Para ulama berlainan persepsi dalam menampilkan arti kata Qadar' dan Qadar, sebagian ulama mengartikan sama, dan sebagian ulama yang lain menampilkan arti yang berbeda.
Pandangan yang membedakan antara Qada' dan Qadar, mendefiniskan Qadar dengan “ilmu Allah Swt. tentang apa yang hendak terjadi pada makhluk di masa mendatang.
” Sedangkan Qada' yakni “segala sesuatu yang Allah Swt. wujudkan (adakan atau berlakukan) sesuai dengan ilmu dan kehendaknya.”
Sebagian ulama yang lain justru menerapkan definisi di atas secara terbalik, yakni definisi Qada' dan Qadar ditukar.
Pendapat yang menyamakan Qada' dan Qadar menampilkan definisi: ”Aturan baku yang diberlakukan oleh Allah Swt. terhadap alam ini, undangundang yang bersifat umum, dan hukum-hukum yang mengikat alasannya yakni dan akibat”.
Pengertian itu diilhami oleh beberapa ayatal-Qur'an, menyerupai firman Allah Swt.:
Artinya:
“Allah mengenali apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang tepat dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya”. (Q.S. ar-Ra’d/13:8)
Dari pengertian tersebut sanggup ditarik kesimpulan bahwa Qa«±' menurut bahasa memiliki arti “menentukan atau memutuskan”, sedangkan menurut perumpamaan artinya “segala ketentuan Allah Swt. sejak zaman azali”.
Adapun pengertian Qadar menurut bahasa yakni “memberi kadar, aturan, atau ketentuan”.
Sedangkan menurut perumpamaan memiliki arti ”ketetapan Allah Swt. terhadap seluruh makhluk-Nya tentang segala sesuatu”. Firman Allah Swt.:
Artinya:
“Yang kepunyaan-Nya lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya), dan Dia sudah bikin segala sesuatu, dan Dia menegaskan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya”. (Q.S. al-Furqan/25:2)
Iman terhadap Qada' dan Qadar artinya percaya dan percaya dengan sepenuh hati bahwa Allah Swt. sudah menentukan segala sesuatu bagi makhluk-Nya.
Menurut Yasin, doktrin terhadap Qada' dan Qadar yakni “mengimani adanya ilmu Allah Swt. yang qadīm dan mengimani adanya kehendak Allah Swt. yang berlaku serta kekuasaan-Nya yang menyeluruh”.
Setiap muslim wajib mengimani Qa«±' dan Qadar Allah Swt., yang bagus ataupun yang buruk.
Firman Allah Swt.:
“Apakah kau tidak mengenali bahwa sesungguhnya Allah mengenali apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bergotong-royong yang demikian itu terdapat dalam suatu kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Q.S. al-Hajj/22:70)
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan sudah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu yakni mudah bagi Allah”. (Q.S. al-Hadīd/57:22)
Iman terhadap Qada' dan Qadar termasuk empat prinsip, selaku berikut:
a. Iman terhadap ilmu Allah Swt. yang Qadīm (tidak berpermulaan), dan Dia mengenali perbuatan insan sebelum mereka melakukannya;
b. Iman bahwa semua Qadar Allah Swt. sudah tertulis di Lauh Mahfuzh;
c. Iman terhadap adanya kehendak Allah Swt. yang berlaku dan kekuasaan-Nya yang bersifat menyeluruh;
d. Iman bahwa Allah Swt. yakni Zat yang merealisasikan makhluk. Allah Swt. yakni Sang Pencipta dan yang lain yakni makhluk.
Qada' dan Qadar biasa disebut dengan satu kata, “takdir”. Bagi insan dan makhluk lain, ada persepsi takdir baik dan buruk, tetapi dalam persepsi Allah Swt., semua takdir itu baik, lantaran kejelekan tidak dinisbatkan terhadap Allah Swt. Ilmu Allah Swt., kehendak-Nya, catatanNya,
dan penciptaan-Nya semua itu yakni kebijaksanaan, keadilan, kasih sayang, dan kebaikan. Keburukan bukanlah sifat Allah Swt. dan bukan pula pekerjaan-Nya. Perhatikan firman Allah Swt. berikut:
“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim terhadap insan sedikit pun, akan tetapi insan Itulah yang berbuat zalim terhadap dirinya sendiri”(Q.S.Yµnus/10:44)
Pandangan yang membedakan antara Qada' dan Qadar, mendefiniskan Qadar dengan “ilmu Allah Swt. tentang apa yang hendak terjadi pada makhluk di masa mendatang.
” Sedangkan Qada' yakni “segala sesuatu yang Allah Swt. wujudkan (adakan atau berlakukan) sesuai dengan ilmu dan kehendaknya.”
Sebagian ulama yang lain justru menerapkan definisi di atas secara terbalik, yakni definisi Qada' dan Qadar ditukar.
Pendapat yang menyamakan Qada' dan Qadar menampilkan definisi: ”Aturan baku yang diberlakukan oleh Allah Swt. terhadap alam ini, undangundang yang bersifat umum, dan hukum-hukum yang mengikat alasannya yakni dan akibat”.
Pengertian itu diilhami oleh beberapa ayatal-Qur'an, menyerupai firman Allah Swt.:
Artinya:
“Allah mengenali apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang tepat dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya”. (Q.S. ar-Ra’d/13:8)
Dari pengertian tersebut sanggup ditarik kesimpulan bahwa Qa«±' menurut bahasa memiliki arti “menentukan atau memutuskan”, sedangkan menurut perumpamaan artinya “segala ketentuan Allah Swt. sejak zaman azali”.
Adapun pengertian Qadar menurut bahasa yakni “memberi kadar, aturan, atau ketentuan”.
