Materi Pai X Cuilan 3 Menjaga Kejujuran Selaku Cermin Kepribadian

Dalam bahasa Arab, kata jujur semakna dengan “aś-śidqu” atau “śiddiq” yang memiliki arti benar, nyata, atau berkata benar. 

Lawan kata ini yakni dusta, atau dalam bahasa Arab ”al-kazibu”. Secara istilah, jujur atau aś-śidqu bermakna 
(1) kesesuaian antara ucapan dan perbuatan; 
(2) kesesuaian antara pemberitahuan dan kenyataan; 
(3) ketegasan dan kemantapan hati; dan 
(4) sesuatu yang bagus yang tidak dicampuri kedustaan

Imam al-Gazali membagi sifat jujur atau benar (śiddiq) selaku berikut. 

1. Jujur dalam niat atau berkehendak, yakni tiada dorongan bagi seseorang dalam segala langkah-langkah dan gerakannya selain dorongan alasannya yakni Allah Swt. 

2. Jujur dalam perkataan (lisan), yakni sesuainya pemberitahuan yang diterima dengan yang disampaikan. Setiap orang mesti sanggup memelihara perkataannya. Ia tidak berkata kecuali dengan jujur. Barangsiapa yang menjaga lidahnya dengan cara senantiasa menyodorkan pemberitahuan yang cocok dengan fakta yang sebenarnya, ia tergolong jujur jenis ini. Menepati janji tergolong jujur jenis ini. 

3. Jujur dalam perbuatan/amaliah, yakni berzakat dengan sungguh- sungguh sehingga perbuatan żahirnya tidak menampilkan sesuatu yang ada dalam batinnya dan menjadi watak bagi dirinya. 

Kejujuran merupakan fondasi atas tegaknya suatu nilai-nilai kebenaran, alasannya yakni jujur identik dengan kebenaran. Allah Swt. berfirman: Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kau terhadap Allah Swt. dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (Q.S. al-Ahzāb/33:70) 

Orang yang beriman perkataannya mesti sesuai dengan perbuatannya alasannya yakni sungguh berdosa besar bagi orang-orang yang tidak dapat menyesuaikan perkataannya dengan perbuatan, atau berlainan apa yang di pengecap dan apa yang diperbuat. 

Allah Swt. berfirman, 
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kau menyampaikan sesuatu yang tidak kau kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di segi Allah kalau kau menyampaikan apa-apa yang tidak kau kerjakan.” (Q.S. aś-Śaff/61:2-3) 

Pesan moral ayat tersebut tidak lain mengutus satunya perkataan dengan perbuatan. Dosa besar di segi Allah Swt., mengucapkan sesuatu yang tidak dibarengi dengan perbuatannya. 

Perilaku jujur sanggup menghantarkan pelakunya menuju kesuksesan dunia dan akhirat. Bahkan, sifat jujur yakni sifat yang wajib dimiliki oleh setiap nabi dan rasul. 

Artinya, orang-orang yang senantiasa istiqamah atau konsisten menjaga kejujuran, sesungguhnya ia sudah memiliki separuh dari sifat kenabian. Jujur yakni perilaku yang tulus dalam mengerjakan sesuatu yang diamanatkan, baik berupa harta maupun tanggung jawab. 

Orang yang mengerjakan amanat disebut al-Amin, yakni orang yang terpercaya, jujur, dan setia. 

Dinamakan demikian alasannya yakni segala sesuatu yang diamanatkan kepadanya menjadi kondusif dan terjamin dari segala bentuk gangguan, baik yang tiba dari dirinya sendiri maupun dari orang lain. 

Sifat jujur dan terpercaya merupakan sesuatu yang sungguh penting dalam segala faktor kehidupan, menyerupai dalam kehidupan rumah tangga, perniagaan, perusahaan, dan hidup bermasyarakat. 

Di antara faktor yang memunculkan Nabi Muhammad saw. berhasil dalam membangun penduduk Islam yakni alasannya yakni sifat-sifat dan akhlaknya yang sungguh terpuji. 

Salah satu sifatnya yang menonjol yakni kejujurannya sejak masa kecil hingga simpulan hayatnya, sehingga ia memperoleh gelar al-Amin (orang yang sanggup menemukan amanah atau jujur). 

Kejujuran akan mengirimkan seseorang menemukan cinta kasih dan keridaan Allah Swt. 

Kebohongan yakni kejahatan tiada tara, yang merupakan faktor terkuat yang mendorong seseorang berbuat kemunkaran dan menjerumuskannya ke jurang neraka. 

Kejujuran selaku sumber keberhasilan, kebahagian, serta ketenteraman, mesti dimiliki oleh setiap muslim. 

Bahkan, seorang muslim wajib pula menanamkan nilai kejujuran tersebut terhadap anak-anaknya sejak dini hingga pada balasannya mereka menjadi generasi yang menjangkau berhasil dalam mengarungi kehidupan. 

