Materi Pai X Penggalan Iv Al-Qur'an Dan Hadis Yakni Pemikiran Hidupku

Dari sisi bahasa, al-Qur’ān berasal dari kata qara’a – yaqra’u – qirā’atan – qur’ānan, yang mempunyai arti sesuatu yang dibaca atau bacaan. 

Dari sisi istilah, al-Qur’ān merupakan Kalamullah yang diturunkan terhadap Nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab, yang hingga terhadap kita secara mutawattir, ditulis dalam musḥaf, dimulai dengan surah al-Fātiḥah dan diakhiri dengan surah an-Nās, membacanya berfungsi selaku ibadah, selaku mukjizat Nabi Muhammad saw. dan selaku hidayah atau isyarat bagi umat manusia. 

Allah Swt. berfirman: 
“Sungguh, al-Qur’ān ini memberi isyarat ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar besar hati terhadap orang mukmin yang menjalankan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar.” (Q.S. alIsrā/17:9) 

Kedudukan al-Qur’ān selaku Sumber Hukum Islam 
Sebagai sumber aturan Islam, al-Qur’ān mempunyai kedudukan yang sungguh tinggi. Al-Qur’ān merupakan sumber utama dan pertama sehingga semua kendala mesti merujuk dan berpedoman kepadanya. 

Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam al-Qur’ān: 
“Wahai orang-orang yang beriman! Ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, kalau kau berlawanan nasehat perihal sesuatu, maka kembalikanlah terhadap Allah Swt. (al-Qur’ān) dan Rasul-Nyal (sunnah), kalau kau beriman terhadap Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. an-Nisā’/4:59) 

Dalam ayat yang lain Allah Swt. menyatakan: 
“Sungguh, Kami sudah menurunkan Kitab (al-Qur’ān) kepadamu (Muhammad) menenteng kebenaran, biar engkau mengadili antara insan dan apa yang sudah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), lantaran (membela) orang yang berkhianat.” (Q.S. an-Nisā’/4:105) 

Dalam suatu hadis yang bersumber dari Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda: : “... Amma ba’du wahai sekalian manusia, bukankah saya sebagaimana insan biasa yang diangkat menjadi rasul dan saya lewati bagi kalian semua ada dua kendala utama/besar, yang pertama merupakan kitab Allah yang di dalamnya terdapat isyarat dan cahaya/ penerang, maka ikutilah kitab Allah (al-Qur’ān) dan berpegang teguhlah kepadanya ... (H.R. Muslim) 

Berdasarkan dua ayat dan hadis di atas, jelaslah bahwa al-Qur’ān merupakan kitab yang berisi selaku isyarat dan perayaan bagi orang-orang yang beriman. 

Al-Qur’ān sumber dari segala sumber aturan baik dalam konteks kehidupan di dunia maupun di alam abadi kelak. 

Namun demikian, hukum-hukum yang terdapat dalam Kitab Suci al-Qur’ān ada yang bersifat rinci dan sungguh terperinci maksudnya, dan ada yang masih bersifat biasa dan perlu pengertian mendalam untuk memahaminya.

Para ulama menggolongkan aturan yang terdapat dalam al-Qur’ān ke dalam tiga bagian, yakni menyerupai berikut.

1. Akidah atau Keimanan
Akidah atau keimanan merupakan kepercayaan yang tertancap mempunyai pengaruh di dalam hati. Akidah terkait dengan keimanan terhadap hal-hal yang mistik yang terangkum dalam rukun kepercayaan (arkānu imān), yakni kepercayaan terhadap Allah Swt. malaikat, kitab suci, para rasul, hari kiamat, dan qada/qadar Allah Swt. 

2. Syari’ah atau Ibadah
Hukum ini mengontrol perihal tata cara ibadah baik yang berafiliasi eksklusif dengan al-Khāliq (Pencipta), yakni Allah Swt. yang disebut ‘ibadah maḥ ḍah, maupun yang berafiliasi dengan sesama makhluknya yang disebut dengan ibadah gairu maḥ ḍah. Ilmu yang mempelajari tata cara ibadah dinamakan ilmu fikih.