Sedangkan menurut perumpamaan memiliki arti ”ketetapan Allah Swt. terhadap seluruh makhluk-Nya tentang segala sesuatu”. Firman Allah Swt.:
Artinya:
“Yang kepunyaan-Nya lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya), dan Dia sudah bikin segala sesuatu, dan Dia menegaskan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya”. (Q.S. al-Furqan/25:2)
Iman terhadap Qada' dan Qadar artinya percaya dan percaya dengan sepenuh hati bahwa Allah Swt. sudah menentukan segala sesuatu bagi makhluk-Nya.
Menurut Yasin, doktrin terhadap Qada' dan Qadar yakni “mengimani adanya ilmu Allah Swt. yang qadīm dan mengimani adanya kehendak Allah Swt. yang berlaku serta kekuasaan-Nya yang menyeluruh”.
Setiap muslim wajib mengimani Qa«±' dan Qadar Allah Swt., yang bagus ataupun yang buruk.
Firman Allah Swt.:
“Apakah kau tidak mengenali bahwa sesungguhnya Allah mengenali apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bergotong-royong yang demikian itu terdapat dalam suatu kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Q.S. al-Hajj/22:70)
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan sudah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu yakni mudah bagi Allah”. (Q.S. al-Hadīd/57:22)
Iman terhadap Qada' dan Qadar termasuk empat prinsip, selaku berikut:
a. Iman terhadap ilmu Allah Swt. yang Qadīm (tidak berpermulaan), dan Dia mengenali perbuatan insan sebelum mereka melakukannya;
b. Iman bahwa semua Qadar Allah Swt. sudah tertulis di Lauh Mahfuzh;
c. Iman terhadap adanya kehendak Allah Swt. yang berlaku dan kekuasaan-Nya yang bersifat menyeluruh;
d. Iman bahwa Allah Swt. yakni Zat yang merealisasikan makhluk. Allah Swt. yakni Sang Pencipta dan yang lain yakni makhluk.
Qada' dan Qadar biasa disebut dengan satu kata, “takdir”. Bagi insan dan makhluk lain, ada persepsi takdir baik dan buruk, tetapi dalam persepsi Allah Swt., semua takdir itu baik, lantaran kejelekan tidak dinisbatkan terhadap Allah Swt. Ilmu Allah Swt., kehendak-Nya, catatanNya,
dan penciptaan-Nya semua itu yakni kebijaksanaan, keadilan, kasih sayang, dan kebaikan. Keburukan bukanlah sifat Allah Swt. dan bukan pula pekerjaan-Nya. Perhatikan firman Allah Swt. berikut:
Allah Swt. menerangkan tentang Qada' dan Qadar, lewat fiman-firman-Nya, dan juga dalam beberapa hadis Rasulullah saw.,di antaranya menyatakan:
Dalil al-Qur'an
Dalil As-Sunah (Hadis Rasulullah)
Adapun klarifikasi Rasulullah saw. tentang Qada' dan Qadar antara lain diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam hadis berikut:
1. “Sesungguhnya penciptaan salah seorang dari kalian dikumpulkan dalam perut ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk nuthfah (sperma), kemudian bermetamorfosis ‘alaqah (segumpal darah) selama empat puluh hari, kemudian bermetamorfosis mudghah (sepotong daging) selama empat puluh hari, kemudian malaikat dikirim kepadanya kemudian malaikat meniupkan ruh padanya, dan malaikat tersebut ditugaskan empat hal: menuliskan rizkinya, menuliskan ajalnya, menuliskan amal perbuatannya, dan menuliskan apakah ia celaka, atau bahagia.
Demi Dzat yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, sesungguhnya salah seorang dari kalian niscaya melaksanakan amal perbuatan penghuni surga, hingga ketika jaraknya dengan nirwana cuma satu lengan, tiba-tiba ketetapan berlaku padanya kemudian ia melaksanakan amal perbuatan
penghuni neraka, dan ia pun masuk neraka.
Sesungguhnya salah seorang dari kalian niscaya melaksanakan amal perbuatan penghuni neraka, hingga ketika jaraknya dengan neraka cuma satu lengan, tiba-tiba ketetapan berlaku padanya kemudian ia melaksanakan amal perbuatan penghuni surga, dan ia masuk surga.” (H.R. Muslim)
2. Dalam hadis yang lain, Rasulullah saw. bersabda yang artinya: ”Sesungguhnya seseorang itu diciptakan dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, 40 hari menjadi segumpal
darah, 40 hari menjadi segumpal daging, kemudian Allah mewakilkan malaikat untuk meniupkan ruh ke dalamnya dan menuliskan empat ketentuan, yakni tentang rezekinya, ajalnya, amal perbuatannya, dan (jalan hidupnya) sengsara atau bahagia.” (H.R.al-Bukhari dan Muslim)
Dari hadis di atas sanggup dipahami bahwa nasib insan sudah diputuskan Qada' dan Qadarnya oleh Allah Swt. sejak sebelum ia dilahirkan.
Walaupun setiap insan sudah diputuskan nasibnya, tidak memiliki arti bahwa insan cuma tinggal membisu menanti nasib tanpa berupaya dan ikhtiar.
Manusia tetap berkewajiban untuk berusaha, alasannya yakni kesuksesan tidak tiba dengan sendirinya.
Dalil al-Qur'an
- “Sesungguhnya Kami bikin segala sesuatu menurut ukuran (takdir).” (Q.S. al-Qamar/54:49)
- “Tidak ada suatu peristiwa apapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian melainkan sudah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.” (Q.S. al-Hadīd/57:22)
- “Dan tiap-tiap insan sudah Kami menegaskan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya.” (Q.S. al-Isr±’/17:13)
- “Tidak ada sesutu peristiwa alam pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah.” (Q.S. at-Tag±bun/64:11)
Dalil As-Sunah (Hadis Rasulullah)
Adapun klarifikasi Rasulullah saw. tentang Qada' dan Qadar antara lain diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam hadis berikut:
1. “Sesungguhnya penciptaan salah seorang dari kalian dikumpulkan dalam perut ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk nuthfah (sperma), kemudian bermetamorfosis ‘alaqah (segumpal darah) selama empat puluh hari, kemudian bermetamorfosis mudghah (sepotong daging) selama empat puluh hari, kemudian malaikat dikirim kepadanya kemudian malaikat meniupkan ruh padanya, dan malaikat tersebut ditugaskan empat hal: menuliskan rizkinya, menuliskan ajalnya, menuliskan amal perbuatannya, dan menuliskan apakah ia celaka, atau bahagia.
