semua bidang studi dalam batasan-batasan tertentu, pengalaman diskusi kelompok memberikan keuntungan bagi para siswa sebagai berikut : (1) siswa dapat membuatkan berbagai informasi dalam menjalani gagasan gres atau memecahkan masalah, (2) sanggup meningkatkan pemahaman atas masalah-masalah penting, (3) dapat mengembangkan kemampuan untuk berfikir dan berkomunikasi, (4) dapat meningkatkan ketertiban dalam perencanaan dan pengambilan keputusan dan (5) dapat membina semangat kerjasama dan bertanggung jawab.
Diskusi kelompok memiliki kelemahan-kelemahan yang sanggup menimbulkan kegagalan dalam arti tidak tercapai tujuan yang diinginkan.
Wardani (Dalam Puger, 1997:9) dinyatakan bahwa kelemahan-kelemahan dalam diskusi kelompok antara lain : (1) diskusi kelompok memerlukan waktu yang lebih banyak daripada cara belajar yang biasa, (2) dapat memboroskan waktu terutama bila terjadi hal-hal yang negatif seperti pengarahan yang kurang tepat, (3) anggota yang kurang bernafsu (pendiam, pemalu) sering tidak mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan pendapat atau ide-idenya sehingga terjadi putus asa atau penarikan diri, dan (4) kadang-kadang hanya didominasi oleh orang-orang tertentu saja.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini ialah penelitian yang dilakukan oleh Dian Astutik Wulandari yang berjudul “Campur Kode dalam Tuturan Latihan Kepramukaan di SMU Negeri 1 Sentolo”. Ada perbedaan duduk kasus yang diteliti dalam penelitian di atas dengan penelitian ini yaitu dalam penelitian Dian Astutik Wulandari masalah yang diteliti adalah masalah campur kode, sedangkan duduk kasus yang diteliti dalam penelitian ini adalah masalah alih kode dan campur kode. Selain itu, ada hal yang juga membedakan antara penelitian ini dan penelitian Dian Astutik Wulandari yaitu subjek dan objek penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah siswa, objek penelitian adalah semua pembicaraan yang terjadi dalam proses diskusi siswa, pendapat duru hanya digunakan untuk mendapatkan balasan perihal persepsi guru mengenai insiden alih kode dan campur kode dahasa dalam diskusi siswa. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Dian Astutik Wulandari subjek penelitiannya adalah pembina dan peserta pramuka, objek penelitiannya adalah semua pembicaraan yang terjadi dalam proses latihan kepramukaan
Hasil penelitian Dian Astutik Wulandari yang berjudul “Campur Kode dalam Tuturan Latihan Kepramukaan di SMU Negeri 1 Sentolo” sebagai berikut: (1) adanya variasi campur kode dalam penelitian tersebut yaitu campur kode bahasa (bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris), campur kode ragam (ragam beku dengan ragam resmi, ragam beku dengan ragam santai, dan ragam resmi dengan ragam santai), (2) campur kode wujud unsur kebahasaan dalam latihan kepramukaan yaitu campur kode wujud kata dan campur kode wujud frase, dan (3) fungsi pemakaian campur kode adalah untuk mempertegas, meminta ketegasan, memberi semangat, dan memperlihatkan makna yang tepat.
Penelitian yang relevan kedua ialah penelitian yang dilakukan oleh Lina Puspita Sari dengan judul penelitian “Alih Kode dan Campur Kode dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas II SD Negeri Selopukang Kecamatan Wonogiri Kabupaten Wonogiri.” Dalam penelitian Lina Puspita Sari yang menjadi subjek penelitian adalah guru dan siswa, objek penelitian adalah semua pembicaraan yang terjadi dalam proses berguru mengajar.