1) Hukum Ibadah
Hukum ini mengontrol bagaimana semestinya melaksanakan ibadah yang sesuai dengan anutan Islam. Hukum ini mengandung perintah untuk menjalankan śalat, haji, zakat, puasa, dan lain sebagainya.

2) Hukum Mu’amalah
Hukum ini mengontrol interaksi antara insan dan sesamanya, menyerupai aturan perihal tata cara jual-beli, aturan pidana, aturan perdata, aturan warisan, pernikahan, politik, dan lain sebagainya.

3. Akhlak atau Budi Pekerti
Selain berisi hukum-hukum perihal kepercayaan dan ibadah, al-Qur’ān juga berisi hukum-hukum perihal akhlak. 

Al-Qur’ān menuntun bagaimana semestinya insan berakhlak atau berperilaku, baik berakhlak terhadap Allah Swt., terhadap sesama manusia, dan etika terhadap makhluk Allah Swt. yang lain. 

Pendeknya, berakhlak merupakan tuntunan dalam kekerabatan antara insan dengan Allah Swt. kekerabatan antara insan dan insan dan kekerabatan insan dengan alam semesta. 

Hukum ini tecermin dalam desain perbuatan insan yang tampak, mulai dari gerakan verbal (ucapan), tangan, dan kaki.

Secara bahasa, hadis mempunyai arti perkataan atau ucapan. 

Menurut istilah, hadis merupakan segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Hadis juga dinamakan sunnah. 

Namun demikian, ulama hadis membedakan hadis dengan sunnah. Hadis merupakan ucapan atau perkataan Rasulullah saw., sedangkan sunnah merupakan segala apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. yang menjadi sumber aturan Islam. 

Hadis dalam arti perkataan atau ucapan Rasulullah saw. terdiri atas beberapa cuilan yang saling terkait satu sama lain. 

Bagian-bagian hadis tersebut antara lain selaku berikut. 
  • Sanad , yakni sekelompok orang atau seseorang yang menyodorkan hadis dari Rasulullah saw. hingga terhadap kita kini ini. 
  • Matan, yakni isi atau bahan hadis yang disampaikan Rasulullah saw. 
  • Rawi , yakni orang yang meriwayatkan hadis 

Kedudukan Hadis atau Sunnah selaku Sumber Hukum Islam 
Sebagai sumber aturan Islam, hadis berada satu tingkat di bawah al- Qur’ān. 

Artinya, kalau suatu kendala hukumnya tidak terdapat di dalam alQur’ān, yang mesti dijadikan sandaran selanjutnya merupakan hadis tersebut. 

Hal ini sebagaimana firman Allah Swt: 
“... dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah.” (Q.S. al-Ḥasyr/59:7) 

Demikian pula firman Allah Swt. dalam ayat yang lain: 
“Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya ia sudah menaati Allah Swt. Dan barangsiapa berpaling (darinya), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka.” (Q.S. an-Nisā’/4:80) 

Hadis berfungsi untuk menerangkan (bayan) serta menguatkan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān. Fungsi hadis terhadap al-Qur’ān sanggup dikelompokkan menjadi empat yakni selaku berikut.

1. Menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ān yang masih bersifat umum 
Contohnya merupakan ayat al-Qur’ān yang menyuruh śalat. Perintah śalat dalam al-Qur’ān masih bersifat biasa sehingga diperjelas dengan hadis-hadis Rasulullah saw. perihal śalat, baik perihal tata caranya maupun jumlah bilangan raka’at-nya. 

