Berikut ini merupakan persepsi para ulama ihwal demokrasi:
Secara garis besar persepsi para ulama/cendekiawan muslim ihwal demokrasi terbagi menjadi dua persepsi utama, pertama menolak sepenuhnya, kedua, menerimanya dengan syarat tertentu.
Berikut ditampilkan ulama yang mewakili kedua rekomendasi tersebut:
1. Abul A'la Al-Maududi
Al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak memedulikan paham demokrasi yang berbincang kekuasaan besar terhadap rakyat untuk menetapkan segala hal.
Demokrasi merupakan bikinan insan sekaligus produk dari kontradiksi Barat terhadap agama sehingga condong sekuler.
Karenanya, al-Maududi menilai demokrasi terbaru (Barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan aturan Tuhan)
2. Mohammad Iqbal
Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekulerisme atas agama, demokrasi terbaru menjadi kehilangan segi spiritualnya sehingga jauh dari etika.
Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sudah mengabaikan eksistensi agama.
Parlemen selaku salah satu pilar demokrasi sanggup saja menetapkan aturan yang berlainan dengan nilai agama jikalau anggotanya menghendaki.
Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak sanggup memperoleh versi demokrasi Barat yang sudah kehilangan basis moral dan spiritual.
Atas dasar itu, Iqbal berbincang suatu rancangan demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan.
Makara yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich, menyerupai yang diterapkan di Barat. Lalu Iqbal berbincang suatu versi demokrasi selaku berikut:
a. Tauhid selaku landasan asasi
b. Kepatuhan pada hukum
c. Toleransi sesawa warga
d. Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit
e. Penafsiran aturan Tuhan lewat ijtihad.
3. Muhammad Imarah
Menurut Imarah, Islam tidak memperoleh demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak.
Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat.
Sementara, dalam metode syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan aturan tertinggi.
Wewenang insan hanyalah menjabarkan dan merumuskan aturan sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta ijtihad untuk sesuatu yang tidak dikelola oleh ketentuan Allah Swt.
Jadi, Allah berposisi selaku al-Syari (legislator) sementara insan berposisi selaku faqih (yang mengetahui dan menjabarkan hukum-Nya).
Demokrasi Barat berpulang pada persepsi mereka ihwal batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, sehabis Tuhan bikin alam, Dia membiarkannya.
Dalam filsafat Barat, insan memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara dalam persepsi Islam, Allah Swt pemegang otoritas tersebut.
Allah berfirman: "Ingatlah, bikin dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam." (Q.S. al-A'raf/7:54).
Inilah batas yang membedakan antara metode syariah Islam dan demokrasi Barat. Adapun hal yang lain menyerupai membangun aturan atas dasar kontrak umat, persepsi mayoritas, serta orientasi persepsi umum, dan sebagainya merupakan sejalan dengan Islam.
4. Yusuf al-Qardhawi
Menurut Al-Qardhaqi, substansi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini sanggup dilihat dari beberapa hal, misalnya selaku mana berikut:
a. Dalam demokrasi proses penyeleksian melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang calon yang berhak memimpin dan mengorganisir kondisi mereka. Tentu saja, mereka dilarang akan memutuskan sesuatu yang tidak mereka sukai.
Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam salat yang tidak digemari oleh ma'mum di belakangnya
b. Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar ma'ruf dan nahi munkar serta berbincang pesan tersirat terhadap pemimpin merupakan bab dari aliran Islam.
c. Pemilihan lazim tergolong jenis santunan saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga calon yang mestinya pantas diseleksi menjadi kalahsuara lebih banyak didominasi jatuh terhadap calon yang bekerjsama tidak layak, bermakna ia sudah menyalahi perintah Allah Swt untuk berbincang kesaksian pada di saat dibutuhkan.
d. Penetapan aturan yang menurut bunyi lebih banyak didominasi juga tidak berlainan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam perilaku Umar yang tergabung dalam syura.
Mereka ditunjuk Umar selaku calon khalifah dan sekaligus memutuskan salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah menurut bunyi terbanyak.
Sementara, yang lain yang tidak terpilih mesti tunduk dan patuh. Jika bunyi yang keluar tiga musuh tiga, mereka mesti memutuskan seseorang yang diunggulkan dari luar mereka, yakni Abdullah ibnu Umar.
Contoh lain merupakan penggunaan rekomendasi jumhur ulama dalam duduk kendala khilafiyah. Tentu saja, bunyi lebih banyak didominasi yang diambil ini merupakan selama tidak berlainan dengan nash syariat secara tegas.
e. Kebebasan pers dan keleluasaan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.
5. Salim Ali al-Bahasnawi
Menurut Salim Ali al-Bahasnawi, demokrasi mengandung segi yang bagus yang tidak betentangan dengan Islam dan menampung segi negatif yang berlainan dengan Islam.
Sisi baik demokrasi merupakan adanya kedaulatan rakyat selama tidak berlainan dengan Islam.
Sementara, segi buruknya merupakan penggunaan hak legislatif secara bebas yang sanggup mengarahkan pada perilaku menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Karena itu, ia berbincang adanya Islamisasi demokrasi selaku berikut:
Secara garis besar persepsi para ulama/cendekiawan muslim ihwal demokrasi terbagi menjadi dua persepsi utama, pertama menolak sepenuhnya, kedua, menerimanya dengan syarat tertentu.