Hasil penelitian Lina Puspita Sari yang berjudul “Alih Kode dan Campur Kode dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas II SD Negeri Selopukang Kecamatan Wonogiri Kaibupaten Wonogiri” sebagai berikut.
a. Bentuk alih kode yang terjadi dalam pembelajaran bahasa indonesia kelas II SD Negeri Selopukangberupa alih kode intern , yaitu peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa; bentuk campur kode yang terjadi berupa campur kode kata, campur kode frasa, campur kode klausa , dan campur kode pengulangan kata.
b. Faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode yang terjadi yaitu untuk mengimbangi kemampuan berbahasa siswa, kebiasaan guru dengan mengunakan bahasa Jawa, untuk menarik perhatian siswa, faktor penyebab terjadinya campur kode yaitu rendahnya penguasaan kosakata bahasa Indonesia siswa, dan adanya unsure tanpa disadari oleh guru.
Penelitian relevan yang ketiga adalah hasi penelitian dari Rima Fatimah yang berjudul “Kajian Penggunaan Bahasa dalam Proses Belajar Mengajar Bahasa Indonesia di Sekolah Menengan Atas Negeri 1 Magelang” dalam penelitian Rima Fatimah yang menjadi subjek penelitian adalah guru dan siswa , sedangkan objek penelitiannya ialah semua pembicaraan siswa dan guru selama pelajaran berlangsung. dalam penelitian tersebut ada sembilan kelas yang menjadi subjek penelitian yaitu dari kelas Xa hingga Xi. Hasil dari penelitian tersebut antara lain.
Macam-macam alih kode yang terjadi dalam proses belajar mengajar bahasa Indonesia di kelas X SMA Negeri 1 Magelang adalah alih kode intern dan ekstern. Faktor penyebab alih kode yang terjadi dalam proses belajar mengajar bahasa Indonesia di kelas X Sekolah Menengan Atas Negeri 1 Magelang sebagai berikut: (1) penutur dan lawan tutur; (2) perubahan situasi hadirnya orang ketiga; (3) perubahan topik pembicaraan; (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya; dan (5) untuk membangkitkan rasa humor.
Penelitian yang relevan yang keempat ialah thesis yang ditulis oleh Malik Ajmal Gulzar berjudul “Code-switching: Awareness about Its Utility in Bilingual Classrooms” yang dalam bahasa Indonesia berarti “alih kode: kesadaran perihal penggunaan alih kode dalam kelas bilingual (dwi bahasa)”. Hasil penelitian dalam thesis ini ialah sebagai berikut.
Penelitian tersebut telah memberikan hasil yang signifikan untuk menggarisbawahi bahwa para guru tidak tahu tentang batas-batas penggunaan alih kode dan fungsi yang mereka bisa/ harus alih kode untuk memenuhi kebutuhan siswa. Peneliti menemukan hasil yang sedikit berbeda dengan penelitian ini, dimana guru tidak menganggap bahwa peristiwa alih kode yang digunakan siswa selama pelajran berlangsung ialah sebuah kesalahan, guru memaklumi keterbatasan siswa-siswanya. Hasil wawancara dengan guru mata pelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 kepil, guru menganggap peristiwa alih kode yang dilakukan siswa ialah sikap yang salah dan harus dibenahi.
Peneitian yang relevan kelima adalah tesis yang ditulis oleh Yulia Mutmainnah, mahasiswa S2 Universitas Diponegoro Semarang yang berjudul “Pemilihan Kode dalam Masyarakat Dwibahasa: Kajian Sosiolinguistik pada Masyarakat Jawa di Kota Bontang Kalimantan Timur”. Objek penelitian dalam thesis tersebut berbeda dengan penelitian ini, dalam tesis tersebut objeknya ialah masyarakat jawa yang berada di Kota Bontang Kalimantan Timur, sedangkan dalam penelitian ini objek penelitiannya adalah siswa yang berdiskusi di dalam kelas, namun mempunyai prsamaan yaitu menganalisis alih kode yang digunakan atau dipilih dalam komunkasi. Hasil dari thesis ini ialah sebagai berikut. Kode yang ditemukan pada masyarakat tutur Jawa di kota Bontang ialah kode berupa Bahasa Indonesia (BI), Bahasa Jawa (BJ), Bahasa daerah lain (BL), dan Bahasa absurd (BA), dengan faktor-faktor penentu berupa (1) ranah, (2) akseptor tutur, dan (3) norma. Pada alih kode dengan kode dasar BI, muncul variasi alih kode BJ dan BA. Pada alih kode dengan kode dasar BJ, muncul variasi alih kode BI. Campur kode pada masyarakat tutur Jawa memunculkan campur kode dengan kode BI, BJ, BA dan BL. Didasarkan pada jenis situational code-switching, perubahan bahasa terjadi karena (1) perubahan situasi tutur, (2) kehadiran orang ketiga, dan (3) peralihan pokok pembicaraan, sedangkan pada metaphorical codeswitching perubahan bahasa terjadi karena penutur ingin menekankan apa yang diinginkannya. Campur kode terjadi karena (1) keterbatasan penggunaan kode, dan (2) penggunaan istilah yang lebih populer.