Untuk menerangkan perintah śalat tersebut, umpamanya keluarlah suatu hadis yang berbunyi, “Śalatlah kalian sebagaimana kalian menyaksikan saya śalat”. (H.R. Bukhari) 

2. Memperkuat pernyataan yang ada dalam al-Qur’ān 
Seperti dalam al-Qur’ān terdapat ayat yang menyatakan, “Barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan, maka berpuasalah!” Kemudian ayat tersebut diperkuat oleh suatu hadis yang berbunyi, “... berpuasalah lantaran menyaksikan bulan dan berbukalah lantaran melihatnya ...” (H.R. Bukhari dan Muslim) 

3. Menerangkan maksud dan tujuan ayat yang ada dalam al-Qur’ān 
Misal, dalam Q.S. at-Taubah/9:34 dikatakan, “Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah Swt., gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih!” Ayat ini diterangkan oleh hadis yang berbunyi, “Allah Swt. tidak mengharuskan zakat kecuali agar menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati.” (H.R. Baihaqi) 

4. Menetapkan aturan gres yang tidak terdapat dalam al-Qur’ān 
Maksudnya merupakan bahwa kalau suatu kendala tidak terdapat hukumnya dalam al-Qur’ān, diambil dari hadis yang sesuai. Misalnya, bagaimana hukumnya seorang pria yang menikahi kerabat wanita istrinya. 

Hal tersebut diterangkan dalam suatu hadis Rasulullah saw.: 
“Dari Abi Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda: “Dilarang seseorang menghimpun (mengawini secara bersama) seorang wanita dengan kerabat dari ayahnya serta seorang wanita dengan kerabat wanita dari ibunya.” (H.R. Bukhari)

Ditinjau dari sisi perawinya, hadis terbagi ke dalam tiga bagian, yakni menyerupai berikut. 

1. Hadis Mutawattir 
Hadis mutawattir merupakan hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi, baik dari kelompok para sobat maupun generasi sesudahnya dan ditentukan di antara mereka tidak bersepakat dusta. 

Contohnya merupakan hadis yang berbunyi Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya merupakan neraka.” (H.R. Bukhari, Muslim) 

2. Hadis Masyhur 
Hadis masyhur merupakan hadis yang diriwayatkan oleh dua orang sobat atau lebih yang tidak meraih derajat mutawattir, tetapi sesudah itu tersebar dan diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’in sehingga tidak mungkin bersepakat dusta. 

Contoh hadis jenis ini merupakan hadis yang artinya, “Orang Islam merupakan orang-orang yang tidak mengusik orang lain dengan pengecap dan tangannya.” (H.R. Bukhari, Muslim dan Tirmizi) 

3. Hadis Aĥad 
Hadis aḥad merupakan hadis yang cuma diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi, sehingga tidak meraih derajat mutawattir. 

Dilihat dari sisi mutu orang yang meriwayatkannya (perawi), hadis dibagi ke dalam tiga bagian, yakni selaku berikut. 

a. Hadis Śaḥiḥ merupakan hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, mempunyai pengaruh hafalannya, tajam penelitiannya, sanadnya bersambung terhadap Rasulullah saw., tidak tercela, dan tidak berlawanan dengan riwayat orang yang lebih terpercaya. Hadis ini dijadikan selaku sumber aturan dalam beribadah (hujjah). 

b. Hadis Ḥasan, merupakan hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang mempunyai pengaruh hafalannya, sanadnya bersambung, tidak cacat, dan tidak bertentangan. Sama menyerupai hadis śaḥiḥ, hadis ini dijadikan selaku landasan menjalankan amal ibadah. 

c. Hadis da’īf, yakni hadis yang tidak menyanggupi mutu hadis śaḥīiḥ dan hadis Ḥasan. Para ulama menyampaikan bahwa hadis ini tidak sanggup dijadikan selaku hujjah, tetapi sanggup dijadikan selaku motivasi dalam beribadah. 

d. Hadis Maudu’, yakni hadis yang bukan bersumber terhadap Rasulullah saw. atau hadis palsu. Dikatakan hadis padahal sama sekali bukan hadis. Hadis ini terperinci tidak sanggup dijadikan landasan hukum, hadis ini tertolak.

1. Pengertian Ijtihād
Kata ijtihād berasal bahasa Arab ijtahada-yajtahidu-ijtihādan yang mempunyai arti mengerahkan segala kemampuan, tekun mencurahkan tenaga, atau melakukan pekerjaan secara optimal. 

