Materi Pai Xii Potongan 5 Cerahkan Hati Nurani Dengan Saling Menasehati

Saling mengingatkan dalam hal kebaikan merupakan keharusan sesama muslim.

Dalam Islam, mengingatkan orang lain secara verbal semacam itu biasa disebut
dengan nasihat, wasiat, tausiyah, mau’i§ah, dan tazkirah (peringatan). Istilah lazimnya merupakan ceramah.

Kegiatan menyodorkan taushiyah demikian disebut tabligh (menyampaikan), sehinga ungkapan Tablig Akbar itu tujuannya merupakan program ceramah yang dibungkus secara semarak dan didatangi oleh banyak jamaah.

Semua kegiatan itu merupakan pecahan dari dakwah, yakni dakwah billisan (secara lisan), lantaran cuma berupa ceramah, sedangkan dakwah bukan cuma lewat lisan.

Para penceramah agama itu biasa disebut  mubaligh (juru tablig) atau  Da'i (juru dakwah).

Kesalahan dan kealpaan sanggup terjadi pada siapa saja, baik mubaligh  atau jamaah.

Oleh  lantaran itu, keharusan berdakwah bukan cuma bagi orang yang dapat ceramah saja, melainkan bagi seluruh umat Islam, “sampaikan dariku meski cuma satu ayat”, begitu arti sabda nabi terkait dengan keharusan dakwah.

Terus bagaimana caranya?

Mengingatkan kerabat yang berbuat salah atau lupa tidak mesti dengan berceramah, terlebih terhadap ustadz yang berceramah, cukup sampaikan seperlunya.

Dari keharusan dakwah itulah lahir ungkapan saling berwasiat atau saling menasihati.

Allah Swt. memastikan perintah tersebut, salah satunya surat al-‘Ashr: “Demi masa, berbarengan insan dalam kondisi merugi, kecuali orang-orang yang beriman, berinfak soleh, dan saling menasihati dengan kebenaran dan saling menasihati dengan kesabaran” (Q.S. al’Asr/103:1-3).

Apa yang disampaikan dalam memberi nasihat atau tausiyah? Materi pertama yang mesti disampaikan dalam berdakwah merupakan undangan untuk menyembah Tuhan Yang Esa, yakni Allah Swt..

Perhatikan nasihat Luqman terhadap anaknya pada firman Allah dalam Q.S.Luqman/31:13-14 berikut:

Baca dengan tartil ayat  al-Qur'an dan terjemahnya yang mengandung perintah mengenai saling menasihati
Artinya:
Dan (ingatlah) di saat Luqman berkata terhadap anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kau mempersekutukan Allah, berbarengan mempersekutukan (Allah) merupakan betul-betul kezaliman yang besar."

Dan Kami perintahkan terhadap insan (berbuat baik) terhadap kedua orang tuanya; ibunya telag mengandungnya dalam kondisi lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan terhadap kedua orangtuamu cuma kepada-Ku lah kembalimu."

Surat Luqman merupakan surat yang turun sebelum Nabi Muhammad saw berhijrah ke Madinah. Semua ayat-ayatnya Makiyah. Demikian usulan dominan ulama.

Dinamakannya surat dengan Luqman dikarenakan surat itu mengandung banyak sekali wasiat dan nasehat yang disampaikan Luqman terhadap anaknya.

Adapun alasannya merupakan turunnya ayat 13-14 para mufasir beropini bahwa ayat ini turun terhadap permasalahan Sa’ad bin Abi Waqash.

Tatkala dirinya memeluk Islam kemudian ibunya menyampaikan kepadanya,”Wahai Sa’ad sudah hingga keterangan kepadaku bahwa engkau sudah condong (kepada agama Muhammad).

Demi Allah Swt. saya tidak akan berteduh dari teriknya matahari dan angin yang berhembus, saya tidak akan makan dan minum hingga engkau mengingkari Muhammad saw dan kembali terhadap agamamu sebelumnya.”

Sa’ad merupakan anak laki-laki yang paling dicintainya. Tetapi Sa’ad enggan untuk itu.

Dan ibunya menjalani itu semua selama tiga hari dalam kondisi tidak makan, tidak pula minum serta tidak berteduh sehingga Sa’ad pun mengkhawatirkannya.

Lalu Sa’ad tiba menemui Nabi Muhammad saw. dan mengadukan perilaku ibunya kepadanya maka turunlah ayat ini.