Adapun kebohongan yakni muara dari segala kejelekan dan sumber dari segala kecaman akhir yang ditimbulkannya yakni kejelekan, dan hasil balasannya yakni kekejian. 

Akibat yang ditimbulkan oleh kebohongan adalan namimah (mengadu domba), sedangkan namimah sanggup melahirkan kebencian. 

Demikian pula kebencian yakni permulaan dari permusuhan. Dalam permusuhan tidak ada keselamatan dan kedamaian. Dapat dibilang bahwa, “orang yang sedikit kejujurannya pasti akan sedikit temannya.”

Ketika Nabi Muhammad saw. hendak mengawali dakwah secara terbuka dan terang-terangan, langkah permulaan yang dilakukan, Rasulullah saw. berdiri di atas bukit, kemudian memanggil-manggil kaum Quraisy untuk berkumpul, “Wahai kaum Quraisy, kemarilah kalian semua. 

Aku akan menyediakan suatu pemberitahuan terhadap kalian semua!” Mendengar panggilan lantang dari Rasulullah saw., berduyun-duyunlah kaum Quraisy berdatangan, berkumpul untuk menyimak pemberitahuan dari insan jujur sarat pujian. 

Setelah penduduk berkumpul dalam jumlah besar, ia tersenyum kemudian bersabda, “Saudara-saudaraku, kalau saya memberi kabar kepadamu, kalau di balik bukit ini ada musuh yang sudah siaga hendak menyerang kalian, apakah kalian semua percaya?” Tanpa ragu seluruhnya menjawab mantap, “Percaya!” 

Kemudian, Rasulullah kembali bertanya, “Mengapa kalian pribadi yakin tanpa membuktikannya apalagi dahulu?” 

Tanpa bimbang orang yang datang di sana kembali menjawab mantap, “Engkau sekalipun tidak pernah berbohong, wahai al-Amin. Engkau yakni insan yang paling jujur yang kami kenal.”

1. Q.S. al-Māidah/5:8
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kau selaku penegak keadilan alasannya yakni Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kau untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih erat terhadap takwa. Dan bertakwalah terhadap Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kau kerjakan.”

Ayat ini mengutus terhadap orang mukmin biar mengerjakan amal dan pekerjaan mereka dengan cermat, jujur, dan nrimo alasannya yakni Allah Swt., baik pekerjaan yang bertalian dengan urusan agama maupun pekerjaan yang bertalian dengan urusan kehidupan duniawi. 

Karena cuma dengan demikianlah mereka sanggup berhasil dan memperoleh hasil jawaban yang mereka harapkan. 

Dalam persaksian, mereka mesti adil menerangkan apa yang sebenarnya, tanpa menatap siapa orangnya, sekalipun akan menguntungkan musuh dan merugikan kawan dekat dan kerabatnya sendiri. 

Ayat ini seirama dengan Q.S. an-Nisā/4:153, yakni sama-sama menerangkan tentang seorang yang berlaku adil dan jujur dalam persaksian. 

Perbedaannya merupakan dalam ayat tersebut dijelaskan keharusan berlaku adil dan jujur dalam persaksian meskipun kesaksian itu akan merugikan diri sendiri, ibu, bapak, dan kerabat. 

Selanjutnya, dalam ayat ini dijelaskan bahwa kebencian terhadap sesuatu kaum dilarang mendorong seseorang untuk menyediakan persaksian yang tidak adil dan tidak jujur, meskipun terhadap lawan. 

Menurut Ibnu Kașir, maksud ayat di atas yakni biar orang-orang yang beriman menjadi penegak kebenaran alasannya yakni Allah Swt., bukan alasannya yakni insan atau alasannya yakni mencari popularitas. 

Mereka sanggup menjadi saksi dengan adil dan tidak curang, jangan pula kebencian terhadap suatu kaum memunculkan kalian berbuat tidak adil terhadap mereka, 

Terapkanlah keadilan itu terhadap setiap orang, baik kawan dekat ataupun musuh alasannya yakni sesungguhnya perbuatan adil menghantarkan pelakunya memperoleh derajat takwa. 

Terkait dengan menjadi saksi dengan adil, ditegaskan dari Nu’man bin Basyir, “Ayahku pernah memberiku suatu hadiah. 

Kemudian ibuku, ‘Amrah binti Rawahah, berkata, ‘Aku tidak rela sehingga engkau mempersaksikan kado itu terhadap Rasulullah saw. Kemudian, ayahku mengunjungi ia dan meminta ia menjadi saksi atas kado itu. 

Kemudian Rasulullah saw. pun bersabda: 
Artinya: “Apakah setiap anakmu engkau beri kado menyerupai itu juga? ‘ Tidak’, jawabnya. 