Secara istilah, ijtihād merupakan mencurahkan segenap tenaga dan asumsi secara betul-betul dalam menegaskan suatu hukum. Orang yang melaksanakan ijtihād dinamakan mujtahid. 


2. Syarat-Syarat berijtihād 
Karena ijtihād sungguh bergantung pada kecakapan dan keahlian para mujtahid, dimungkinkan hasil ijtihād antara satu ulama dengan ulama yang lain berlawanan aturan yang dihasilkannya. Oleh lantaran itu, tidak siapa pun sanggup melaksanakan ijtihād dan menciptakan aturan yang tepat. 

Berikut beberapa syarat yang mesti dimiliki seseorang untuk melaksanakan ijtihād. 
  • Memiliki wawasan yang luas dan mendalam. 
  • Memiliki pengertian mendalam perihal bahasa Arab, ilmu tafsir, permohonan fikih, dan tarikh (sejarah). 
  • Memahami c ara merumuskan aturan (istinbaţ). 
  • Memiliki k eluhuran etika mulia. 

3. Kedudukan Ijtihād 
Ijtihād mempunyai kedudukan selaku sumber aturan Islam sesudah al- Qur’ān dan hadis. Ijtihād dilakukan kalau suatu kendala tidak didapatkan hukumnya dalam al-Qur’ān dan hadis. 

Namun demikian, aturan yang dihasilkan dari ijtihād tidak boleh berlawanan dengan al-Qur’ān maupun hadis. 

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.: 
“Dari Mu’az, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. saat mengutusnya ke Yaman, ia bersabda, “Bagaimana engkau akan menegaskan suatu kendala yang dibawa orang kepadamu?” 

Muaz berkata, “Saya akan menegaskan menurut Kitabullah (al-Qur’ān).” 

Lalu Nabi berkata, “Dan kalau di dalam Kitabullah engkau tidak mendapatkan sesuatu mengenai soal itu?” 

Muaz menjawab, “Jika begitu saya akan menegaskan menurut Sunnah Rasulullah saw.” 

Kemudian, Nabi mengajukan pertanyaan lagi, “Dan kalau engkau tidak mendapatkan sesuatu hal itu di dalam sunnah?” 

Muaz menjawab, “Saya akan memanfaatkan pertimbangan kebijaksanaan asumsi sendiri (ijtihādu bi ra’yi) tanpa ragu-ragu sedikitpun.” 

Kemudian, Nabi bersabda, “Maha suci Allah Swt. yang menampilkan tutorial terhadap delegasi Rasul-Nya dengan suatu sikap yang disetujui Rasul-Nya.” (H.R. Darami) 

Rasulullah saw. juga menyampaikan bahwa seseorang yang berijtihād sesuai dengan kesanggupan dan ilmunya, kemudian ijtihādnya itu benar, maka ia mendapat dua pahala, Jika kemudian ijtihādnya itu salah maka ia mendapat satu pahala. 

Hal tersebut ditegaskan lewat suatu hadis: Artinya: “Dari Amr bin Aś, sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda, “Apabila seorang hakim berijtihād dalam menegaskan suatu persoalan, ternyata ijtihādnya benar, maka ia mendapat dua pahala, dan apabila beliau berijtihād, kemudian ijtihādnya salah, maka ia mendapat satu pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Ijtihād selaku suatu sistem atau cara dalam menciptakan suatu aturan terbagi ke dalam beberapa bagian, yakni selaku berikut 

1. Ijma’ 
Ijma’ merupakan komitmen para ulama jago ijtihād dalam menegaskan suatu kendala atau hukum. Contoh ijma’ di masa sobat merupakan komitmen untuk menghimpun wahyu Ilahi yang berupa lembaran- lembaran terpisah menjadi suatu mushaf al-Qur’ān yang menyerupai kita saksikan kini ini. 

2. Qiyas 
Qiyas merupakan mempersamakan/menganalogikan kendala gres yang tidak terdapat dalam al-Qur’ān atau hadis dengan yang sudah terdapat hukumnya dalam al-Qur’ān dan hadis lantaran kesamaan sifat atau karakternya. 