Penelitian relevan yang keenam adalah penelitian yang dilakukan oleh Rizal Muharam, dengan judul “Alih Kode, Campur Kode, dan interferensi yang Terjadi dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu Ternate (Tinjauan Deskriptif terhadap Anak-anak Multikultural Usia 6-8 Tahun di Kelas II SD Negeri Kenari Tinggi 1 Kota Madia Ternate)”. Dalam penelitian ini objek penelitiannya adalah percakapan siswa dan subjeknya ialah siswa kelas II SD Negeri Kenari Tinggi 1 Kota Madia Ternate.
C. Kerangka Berpikir
Dalam kegiatan berguru mengajar bahasa ialah satu-satunya alat komunikasi yang menghubungkan satu orang dengan orang lain, baik itu antara guru dengan siswa atau siswa dengan siswa lainnya saat berkomunikasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa sangat berperan penting bagi dunia pendidikan, begitu pula dalam pelajaran bahasa Indonesia, bahasa tidak akan terlepas dari kegiatan tersebut. Seharusnya dalam pelajaran bahasa Indonesia siswa dan guru harus menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, namun terkadang sekolah kawasan pedesaan seperti Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 CIBALIUNG, kabupaten Pandeglang hal tersebut sulit dijalankan dengan baik, lantaran siswa-siswa belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian mereka, terlebih saat diskusi kelompok berlangsung, percakapan diskusi yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar berubah menjadi percakapan yang menggunakan dwibahasa yaitu bahasa Indonesia bercampur dengan bahasa Sunda.
Keterbatasan siswa dalam menguasai bahasa Indonesia membuat guru tidak bisa memaksakan siswa untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dikala kegiatan belajar mengajar berlangsung, kalau siswa dipaksa menggunakan bahasa bahasa Indonesia secara keseluruhan maka akan menyulitkan siswa terlebih dikala diskusi kelompok. Siswa akan terhambat dalam menyampaikan ide yang mereka punya, maka dari itu guru memperbolehkan siswa menggunakan alih kode dan campur kode dalam kegiatan diskusi tersebut. Dengan penggunaan alih kode dan campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa Sunda maka siswa akan lebih gampang mengungkapkan pandangan gres yang mereka miliki, juga lebih gampang mendapatkan ilmu dari guru maupun siswa yang lain.
Untuk mengatahui persepsi guru, wujud dan macam, faktor penyebab terjadinya campur kode dan alih kode dalam acara diskusi kelompok pelajaran bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 CIBALIUNG kabupaten Pandeglang peneliti melaksanakan penelitian studi kasus.
BAB III METODELOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian akan dilakukan di SMP Negeri 2 CIBALIUNG, Kabupaten pandeglang, yang terletak di Jl. Desa Mekarwangi, kecamatan CIBALIUNG, kabupaten Pandeglang. Waktu pelaksanaan penelitian dan penyusunan laporan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari 2020 hingga dengan bulan Mei 2020. Penelitian ini dilakukan pada dikala proses diskusi siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 CIBALIUNG berlangsung.