Maka ia pun bersabda, 
‘Bertakwalah terhadap Allah Swt., dan berbuat adillah terhadap bawah umur kalian!’ lebih lanjut ia bersabda, ‘Sesungguhnya, saya tidak mau bersaksi atas suatu ketidakadilan.’ Kemudian ayahku pulang dan memukau kembali tunjangan tersebut.” 2. Q.S. at-Taubah/9:119

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah terhadap Allah Swt., dan bersamalah kau dengan orang-orang yang benar.”

Dalam ayat ini, Allah Swt. menampilkan seruan-Nya dan menyediakan tutorial terhadap orang-orang yang beriman kepada-Nya dan Rasul-Nya. 

Mereka diperlukan tetap dalam ketakwaan serta menginginkan ri da-Nya, dengan cara menunaikan segala keharusan yang sudah ditetapkan-Nya, dan menjauhi segala larangan yang sudah ditentukan-Nya, dan hendaklah senantiasa bareng orang-orang yang benar dan jujur, mengikuti ketakwaan, kebenaran dan kejujuran mereka. 

Dan jangan bergabung terhadap kaum munafik, yang senantiasa menutupi kemunafikan mereka dengan kata-kata dan perbuatan bohong serta ditambah pula dengan sumpah imitasi dan alasan-alasan yang tidak benar.

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud ra., Rasulullah saw. bersabda, “Hendaklah kau berlaku jujur alasannya yakni kejujuran menuntunmu pada kebenaran, dan kebenaran menuntunmu ke surga. Dan sesantiasa seseorang berlaku jujur dan senantiasa jujur sehingga dia tercatat di segi Allah Swt. selaku orang yang jujur. Dan hindarilah olehmu berlaku dusta alasannya yakni kedustaan menuntunmu pada kejahatan, dan kejahatan menuntunmu ke neraka. Dan seseorang senantiasa berlaku dusta dan senantiasa dusta sehingga dia tercatat di segi Allah Swt. selaku pendusta.” (H.R. Muslim)

Dalam suatu hadis panjang yang berasal dari Syihab diceritakan bahwa di saat Rasulullah saw. akan mengerjakan gazwah (penyerangan) ke Tabuk untuk menyerang serdadu Romawi dan orang-orang Katolik di Syam, salah seorang kawan dekat yang berjulukan Ka’ab bin Malik absen dari pasukan perang. 

Ka’ab menceritakan bahwa mangkirnya ia dari pertempuran ter sebut buk an alasannya yakni sakit ataupun ada suatu duduk problem tertentu. 

Menurutnya, hari itu justru ia sedang dalam keadaan prima dan lebih prima dari hari-hari sebelumnya. Tetapi entah mengapa ia merasa enggan untuk bergabung bareng pasukan Rasulullah saw. hingga balasannya ia ditinggalkan oleh pasukan Rasulullah saw. 

Sekembalinya pasukan Rasulullah saw. ke Madinah, ia pun bergegas menemui Rasulullah saw. dan berkata jujur tentang apa yang ia lakukan. 

Akibatnya, Rasul menjadi murka, begitu juga sahabat-sahabat lainnya. Ia pun dikucilkan bahkan diperlakukan menyerupai bukan orang Islam, sampai-sampai Rasulullah saw. memerintahkannya untuk berpisah dengan istrinya. 

Setelah lima puluh hari berselang, turunlah wahyu terhadap Rasulullah saw. yang menerangkan bahwa Allah Swt. sudah menemukan taubat Ka’ab dan dua orang lainnya. 

Allah Swt. benarbenar sudah menemukan taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anśar yang mengikutinya dalam momentum sukar setelah hingga saja hati sebagian mereka bermasalah. 

Kemudian, Allah Swt. menemukan taubat mereka dan taubat tiga orang yang absen dari jihad sampai-sampai mereka merasa sumpek dan menderita. 

Sesungguhnya Allah Swt. Maha Pengasih dan Penyayang. 

Ketika ia diberi kabar besar hati bahwa Allah Swt. sudah menemukan taubatnya, dan Rasulullah saw. sudah memaafkannya, Ka’ab berkata, “Demi Allah Swt. tidak ada lezat paling besar dari Allah Swt. setelah lezat hidayah Islam selain kejujuranku terhadap Rasulullah saw. dan ketidakbohonganku terhadap beliau, sehingga saya tidak binasa menyerupai orang-orang yang berdusta, sesungguhnya Allah Swt. berkata tentang mereka yang berdusta dengan seburuk-buruk perkataan.

Nelty Khairiyah dan Endi Suhendi Zen. 2017. Pendidikan Agama Islam Untuk Kelas X. Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud

Related : Materi Pai X Cuilan 3 Menjaga Kejujuran Selaku Cermin Kepribadian

0 Komentar untuk "Materi Pai X Cuilan 3 Menjaga Kejujuran Selaku Cermin Kepribadian"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)