Diriwayatkan pula oleh Abu Sa’ad bin Abu Bakar al Ghazi berkata bahwa Muhammad bin Ahmad bin Hamdan sudah berkata terhadap kami dan berkata bahwa Abu Ya’la sudah menginformasikan kami dan berkata bahwa Abu Khutsaimah sudah menginformasikan kami dan berkata bahwa al Hasan bin Musa
sudah menginformasikan kami dan berkata bahwa Zuhair sudah menginformasikan kami dan berkata bahwa Samak bin Harb sudah menginformasikan kami dan berkata bahwa Mus’ab bin Sa’ad bin Abi Waqash dari ayahnya berkata, ”Ayat ini turun mengenai diriku.”

Lalu dia berkata,”Ibu Sa’ad sudah bersumpah untuk tidak mengatakan selama-lamanya sehingga
dirinya (Sa’ad) mengingkari agamanya (Islam).

Dia tidak makan dan minum. Ibu berada dalam kondisi menyerupai itu selama tiga hari sehingga terlihat kondisinya menurun.

Lalu turunlah firman Allah Swt.: ”Dan Kami perintahkan terhadap insan (berbuat baik) terhadap dua orang ibu- bapanya). (HR. Muslim dari Abu Khutsaimah).

Dalam ayat di atas Allah Swt. menunjukkan mengenai wasiat Luqman terhadap anaknya.

Wasiat pertama merupakan biar menyembah Allah Swt. Yang Maha Esa tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.

Luqman memperingatkan bahwa langkah-langkah syirik merupakan bentuk kezaliman terbesar.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abdullah, dia berkata, “ketika turun ayat: ‘orang-orang yang beriman dan  tidak mencampurkan keimanan mereka dengan kezaliman’, hal itu terasa amat berat bagi para teman dekat Rasulullah saw. dan bertanya: ‘siapakah di antara kami yang tidak mencampur
keimanannya dengan kezaliman?’,

Rasulullah menjawab: ‘maksudnya bukan begitu, apakah kalian tidak mendengar perkataan Luqman: ‘Hai anakku janganlah kau menyekutukan Allah, berbarengan syirik itu merupakan kezaliman yang besar’(HR. Muslim).

Kemudian nasihat untuk menyembah Allah Swt. dibarengkan dengan perintah untuk berbuat baik terhadap orangtua, “dan Kami wasaitkan terhadap insan agar mereka berbuat baik terhadap kedua rang tua, ibunya sudah mengandungnya dalam kondisi lemah yang bertambah lemah”.

Firman-Nya, “dan menyapihnya selama dua tahun”, yakni mendidik dan menyusuinya.

Pada ayat yang lain Allah Swt. berfirman, “dan para ibu menyusui anaknya selama dua tahun, jikalau mereka ingin menyempurnakan susuannya”.

Allah Swt. menyebut-nyebut penderitaan, kepayahan, dan kewalahan ibu dalam mendidik anak siang dan malam, untuk mengingatkannya mengenai Ihsan (kebaikan dan ketulusan) seorang ibu terhadap anak-anaknya.

Oleh lantaran itu Allah Swt. berfirman,”bersyukurlah kepada-Ku dan terhadap kedua orangtuamu…”

Dalam banyak hadisnya Rasulullah saw. banyak menyodorkan perintah untuk saling menasihati dan berdakwah untuk merubah kemungkaran menjadi kondisi yang sejalan dengan anutan Islam. Di antaranya dalam hadis berikut:
Artinya:
“Dari Abu Said al-Khudri ra. berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: ’Barangsiapa di antara kalian menyaksikan sesuatu kemungkaran, maka hendaklah menggantinya dengan tangannya, jikalau mampu, dan jikalau tidak mampu, maka dengan hatinya. Yang sedemikian itu merupakan selemahlemahnya
iman" (HR. Muslim)

Dalam hadis di atas terdapat perintah secara tegas untuk berdakwah.

Kemungkaran mesti diubah menjadi ma’ruf. Kemudian Rasulullah menerangkan bahwa jikalau memungkinkan, kita mesti menggantinya dengan tangan, yakni kekuasaan kita.

Merubah kemungkaran dengan fasilitas kekuasaan merupakan wewenang penguasa.

Oleh lantaran itu, penguasa dan pemimpin yang kita pilih idealnya merupakan orang-orang yang condong terhadap kebaikan dan kebenaran, sehingga di saat menyaksikan kemungkaran, nuraninya tergerak untuk memperbaikinya, bukan memperkeruh situasi dengan berbuat kemungkaran.

Tahapan ini dipandang paling efektif dalam merubah kemungkaran, lantaran yang bergerak merupakan pegawanegeri dan kebijakan.