Contoh qiyas merupakan mengharamkan aturan minuman keras selain khamr menyerupai brendy, wisky, topi miring, vodka, dan narkoba lantaran mempunyai kesamaan sifat dan abjad dengan khamr, yakni memabukkan. 

Khamr dalam al-Qur’ān diharamkan, sebagaimana firman Allah Swt: Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah merupakan perbuatan keji dan tergolong perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu biar kau beruntung.” (Q.S. al-Maidah/5:90) 

3. Maślaĥah 
Mursalah Maślaḥah mursalah artinya penetapan aturan yang menitikberatkan pada kemanfaatan suatu perbuatan dan tujuan hakiki-universal terhadap syari’at Islam. 

Misalkan, seseorang wajib mengubah atau mengeluarkan duit kerugaian atas kerugian terhadap pemilik barang lantaran kerusakan di luar komitmen yang sudah ditetapkan.

Para ulama membagi aturan Islam ke dalam dua bagian, yakni aturan taklifi dan aturan wad’i. 

Hukum taklifi merupakan tuntunan Allah Swt. yang berhubungan dengan perintah dan larangan. Hukum wad’i merupakan perintah Allah Swt. yang merupakan sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya sesuatu 

Hukum Taklifi 
Hukum taklifi terbagi ke dalam lima bagian, yakni selaku berikut. 

a. Wajib (far ḍu), 
Wajib yakni aturan Allah Swt. yang mesti dikerjakan, dengan konsekuensi bahwa kalau dilakukan akan mendapat pahala, dan kalau ditinggalkan akan berakibat dosa. Pahala merupakan sesuatu yang mau menenteng seseorang terhadap kenikmatan (surga), sedangkan dosa merupakan sesuatu yang mau menenteng seseorang ke dalam kesengsaraan (neraka). Misalnya, perintah wajib śalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. 

b. Sunnah (mandub), 
Sunnah yakni permintaan untuk melaksanakan suatu perbuatan dengan konsekuensi kalau dilakukan akan mendapat pahala dan kalau ditinggalkan lantaran berat untuk melakukannya tidaklah berdosa. Misalnya ibadah śalat rawatib, puasa Senin-Kamis, dan sebagainya. 

c. Haram (taḥrim), 
Haram yakni larangan untuk menjalankan suatu pekerjaan atau perbuatan. Konsekuesinya merupakan kalau larangan tersebut dilakukan akan mendapat pahala, dan kalau tetap dilakukan akan mendapat dosa dan hukuman. Akibat yang ditimbulkan dari menjalankan larangan Allah Swt. ini sanggup eksklusif mendapat eksekusi di dunia, ada pula yang dibalasnya di alam abadi kelak. Misalnya larangan meminum minuman keras/narkoba/khamr, larangan berzina, larangan berjudi, dan sebagainya. 

d. Makruh (Karahah), 
Makruh yakni permintaan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Makruh artinya sesuatu yang dibenci atau tidak disukai. Konsekuensi aturan ini merupakan kalau dilakukan tidaklah berdosa, akan tetapi kalau ditinggalkan akan mendapat pahala. Misalnya, mengonsumsi masakan yang beraroma tidak sedap lantaran zatnya atau sifatnya. 

e. Mubaḥ (al-Ibaḥaḥ), 
Mubah yakni sesuatu yang boleh untuk dilakukan dan boleh untuk ditinggalkan. Tidaklah berdosa dan berpahala kalau Aktivitas 3 dilakukan ataupun ditinggalkan. Misalnya makan roti, minum susu, tidur di kasur, dan sebagainya.

Nelty Khairiyah dan Endi Suhendi Zen. 2017. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud.

Related : Materi Pai X Penggalan Iv Al-Qur'an Dan Hadis Yakni Pemikiran Hidupku

0 Komentar untuk "Materi Pai X Penggalan Iv Al-Qur'an Dan Hadis Yakni Pemikiran Hidupku"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)