B. Metode dan Pendekatan Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif deskriprif menurut Moleong (2001: 3) yang mengutip pendapat Bogdan dan Taylor adalah sebagai berikut:”Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata–kata tertulis atau lisan dari orang–orang dan sikap yang diamati”. Lebih lanjut Sutopo (1991:35) menjelaskan data yang dikumpulkan berupa kata-kata, kalimat, atau gambar yang mempunyai arti lebih dari sekedar angka atau frekuensi. Penelitian menekankan catatan yang menggambarkan situasi yang sebetulnya guna mendukung penyajian data.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi masalah terpancang. Disebut terpancang karena permasalahan yang dibahas hanya mengangkat permasalahan yang terjadi di SMP kawasan pedesaan dalam duduk kasus pemakaian bahasa Indonesia pada kegiatan berguru siswa khususnya kagiatan diskusi. Sesuai dengan tujuan penelitian, penelitian ini berusaha mendiskripsikan terjadinya alih kode dan campur kode dalam diskusi siswa SMP Negeri 2 CIBALIUNG, kabuoaten Pandeglang. Dimana siswa masih kesulitan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam memberikan pandangan gres dikala berdiskusi.
C. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah insiden penggunaan Bahasa Indonesia dan informan oleh siswa SMP Negeri 2 CIBALIUNG Kabupaten Pandeglang dalam proses diskusi kelompok. Objek penelitian ini adalah campur kode dan alih kode dalam proses diskusi kelompok siswa di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 CIBALIUNG. Selain itu sumber data juga diperoleh dari informan, yaitu guru mata pelajaran Bahasa Indonesia dan siswa.
D. Sampel dan Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini ialah purposive sampling dimana pengambilan sampel dari peristiwa kegiatan pembelajaran di kelas, wawancara dengan informan, yaitu guru bahasa Indonesia kelas VII, VIII dan, IX dan siswa yang melakukan alih kode dan campur kode dalam diskusi, bertujuan biar peneliti sanggup mengetahui seberapa sering penggunaan alih kode yang digunakan dikala pembelajaran Bahasa Indonesia.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
a) Observasi
Teknik observasi atau pengamatan dilakukan dengan penelti sebagai observator partisipan pasif terhadap peristiwa atau kegiatan diskusi kelompok mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk memperoleh data perihal pemakaian alih kode dan campur kode yang dilakukan siswa dikala berdiskusi.
b) Wawancara
Teknik wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan guru mata pelajaran bahasa Indonesia kelas VII, VIII dan, IX serta beberapa siswa dari kelas VII,VIII dan, IX. Tujuannya ialah untuk mendapatkan informasi lebih dari pengamatan atau observasi yang dilakukan, sehabis melaksanakan observasi langsung diskusi siswa saat pembelajaran Bahasa Indonesia, peneliti melakukan wawancara untuk mengetahui persepsi guru terhadap penggunaan alih kode dan campur kode bahasa yang dilakukan siswa dikala berdiskusi dan mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode.
F. Uji Validitas Data
Menurut Denzim (dalam Mahsun, 2005: 237) menyatakan bahwa ada empat triangulasi untuk menguji validitas data yaitu: (1) triangulasi data, (2) triangulasi peneliti, (3) triangulasi teori, dan (4) triangulasi metode. Uji validitas data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
1. Triangulasi metode
Triangulasi metode dilakukan dengan cara mengumpulkan data sejenis dengan metode yang berbeda, yaitu observasi dan wawancara. Metode ini dilakukan untuk mengecek alasan terjadinya alih kode dan campur kode yang dikalukan siswa dikala berdiskusi kelompok.
2. Triangulsi sumber data
Triangulasi sumber data, yakni dengan membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda. Dalam hal ini membandingkan data tentang alih kode dan campur kode bahasa yang dilakukan siswa melalui data yang diperoleh dari guru dicek pada siswa atau siswa satu dicek pada siswa yang lain.
3. Review informan
Review informan dilakukan untuk mengecek kembali data dan informasi. Data diperoleh dari guru dan siswa.
G. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif. Analisis model interaktif ini merupakan interaksi dari empat komponen, yaitu: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan. Pada saat melakukan tahap pengumpulan data sekaligus sesuai dengan kemunculan data yang diperlukan. Adapun langkah-langkah analisis interaktif ialah sebagai berikut:
a. Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan cara analisis dokumen, observasi, dan wawancara. peneliti mengumpulkan data sebanyak-banyaknya yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berafiliasi dengan penggunaan bahasa yang gunakan siswa dalam pelaksanaan diskusi Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 CIBALIUNG.
b. Reduksi Data
Teknik ini mengambil langkah yang berupa pencatatan data yang diperoleh dari hasil observasi. Dalam pencatatan tersebut dilakukan seleksi, pemfokusan dan penyederhanaan data, data mana yang akan diambil. Hal tersebut bertujuan untuk lebih memudahkan dalam mengambil data-data yang dianggap penting, yakni tentang penggunaan bahasa yang gunakan siswa dalam pelaksanaan diskusi Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 CIBALIUNG. Proses reduksi terus berlangsung hingga laporan final penelitian selesai ditulis.
c. Display Data
Melalui sajian data, data yang telah terkumpul dikelompokan dalam beberapa bagian dengan jenis permasalahannya supaya mudah dilihat dan dimengerti, sehingga mudah untuk dianalisis. Penyajian data penelitian yang diperoleh melalui analisis dokumen ataupun pada dikala proses diskusi berlangsung di kelas maupun diperoleh melalui wawancara dengan informan. Hal tersebut meliputi: (1) data hasil observasi yang diperoleh peneliti pada saat diskusi berlangsung, (2) hasil wawancara dengan guru Bahasa Indonesia kelas VII dan VII, dan (3) beberapa siswa kelas VII dan VIII yang menggunakan alih kode dan campur kode dikala melaksanakan diskusi dengan sobat sekelompoknya.
d. Penarikan Simpulan
Berdasarkan dari hasil analisis terhadap ujaran dan pembicaraan antara guru dengan peserta didik yang terjadi pada proses pembelajaran dan pada dikala diwawancarai, kemudian ditarik simpulan. Simpulan-simpulan tersebut diverifikasi selama penelitian berlangsung. Pada penelitian ini data yang diverifikasi meliputi: (1) persepsi guru, (2) bentuk-bentuk alih, dan (3)faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode dalam diskusi siswa.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis model interaktif Milles dan Huberman (Sutopo, 2002: 187). Analisis interaktif ialah analisis yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan/verifikasi.
H. Prosedur Penelitian
a. Tahap persiapan
a) Pengajuan judul proposal
b) Pembuatan proposal
c) Sidang proposal
b. Tahap pelaksanaan
a) Perizinan penelitian
b) Pengumpulan data
c) Analisis data. Tahap ini meliputi pengkajian yang mendalam serta mengarah pada tujuan yang ingin dicapai oleh penulis, pengumpulan data, dan analisis data. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini ialah pengumpulan data dari hasil wawancara mendalam dan observasi kegiatan belajar siswa yang diubah dari data verbal menjadi data tulis.
c. Tahap final
Penyusunan laporan. Tahap ini meliputi konsultasi dengan pembimbing, mengadakan perbaikan, dan memperbanyak laporan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Bagong Suyanto, et.al., (Eds.), 2007. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana.
Creswell, John W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among. Five Tradition. London: SAGE Publications
Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Nana Sudjana, et.al., 1989. Penelitian dan Penilaian Pendidikan, Bandung: Sinar Baru dan Pusat Pengajaran-Pembidangan Ilmu Lembaga Penelitian IKIP Bandung.
Noeng Muhajir. 2003. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin
Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Bandung: Alfabeta
Yin, Robert K. 2012. Studi Kasus Desai dan Metode.. Jakarta : PT Raja Grafndo Persada
0 Komentar untuk "Alih Instruksi Dan Campur Instruksi Dalam Pemakaian Bahasa Indonesia Pada Acara Diskusi Siswa Di Smp Negeri 2 Cibaliung Kabupaten Pandeglang"