Demi Dzat yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, sesungguhnya salah seorang dari kalian niscaya melaksanakan amal perbuatan penghuni surga, hingga ketika jaraknya dengan nirwana cuma satu lengan, tiba-tiba ketetapan berlaku padanya kemudian ia melaksanakan amal perbuatan
penghuni neraka, dan ia pun masuk neraka.
Sesungguhnya salah seorang dari kalian niscaya melaksanakan amal perbuatan penghuni neraka, hingga ketika jaraknya dengan neraka cuma satu lengan, tiba-tiba ketetapan berlaku padanya kemudian ia melaksanakan amal perbuatan penghuni surga, dan ia masuk surga.” (H.R. Muslim)
2. Dalam hadis yang lain, Rasulullah saw. bersabda yang artinya: ”Sesungguhnya seseorang itu diciptakan dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, 40 hari menjadi segumpal
darah, 40 hari menjadi segumpal daging, kemudian Allah mewakilkan malaikat untuk meniupkan ruh ke dalamnya dan menuliskan empat ketentuan, yakni tentang rezekinya, ajalnya, amal perbuatannya, dan (jalan hidupnya) sengsara atau bahagia.” (H.R.al-Bukhari dan Muslim)
Dari hadis di atas sanggup dipahami bahwa nasib insan sudah diputuskan Qada' dan Qadarnya oleh Allah Swt. sejak sebelum ia dilahirkan.
Walaupun setiap insan sudah diputuskan nasibnya, tidak memiliki arti bahwa insan cuma tinggal membisu menanti nasib tanpa berupaya dan ikhtiar.
Manusia tetap berkewajiban untuk berusaha, alasannya yakni kesuksesan tidak tiba dengan sendirinya.
Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah saw. dihadiri oleh seorang pria yang berpakaian serba putih, dan rambutnya sungguh hitam.
Lelaki itu mengajukan pertanyaan tentang Islam, Iman dan Ihsan.
Tentang keimanan, Rasulullah menjawab yang artinya: “Hendaklah engkau beriman terhadap Allah, malaikatmalaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan beriman pula terhadap Qadar (takdir) yang bagus ataupun yang buruk”.(H.R. Muslim).
Lelaki itu yakni Malaikat Jibril yang sengaja tiba untuk menampilkan pelajaran agama terhadap umat Nabi Muhammad saw.
Jawaban Rasulullah yang dibenarkan oleh Malaikat Jibril itu berisi rukun iman. Salah satu dari
rukun doktrin itu yakni doktrin terhadap Qada' dan Qadar.
Dengan demikian, mempercayai Qada' dan Qadar ialah kewajiban. Kita mesti percaya dengan sepenuh hati bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri kita, baik yang menggembirakan maupun yang tidak yakni atas kehendak atau takdir Allah Swt.
Sebagai orang beriman, kita mesti rela memperoleh segala ketentuan Allah Swt. atas diri kita. Di dalam suatu hadis qudsi Allah Swt. berfirman yang artinya:
”Siapa yang tidak rida dengan Qada'-Ku dan Qadar-Ku dan tidak sabar terhadap bencana-Ku yang saya timpakan atasnya, maka hendaklah mencari Tuhan selain Aku”. (H.R.at-Tabrani)
Takdir Allah Swt. ialah iradah (kehendak) Allah Swt.. Oleh sebab itu, takdir tidak senantiasa sesuai dengan kesempatan kita.
Tatkala takdir sesuai dengan kesempatan kita, hendaklah kita bersyukur lantaran hal itu ialah lezat yang diberikan Allah Swt. terhadap kita.
Ketika takdir yang kita alami tidak menggembirakan atau ialah musibah, maka hendaklah kita
terima dengan sabar dan ikhlas.
Kita mesti yakin, bahwa di balik peristiwa alam itu ada pesan yang tersirat yang sering kali kita belum mengetahuinya. Allah Swt. Maha Mengetahui atas apa yang diperbuat-Nya.
Lelaki itu mengajukan pertanyaan tentang Islam, Iman dan Ihsan.
Tentang keimanan, Rasulullah menjawab yang artinya: “Hendaklah engkau beriman terhadap Allah, malaikatmalaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan beriman pula terhadap Qadar (takdir) yang bagus ataupun yang buruk”.(H.R. Muslim).
Lelaki itu yakni Malaikat Jibril yang sengaja tiba untuk menampilkan pelajaran agama terhadap umat Nabi Muhammad saw.
Jawaban Rasulullah yang dibenarkan oleh Malaikat Jibril itu berisi rukun iman. Salah satu dari
rukun doktrin itu yakni doktrin terhadap Qada' dan Qadar.
Dengan demikian, mempercayai Qada' dan Qadar ialah kewajiban. Kita mesti percaya dengan sepenuh hati bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri kita, baik yang menggembirakan maupun yang tidak yakni atas kehendak atau takdir Allah Swt.
Sebagai orang beriman, kita mesti rela memperoleh segala ketentuan Allah Swt. atas diri kita. Di dalam suatu hadis qudsi Allah Swt. berfirman yang artinya:
”Siapa yang tidak rida dengan Qada'-Ku dan Qadar-Ku dan tidak sabar terhadap bencana-Ku yang saya timpakan atasnya, maka hendaklah mencari Tuhan selain Aku”. (H.R.at-Tabrani)
Takdir Allah Swt. ialah iradah (kehendak) Allah Swt.. Oleh sebab itu, takdir tidak senantiasa sesuai dengan kesempatan kita.