Berikut ditampilkan ulama yang mewakili kedua rekomendasi tersebut:
1. Abul A'la Al-Maududi
Al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak memedulikan paham demokrasi yang berbincang kekuasaan besar terhadap rakyat untuk menetapkan segala hal.
Demokrasi merupakan bikinan insan sekaligus produk dari kontradiksi Barat terhadap agama sehingga condong sekuler.
Karenanya, al-Maududi menilai demokrasi terbaru (Barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan aturan Tuhan)
2. Mohammad Iqbal
Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekulerisme atas agama, demokrasi terbaru menjadi kehilangan segi spiritualnya sehingga jauh dari etika.
Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sudah mengabaikan eksistensi agama.
Parlemen selaku salah satu pilar demokrasi sanggup saja menetapkan aturan yang berlainan dengan nilai agama jikalau anggotanya menghendaki.
Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak sanggup memperoleh versi demokrasi Barat yang sudah kehilangan basis moral dan spiritual.
Atas dasar itu, Iqbal berbincang suatu rancangan demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan.
Makara yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich, menyerupai yang diterapkan di Barat. Lalu Iqbal berbincang suatu versi demokrasi selaku berikut:
a. Tauhid selaku landasan asasi
b. Kepatuhan pada hukum
c. Toleransi sesawa warga
d. Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit
e. Penafsiran aturan Tuhan lewat ijtihad.
3. Muhammad Imarah
Menurut Imarah, Islam tidak memperoleh demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak.
Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat.
Sementara, dalam metode syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan aturan tertinggi.
Wewenang insan hanyalah menjabarkan dan merumuskan aturan sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta ijtihad untuk sesuatu yang tidak dikelola oleh ketentuan Allah Swt.
Jadi, Allah berposisi selaku al-Syari (legislator) sementara insan berposisi selaku faqih (yang mengetahui dan menjabarkan hukum-Nya).
Demokrasi Barat berpulang pada persepsi mereka ihwal batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, sehabis Tuhan bikin alam, Dia membiarkannya.
Dalam filsafat Barat, insan memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara dalam persepsi Islam, Allah Swt pemegang otoritas tersebut.
Allah berfirman: "Ingatlah, bikin dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam." (Q.S. al-A'raf/7:54).
Inilah batas yang membedakan antara metode syariah Islam dan demokrasi Barat. Adapun hal yang lain menyerupai membangun aturan atas dasar kontrak umat, persepsi mayoritas, serta orientasi persepsi umum, dan sebagainya merupakan sejalan dengan Islam.
4. Yusuf al-Qardhawi
Menurut Al-Qardhaqi, substansi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini sanggup dilihat dari beberapa hal, misalnya selaku mana berikut:
a. Dalam demokrasi proses penyeleksian melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang calon yang berhak memimpin dan mengorganisir kondisi mereka. Tentu saja, mereka dilarang akan memutuskan sesuatu yang tidak mereka sukai.
Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam salat yang tidak digemari oleh ma'mum di belakangnya
b. Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar ma'ruf dan nahi munkar serta berbincang pesan tersirat terhadap pemimpin merupakan bab dari aliran Islam.
c. Pemilihan lazim tergolong jenis santunan saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga calon yang mestinya pantas diseleksi menjadi kalahsuara lebih banyak didominasi jatuh terhadap calon yang bekerjsama tidak layak, bermakna ia sudah menyalahi perintah Allah Swt untuk berbincang kesaksian pada di saat dibutuhkan.
d. Penetapan aturan yang menurut bunyi lebih banyak didominasi juga tidak berlainan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam perilaku Umar yang tergabung dalam syura.
Mereka ditunjuk Umar selaku calon khalifah dan sekaligus memutuskan salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah menurut bunyi terbanyak.
Sementara, yang lain yang tidak terpilih mesti tunduk dan patuh. Jika bunyi yang keluar tiga musuh tiga, mereka mesti memutuskan seseorang yang diunggulkan dari luar mereka, yakni Abdullah ibnu Umar.
Contoh lain merupakan penggunaan rekomendasi jumhur ulama dalam duduk kendala khilafiyah. Tentu saja, bunyi lebih banyak didominasi yang diambil ini merupakan selama tidak berlainan dengan nash syariat secara tegas.
e. Kebebasan pers dan keleluasaan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.
5. Salim Ali al-Bahasnawi
Menurut Salim Ali al-Bahasnawi, demokrasi mengandung segi yang bagus yang tidak betentangan dengan Islam dan menampung segi negatif yang berlainan dengan Islam.
Sisi baik demokrasi merupakan adanya kedaulatan rakyat selama tidak berlainan dengan Islam.
Sementara, segi buruknya merupakan penggunaan hak legislatif secara bebas yang sanggup mengarahkan pada perilaku menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Karena itu, ia berbincang adanya Islamisasi demokrasi selaku berikut:
- Menetapkan tanggungjawab setiap individu di hadapan Allah Swt.
- Wakil rakyat mesti berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya
- Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kendala yang hukumnya tidak didapatkan dalam al-Quran dan Sunnah
- Komitmen tehadap Islam terkait dengan tolok ukur jabatan sehingga cuma yang bermoral yang duduk di parlemen
0 Komentar untuk "Bagaimana Persepsi Para Ulama Tentang Demokrasi?"