Tatkala takdir sesuai dengan kesempatan kita, hendaklah kita bersyukur lantaran hal itu ialah lezat yang diberikan Allah Swt. terhadap kita.
Ketika takdir yang kita alami tidak menggembirakan atau ialah musibah, maka hendaklah kita
terima dengan sabar dan ikhlas.
Kita mesti yakin, bahwa di balik peristiwa alam itu ada pesan yang tersirat yang sering kali kita belum mengetahuinya. Allah Swt. Maha Mengetahui atas apa yang diperbuat-Nya.
Mengenai kekerabatan antara Qada' dan Qadar dengan ikhtiar, do’a dan tawakal ini, para ulama berpendapat, bahwa takdir itu ada dua macam menyerupai dibawah ini:
a. Takdir Mua’llaq
Takdir Mua’llaq yakni takdir yang dekat kaitannya dengan ikhtiar manusia. Misalnya, seorang siswa bercita-cita ingin menjadi insinyur pertanian. Untuk meraih cita-citanya itu ia menimba ilmu dengan tekun.
Akhirnya apa yang ia cita-citakan menjadi kenyataan. Ia menjadi insinyur pertanian. Dalam hal ini Allah Swt. berfirman:
“Bagi insan ada malaikat-malaikat yang senantiasa mengikutinya bergiliran, di paras dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah kondisi sesuatu kaum sehingga mereka merubah kondisi yang ada pada diri mereka
sendiri. Dan apabila Allah mengharapkan kejelekan terhadap sesuatu
kaum, maka tak ada yang sanggup menolaknya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia”. (Q.S ar-Ra’d/13:11)
b. Takdir Mubram
Takdir Mubram yakni takdir yang terjadi pada diri insan dan tidak sanggup diusahakan atau tidak sanggup ditawar-tawar lagi oleh manusia. Misalnya, ada orang yang dilahirkan dengan mata sipit, atau dilahirkan dengan kulit gelap sedangkan ibu dan bapak kulit putih, dan sebagainya.
a. Takdir Mua’llaq
Takdir Mua’llaq yakni takdir yang dekat kaitannya dengan ikhtiar manusia. Misalnya, seorang siswa bercita-cita ingin menjadi insinyur pertanian. Untuk meraih cita-citanya itu ia menimba ilmu dengan tekun.
Akhirnya apa yang ia cita-citakan menjadi kenyataan. Ia menjadi insinyur pertanian. Dalam hal ini Allah Swt. berfirman:
“Bagi insan ada malaikat-malaikat yang senantiasa mengikutinya bergiliran, di paras dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah kondisi sesuatu kaum sehingga mereka merubah kondisi yang ada pada diri mereka
sendiri. Dan apabila Allah mengharapkan kejelekan terhadap sesuatu
kaum, maka tak ada yang sanggup menolaknya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia”. (Q.S ar-Ra’d/13:11)
b. Takdir Mubram
Takdir Mubram yakni takdir yang terjadi pada diri insan dan tidak sanggup diusahakan atau tidak sanggup ditawar-tawar lagi oleh manusia. Misalnya, ada orang yang dilahirkan dengan mata sipit, atau dilahirkan dengan kulit gelap sedangkan ibu dan bapak kulit putih, dan sebagainya.
Qada' dan Qadar atau takdir berlangsung menurut aturan “sunnatullah”. Artinya kesuksesan hidup seseorang sungguh tergantung sejalan atau tidak dengan sunnatullah.
Sunnatullah yakni hukum-hukum Allah Swt. yang disampaikan untuk umat insan lewat para Rasul, yang tercantum di dalam al-Qur'an berlangsung tetap dan otomatis.
Misalnya malas menimba ilmu berakibat bodoh, tidak mau melakukan pekerjaan akan miskin, menjamah api mencicipi panas, menanam benih akan berkembang dan lain-lain.
Kenyataan menampilkan bahwa siapa saja penduduknya tidak dapat mengenali takdirnya. Jangankan peristiwa masa depan, hari esok terjadi apa, tidak ada yang dapat mengetahuinya.
Siapa pun yang berupaya dengan sungguhsungguh sesuai hukum-hukum Allah Swt. disertai
dengan do’a, tulus dan tawakal terhadap Allah Swt., ditentukan akan memperoleh keberhasilan
dan memperoleh kesempatan sesuai tujuan yang ditetapkan.
Berkaitan dengan makna beriman terhadap Qa«±' dan Qadar, sanggup dipahami bahwa nasib insan sudah diputuskan Allah Swt. sejak sebelum ia dilahirkan.
Walaupun setiap insan sudah diputuskan nasibnya, tidak memiliki arti bahwa insan cuma tinggal membisu menanti nasib tanpa berupaya dan ikhtiar.
Manusia tetap berkewajiban untuk berusaha, alasannya yakni kesuksesan tidak tiba dengan sendirinya.
Janganlah sekali-kali memunculkan takdir itu selaku argumentasi untuk malas berupaya dan berbuat kejahatan.
Pernah terjadi pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, seorang pencuri tertangkap dan dibawa ke hadapan Khalifah Umar.
” Mengapa Engkau mencuri?” tanya Khalifah.
Pencuri itu menjawab, ”Memang Allah sudah menakdirkan saya menjadi pencuri”.
Mendengar jawaban demikian, Khalifah Umar marah, kemudian berkata, ” Pukul saja orang ini dengan cemeti, sehabis itu potonglah tangannya!” para sobat lain bertanya, ” Mengapa hukumnya diberatkan menyerupai itu?”Khalifah Umar menjawab, ”Ya, itulah yang setimpal.
Ia wajib diiris tangannya alasannya yakni mencuri dan wajib dipukul lantaran berdusta atas nama Allah”.
Beriman terhadap takdir senantiasa terkait dengan 4 (empat) hal yang senantiasa bermitra dan tidak terpisahkan. Keempat hal itu yakni doktrin terhadap takdir itu sendiri, ikhtiar, do’a, dan tawakal.
a. Takdir
Mengapa insan tidak dapat melayang laksana burung, tumbuh-tumbuhan meningkat subur, kemudian layu, dan kering.
Rumput-rumput subur bila senantiasa disiram dan sebaliknya bila dibiarkan tanpa pemeliharaan akan mati. Semua tumpuan tersebut, yakni ketentuan Allah Swt. dan itulah yang disebut Takdir.
Manusia mempunyai kesanggupan terbatas sesuai dengan ukuran yang diberikan Allah Swt. kepadanya Di samping itu, insan berada di bawah hukum-hukum tersebut (Qauliyah dan Kauniyah).
Hanya berlainan dengan makhluk selain manusia, misalnya matahari, bulan dan planet lainnya, segalanya ditetapkan takdirnya tanpa bisa ditawar-tawar. (Q.S.Fussilat/41:11)
Manusia makhluk yang paling sempurna, oleh lantaran itu ia diberi kesanggupan menentukan bahkan pilihannya cukup banyak.
Manusia sanggup menentukan ketentuan (takdir) Allah Swt. yang ditetapkan kesuksesan atau kemalangan, kebahagiaan atau kesengsaraan, menjadi orang yang bagus atau tidak. (Q.S. al-Kahfi/18:29).
Namun mesti dikenang setiap opsi yang diambil manusia. Pada dikala yang serupa insan diminta pertanggungjawaban terhadap pilihannya, lantaran ditangani atas kesadaran sendiri.
Firman Allah Swt.:
“Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh mujur orang yang mensucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya” (Q.S. asy-Syams/91:8-10)
"Apakah insan menyangka dibiarkan tanpa pertanggungjawaban?” (Q.S. AlQiyamah/75:36).
Beberapa tamsil peristiwa ini akan sanggup membuat lebih mudah dalam mengetahui duduk masalah takdir.
Dikisahkan ketika Umar bin Khattab akan berkunjung ke negeri Syam (Syiria dan Palestina sekarang) dia mendengar gunjingan bahwa di sana sedang terjadi wabah penyakit, sehingga dia membatalkan rencananya tersebut.
Kemudian seseorang tampil bertanya: “(Apakah Anda lari/menghindar dari takdir Allah?)” Umar serta merta menjawab: “(Saya lari/menghindari dari takdir Allah terhadap takdir-Nya yang lain)”
Sejak zaman Rasulullah saw. sudah terjadi kekeliruan dalam menanggapi takdir, salah satunya dia bersabda:“Pada kiamat ada suatu kelompok yang berbuat kemaksiatan, dengan (sangat enaknya) mereka berkata: “Allah Swt. sudah menakdirkan saya mencuri.”
Peristiwa-peristiwa tersebut menampilkan kesalahan dalam mengetahui takdir, padahal dengan tegas Allah Swt. melarangnya.
Akhlak yang diajarkan Islam yakni setiap kejelekan yang menimpa ialah kesalahan kita
selaku manusia, sementara segala kebaikan dan kesuksesan ialah anugerah Allah Swt.
b. Ikhtiar
Ikhtiar yakni berupaya dengan betul-betul dan sepenuh hati dalam menggapai kesempatan dan tujuan.
Allah Swt. menentukan takdir, kita selaku insan berkewajiban melaksanakan ikhtiar. Jika Allah Swt. sudah menentukan, kenapa ada ikhtiar?
Perhatikan Firman Allah Swt. dalam Q.S.al-Anbiyaa’/21:90 yang artinya:”Sungguh mereka yakni orang-orang yang senantiasa bersegera dalam(mengerjakan) perbuatan-perbuatan baik” Kemudian dalam Q.S.alMukminuun/23:60, Allah Swt. Berfirman: ”Mereka itu bersegera untuk mendapatkan
kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang secepatnya memperolehnya”
Dari beberapa ayat di atas, Allah Swt. mendorong insan untuk berusaha, berlomba, dan bersaing menjadi orang yang tercepat.
Siapa pun yang berupaya dengan sungguh-sungguh, memiliki arti dia sedang menuju keberhasilan. Pepatah Arab menyampaikan “Man jadda wajada”, Artinya:“Siapa pun penduduknya yang bersungguh-sungguh akan memperoleh keberhasilan”.
Rasulullah saw. bersabda: ”Bersegeralah melaksanakan aktivitas kebajikan sebelum dihadapkan pada tujuh penghalang.
Akankah kalian menanti kekafiran yang menyisihkan, kekayaan yang melupakan, penyakit yang menggerogoti, penuaan yang melemahkan, kematian yang pasti, ataukah Dajjal, kejahatan terburuk yang niscaya datang, atau bahkan kiamat yang sungguh amat dahsyat?”(HR. at-Tirmid©i).
Jika sudah diikhtiarkan tetapi kegagalan yang diperoleh, maka dalam kekerabatan inilah letak “rahasia Ilahi.” Meskipun begitu, Allah Swt. tidak menyia-nyiakan semua amal yang sudah dilakukan, meskipun gagal.
Firman Allah Swt.: “ Dan bahwa insan cuma memperoleh apa yang sudah diusahakannya, dan sesungguhnya bisnisnya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan diberi jawaban kepadanya dengan jawaban yang paling sempurna”. (Q.S. an-Najm/53:39-41).
Berdasarkan klarifikasi di atas, jelaslah kenapa Allah Swt. mengharuskan insan berikhtiar. Walaupun sudah diputuskan Qada' dan qadarnya, di bahu insan lah kunci kesuksesan dan keberuntungan hidupnya.
Di samping itu, terlalu banyak anugerah yang sudah Allah Swt. berikan terhadap insan berupa: naluri, panca indera, akal, kalbu, dan aturan agama, sehingga lengkaplah sudah bekal yang dimiliki insan menuju kebahagiaan hidup yang diinginkan.
c. Doa
Doa yakni ikhtiar batin yang besar pengaruhnya bagi insan yang meyakininya. Hal ini lantaran doa ialah belahan dari motivasi intrinsik.
Bagi yang meyakini, doa akan menampilkan energi dalam menjalani ikhtiarnya, lantaran Allah Swt. sudah berjanji untuk mengabulkan tuntutan orang yang bersungguh-sungguh memohon. Firman Allah Swt.: “Aku mengabulkan tuntutan orang yang berdoa, apabila ia berdoa kepada-Ku, ..” (Q.S. al-Baqarah/2:186)
d. Tawakal
Setelah meyakini dan mengimani takdir, kemudian disertai dengan ikhtiar dan do’a, maka tibalah insan mengambil sikap tawakal.
Tawakal yakni “menyerahkan segala urusan dan hasil ikhtiarnya cuma terhadap Allah Swt.”.
Dasar pengertian tawakal diambil dari peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah saw.: Pada suatu hari tiba seorang sobat ke kediaman Rasulullah dengan mengendarai unta.
Sesampainya di depan rumah beliau, (ada peristiwa ganjil menurut persepsi Rasulullah), sehingga dia berkata: “Kenapa unta kalian tidak ditambatkan?”
Ia menjawab: “Tidak ya Rasulullah, lantaran saya sudah bertawakal.”
Kemudian Rasulullah berkata: “Tambatkan dahulu unta kalian, gres bertawakal!”
Peristiwa ini menyimpulkan pengertian bahwa sikap tawakal gres boleh ditangani sehabis jerih payah yang betul-betul sudah dijalankan.
Hal ini juga menampilkan pengertian bahwa tawakal itu terkait dekat dengan ikhtiar, atau sanggup ditarik kesimpulan bahwa tidak ada tawakal tanpa ikhtiar.
Firman Allah Swt.:”Kemudian apabila kau sudah membulatkan tekad maka bertawakallah terhadap Allah. Sesungguhnya Allah menggemari orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”(Q.S.Ali-Imran/3:159).
Sunnatullah yakni hukum-hukum Allah Swt. yang disampaikan untuk umat insan lewat para Rasul, yang tercantum di dalam al-Qur'an berlangsung tetap dan otomatis.
Misalnya malas menimba ilmu berakibat bodoh, tidak mau melakukan pekerjaan akan miskin, menjamah api mencicipi panas, menanam benih akan berkembang dan lain-lain.
Kenyataan menampilkan bahwa siapa saja penduduknya tidak dapat mengenali takdirnya. Jangankan peristiwa masa depan, hari esok terjadi apa, tidak ada yang dapat mengetahuinya.
Siapa pun yang berupaya dengan sungguhsungguh sesuai hukum-hukum Allah Swt. disertai
dengan do’a, tulus dan tawakal terhadap Allah Swt., ditentukan akan memperoleh keberhasilan
dan memperoleh kesempatan sesuai tujuan yang ditetapkan.
Berkaitan dengan makna beriman terhadap Qa«±' dan Qadar, sanggup dipahami bahwa nasib insan sudah diputuskan Allah Swt. sejak sebelum ia dilahirkan.
Walaupun setiap insan sudah diputuskan nasibnya, tidak memiliki arti bahwa insan cuma tinggal membisu menanti nasib tanpa berupaya dan ikhtiar.
Manusia tetap berkewajiban untuk berusaha, alasannya yakni kesuksesan tidak tiba dengan sendirinya.
Janganlah sekali-kali memunculkan takdir itu selaku argumentasi untuk malas berupaya dan berbuat kejahatan.
Pernah terjadi pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, seorang pencuri tertangkap dan dibawa ke hadapan Khalifah Umar.
” Mengapa Engkau mencuri?” tanya Khalifah.
Pencuri itu menjawab, ”Memang Allah sudah menakdirkan saya menjadi pencuri”.
Mendengar jawaban demikian, Khalifah Umar marah, kemudian berkata, ” Pukul saja orang ini dengan cemeti, sehabis itu potonglah tangannya!” para sobat lain bertanya, ” Mengapa hukumnya diberatkan menyerupai itu?”Khalifah Umar menjawab, ”Ya, itulah yang setimpal.
Ia wajib diiris tangannya alasannya yakni mencuri dan wajib dipukul lantaran berdusta atas nama Allah”.
Beriman terhadap takdir senantiasa terkait dengan 4 (empat) hal yang senantiasa bermitra dan tidak terpisahkan. Keempat hal itu yakni doktrin terhadap takdir itu sendiri, ikhtiar, do’a, dan tawakal.
a. Takdir
Mengapa insan tidak dapat melayang laksana burung, tumbuh-tumbuhan meningkat subur, kemudian layu, dan kering.
Rumput-rumput subur bila senantiasa disiram dan sebaliknya bila dibiarkan tanpa pemeliharaan akan mati. Semua tumpuan tersebut, yakni ketentuan Allah Swt. dan itulah yang disebut Takdir.
Manusia mempunyai kesanggupan terbatas sesuai dengan ukuran yang diberikan Allah Swt. kepadanya Di samping itu, insan berada di bawah hukum-hukum tersebut (Qauliyah dan Kauniyah).
Hanya berlainan dengan makhluk selain manusia, misalnya matahari, bulan dan planet lainnya, segalanya ditetapkan takdirnya tanpa bisa ditawar-tawar. (Q.S.Fussilat/41:11)
Manusia makhluk yang paling sempurna, oleh lantaran itu ia diberi kesanggupan menentukan bahkan pilihannya cukup banyak.
Manusia sanggup menentukan ketentuan (takdir) Allah Swt. yang ditetapkan kesuksesan atau kemalangan, kebahagiaan atau kesengsaraan, menjadi orang yang bagus atau tidak. (Q.S. al-Kahfi/18:29).
Namun mesti dikenang setiap opsi yang diambil manusia. Pada dikala yang serupa insan diminta pertanggungjawaban terhadap pilihannya, lantaran ditangani atas kesadaran sendiri.
Firman Allah Swt.:
“Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh mujur orang yang mensucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya” (Q.S. asy-Syams/91:8-10)
"Apakah insan menyangka dibiarkan tanpa pertanggungjawaban?” (Q.S. AlQiyamah/75:36).
Beberapa tamsil peristiwa ini akan sanggup membuat lebih mudah dalam mengetahui duduk masalah takdir.
Dikisahkan ketika Umar bin Khattab akan berkunjung ke negeri Syam (Syiria dan Palestina sekarang) dia mendengar gunjingan bahwa di sana sedang terjadi wabah penyakit, sehingga dia membatalkan rencananya tersebut.
Kemudian seseorang tampil bertanya: “(Apakah Anda lari/menghindar dari takdir Allah?)” Umar serta merta menjawab: “(Saya lari/menghindari dari takdir Allah terhadap takdir-Nya yang lain)”
Sejak zaman Rasulullah saw. sudah terjadi kekeliruan dalam menanggapi takdir, salah satunya dia bersabda:“Pada kiamat ada suatu kelompok yang berbuat kemaksiatan, dengan (sangat enaknya) mereka berkata: “Allah Swt. sudah menakdirkan saya mencuri.”
Peristiwa-peristiwa tersebut menampilkan kesalahan dalam mengetahui takdir, padahal dengan tegas Allah Swt. melarangnya.
Akhlak yang diajarkan Islam yakni setiap kejelekan yang menimpa ialah kesalahan kita
selaku manusia, sementara segala kebaikan dan kesuksesan ialah anugerah Allah Swt.
b. Ikhtiar
Ikhtiar yakni berupaya dengan betul-betul dan sepenuh hati dalam menggapai kesempatan dan tujuan.
Allah Swt. menentukan takdir, kita selaku insan berkewajiban melaksanakan ikhtiar. Jika Allah Swt. sudah menentukan, kenapa ada ikhtiar?
Perhatikan Firman Allah Swt. dalam Q.S.al-Anbiyaa’/21:90 yang artinya:”Sungguh mereka yakni orang-orang yang senantiasa bersegera dalam(mengerjakan) perbuatan-perbuatan baik” Kemudian dalam Q.S.alMukminuun/23:60, Allah Swt. Berfirman: ”Mereka itu bersegera untuk mendapatkan
kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang secepatnya memperolehnya”
Dari beberapa ayat di atas, Allah Swt. mendorong insan untuk berusaha, berlomba, dan bersaing menjadi orang yang tercepat.
Siapa pun yang berupaya dengan sungguh-sungguh, memiliki arti dia sedang menuju keberhasilan. Pepatah Arab menyampaikan “Man jadda wajada”, Artinya:“Siapa pun penduduknya yang bersungguh-sungguh akan memperoleh keberhasilan”.
Rasulullah saw. bersabda: ”Bersegeralah melaksanakan aktivitas kebajikan sebelum dihadapkan pada tujuh penghalang.
Akankah kalian menanti kekafiran yang menyisihkan, kekayaan yang melupakan, penyakit yang menggerogoti, penuaan yang melemahkan, kematian yang pasti, ataukah Dajjal, kejahatan terburuk yang niscaya datang, atau bahkan kiamat yang sungguh amat dahsyat?”(HR. at-Tirmid©i).
Jika sudah diikhtiarkan tetapi kegagalan yang diperoleh, maka dalam kekerabatan inilah letak “rahasia Ilahi.” Meskipun begitu, Allah Swt. tidak menyia-nyiakan semua amal yang sudah dilakukan, meskipun gagal.
Firman Allah Swt.: “ Dan bahwa insan cuma memperoleh apa yang sudah diusahakannya, dan sesungguhnya bisnisnya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan diberi jawaban kepadanya dengan jawaban yang paling sempurna”. (Q.S. an-Najm/53:39-41).
Berdasarkan klarifikasi di atas, jelaslah kenapa Allah Swt. mengharuskan insan berikhtiar. Walaupun sudah diputuskan Qada' dan qadarnya, di bahu insan lah kunci kesuksesan dan keberuntungan hidupnya.
Di samping itu, terlalu banyak anugerah yang sudah Allah Swt. berikan terhadap insan berupa: naluri, panca indera, akal, kalbu, dan aturan agama, sehingga lengkaplah sudah bekal yang dimiliki insan menuju kebahagiaan hidup yang diinginkan.
c. Doa
Doa yakni ikhtiar batin yang besar pengaruhnya bagi insan yang meyakininya. Hal ini lantaran doa ialah belahan dari motivasi intrinsik.
Bagi yang meyakini, doa akan menampilkan energi dalam menjalani ikhtiarnya, lantaran Allah Swt. sudah berjanji untuk mengabulkan tuntutan orang yang bersungguh-sungguh memohon. Firman Allah Swt.: “Aku mengabulkan tuntutan orang yang berdoa, apabila ia berdoa kepada-Ku, ..” (Q.S. al-Baqarah/2:186)
d. Tawakal
Setelah meyakini dan mengimani takdir, kemudian disertai dengan ikhtiar dan do’a, maka tibalah insan mengambil sikap tawakal.
Tawakal yakni “menyerahkan segala urusan dan hasil ikhtiarnya cuma terhadap Allah Swt.”.
Dasar pengertian tawakal diambil dari peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah saw.: Pada suatu hari tiba seorang sobat ke kediaman Rasulullah dengan mengendarai unta.
Sesampainya di depan rumah beliau, (ada peristiwa ganjil menurut persepsi Rasulullah), sehingga dia berkata: “Kenapa unta kalian tidak ditambatkan?”
Ia menjawab: “Tidak ya Rasulullah, lantaran saya sudah bertawakal.”
Kemudian Rasulullah berkata: “Tambatkan dahulu unta kalian, gres bertawakal!”
Peristiwa ini menyimpulkan pengertian bahwa sikap tawakal gres boleh ditangani sehabis jerih payah yang betul-betul sudah dijalankan.
Hal ini juga menampilkan pengertian bahwa tawakal itu terkait dekat dengan ikhtiar, atau sanggup ditarik kesimpulan bahwa tidak ada tawakal tanpa ikhtiar.
Firman Allah Swt.:”Kemudian apabila kau sudah membulatkan tekad maka bertawakallah terhadap Allah. Sesungguhnya Allah menggemari orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”(Q.S.Ali-Imran/3:159).
Hikmah beriman terhadap qada dan qadah yakni selaku berikut:
1. Semakin meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini tidak lepas dari sunnatullah;
2. Semakin termotivasi untuk senantiasa berikhtiar atau berupaya lebih ulet lagi dalam mengejar-ngejar cita-citanya.
3. Meningkatkan kepercayaan akan pentingnya tugas doa bagi kesuksesan suatu usaha;
4. Meningkatkan optimisme dalam memandang masa depan dengan ikhitar yang sungguhsungguh;
5. Meningk atkan kekebalan jiwa dalam menghadapi segala rintangan dalam jerih payah sehingga tidak berputus asa ketika mengalami kegagalan;
6. Menyadarkan insan bahwa dalam kehidupan ini dibatasi oleh peraturan-peraturan Allah Swt., yang maksudnya untuk kebaikan insan itu sendiri
1. Semakin meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini tidak lepas dari sunnatullah;
2. Semakin termotivasi untuk senantiasa berikhtiar atau berupaya lebih ulet lagi dalam mengejar-ngejar cita-citanya.
3. Meningkatkan kepercayaan akan pentingnya tugas doa bagi kesuksesan suatu usaha;
4. Meningkatkan optimisme dalam memandang masa depan dengan ikhitar yang sungguhsungguh;
5. Meningk atkan kekebalan jiwa dalam menghadapi segala rintangan dalam jerih payah sehingga tidak berputus asa ketika mengalami kegagalan;
6. Menyadarkan insan bahwa dalam kehidupan ini dibatasi oleh peraturan-peraturan Allah Swt., yang maksudnya untuk kebaikan insan itu sendiri
Perilaku seseorang yang merefleksikan kesadaran beriman terhadap Qada' dan Qadar Allah Swt., dicerminkan dalam beberapa sikap seseorang di antaranya selaku berikut:
1. Selalu menjauhkan diri dari sifat arogan dan putus asa
Orang yang beriman terhadap Qada' dan Qadar, apabila memperoleh keberhasilan, ia menilai kesuksesan itu yakni semata-mata lantaran rahmat Allah.
Apabila ia mengalami kegagalan, ia tidak mudah berkeluh kesah dan berputus asa, lantaran ia menyadari bahwa kegagalan itu sebetulnya yakni ketentuan Allah. Ia menyadari bahwa dibalik kegagalan ada hikmah.
2. Banyak bersyukur dan bersabar
Orang yang beriman terhadap Qada' dan Qadar, apabila memperoleh keberuntungan, maka ia akan bersyukur, lantaran keberuntungan itu ialah lezat Allah yang mesti disyukuri.
Sebaliknya apabila terkena peristiwa alam maka ia akan sabar, lantaran hal tersebut ialah ujian. Perhatikan Firman Allah Q.S.at-Taubat/9:51!
3. Bersikap optimis dan ulet bekerja
Manusia tidak mengenali takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang tentu ingin bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak tiba begitu saja, tetapi mesti diusahakan.
Oleh alasannya yakni itu, orang yang beriman terhadap Qada' dan Qadar senantiasa optimis dan ulet melakukan pekerjaan untuk menjangkau kebahagiaan dan kesuksesan itu. Perhatikan Firman Allah Q.S.ali-Imran/3:159!
4. Selalu hening jiwanya
Orang yang beriman terhadap Qada' dan Qadar senantiasa hening hidupnya,
alasannya yakni ia selalu senang atas apa yang diputuskan Allah kepadanya. Jika mujur atau berhasil, ia bersyukur.
1. Selalu menjauhkan diri dari sifat arogan dan putus asa
Orang yang beriman terhadap Qada' dan Qadar, apabila memperoleh keberhasilan, ia menilai kesuksesan itu yakni semata-mata lantaran rahmat Allah.
Apabila ia mengalami kegagalan, ia tidak mudah berkeluh kesah dan berputus asa, lantaran ia menyadari bahwa kegagalan itu sebetulnya yakni ketentuan Allah. Ia menyadari bahwa dibalik kegagalan ada hikmah.
2. Banyak bersyukur dan bersabar
Orang yang beriman terhadap Qada' dan Qadar, apabila memperoleh keberuntungan, maka ia akan bersyukur, lantaran keberuntungan itu ialah lezat Allah yang mesti disyukuri.
Sebaliknya apabila terkena peristiwa alam maka ia akan sabar, lantaran hal tersebut ialah ujian. Perhatikan Firman Allah Q.S.at-Taubat/9:51!
3. Bersikap optimis dan ulet bekerja
Manusia tidak mengenali takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang tentu ingin bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak tiba begitu saja, tetapi mesti diusahakan.
Oleh alasannya yakni itu, orang yang beriman terhadap Qada' dan Qadar senantiasa optimis dan ulet melakukan pekerjaan untuk menjangkau kebahagiaan dan kesuksesan itu. Perhatikan Firman Allah Q.S.ali-Imran/3:159!
4. Selalu hening jiwanya
Orang yang beriman terhadap Qada' dan Qadar senantiasa hening hidupnya,
alasannya yakni ia selalu senang atas apa yang diputuskan Allah kepadanya. Jika mujur atau berhasil, ia bersyukur.
TULISANNN
0 Komentar untuk "Materi Pai Xii Potongan 2 Meyakini Qada Dan Qadar Melahirkan Semangat Bekerja"