Tahap selanjutnya, jikalau tidak dapat merubah dengan tangan, maka dengan lisannya. Itulah dakwah billisan (ceramah dan nasihat lisan).

Tahap ini sungguh banyak dilakukan para dai, cuma memang tidak terlihat secara terang efektivitasnya dalam merubah kemungkaran.

Penyebabnya bisa dari banyak faktor, di antaranya yang perlu menjadi materi introspeksi para dai merupakan faktor “keikhlasan” dan “keteladanan”.

Tahap terakhir dalam hadis di atas merupakan merubah dengan hati, dengan mengingkari dalam hati bahwa yang mungkar tetaplah mungkar sambil berdoa terhadap Allah Swt. biar kondisi secepatnya berubah.

Tahap ini dipandang selaku indikator keyakinan yang paling lemah, lantaran tidak dapat melaksanakan dengan kekuasaan dan tidak pula dengan lisannya.

Hadis di atas menyiratkan perlunya kekuatan yang dimiliki oleh umat Islam agar sanggup merubah kondisi melalui  kekuasaannya.

Dalam konteks kehidupan berbangsa di suatu negara yang multiagama, setidaknya kita mesti konsisten dengan nilai-nilai luhur yang mesti diperjuangkan demi tegaknya pilar-pilar kebenaran untuk kepentingan bersama.

Hal ini sanggup terwujud jikalau para penguasa dan pemimpinnya condong dan peduli terhadap pergantian menuju kondisi yang lebih baik, sesuai dengan kemajemukan yang ada.

Keberadaan mereka akan melahirkan undang-undang yang bagus dan pantas untuk semua pihak, ditunjang oleh para penegak aturan yang berpihak dan mempunyai kontrak yang tinggi terhadap kebenaran, dan ditegakkan oleh seorang kepala negara yang tegas.

Itulah tiga unsur penting dalam pemerintahan yang sanggup merubah kondisi secara efektif.

Di samping itu, lantaran pemerintah juga insan yang menjurus korup dan khilaf, maka perlu adanya keberanian rakyat untuk “menasihati” penguasa selaku kekuatan kontrol.

Pada tahap ini diperlukan kesadaran para penguasa untuk menemukan semua masukan dan rekomendasi dari rakyat.

Pemandangan menyerupai itulah kira-kira yang terjadi pada di saat Umar bin Khatab dinobatkan selaku pemimpin.

Beliau berkhutbah dengan tegas, “Aku sudah diseleksi menjadi pemimpin kalian padahal saya bukanlah yang terbaik dari kalian.

Oleh lantaran itu, jikalau saya berada di atas jalan yang benar maka dukunglah, tetapi jikalau saya sedang menyimpang dari kebenaran maka ingatkanlah…”

Menyampaikan nasihat merupakan pecahan dari kerja dakwah.

Dalam berdakwah tidak boleh ada yang ditutup-tutupi (disembunyikan), semua kebenaran mesti disampaikan, walaupun mungkin akan berefek jelek bagi yang menyampaikan, menyerupai sabda Rasulullah saw.,”Katakanlah yang benar walaupun terasa pahit”.

Namun demikian, semua pekerjaan mesti dilaksanakan dengan cara yang terbaik.

Begitu juga dengan dakwah. Memberikan nasihat terhadap orang lain mesti memperhatikan banyak aspek, utamanya objek dakwah, yakni orang yang mau kita beri nasihat (umat).

Orang yang mau kita nasihati merupakan insan yang mempunyai beragam adat, budaya, kecenderungan, pengetahuan, dan latar belakang sosial lainnya.

Semua itu menghasilkan insan menjadi makhluk unik yang mesti didekati dengan cara yang berbeda-beda juga. 

Oleh lantaran itu, untuk mengoptimalkan hasil dakwah dan meminimalisasi efek buruknya, perlu diamati adab berikut ini.

1. Disampaikan dengan cara santun dan lemah lembut;
Dalam banyak ayat Allah Swt. mengajarkan kita bagaimana menyodorkan dakwah atau nasihat terhadap orang lain dengan cara santun dan lemah lembut, di antaranya dalam ayat berikut.

”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…” (Q.S. ²li 'Imr±n/3:159)

Ayat di atas pertanda bahwa dalam memamerkan nasihat janganlah kita berlaku kasar, egois, sok tahu, merasa paling benar, terlebih memojokkan, mereka niscaya tidak akan bersimpati terhadap kita  bahkan tidak mau lagi menggubris nasihat kita.

Lebih lanjut terkait dengan seni administrasi dakwah, simaklah ayat berikut!
“Serulah (manusia) terhadap jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang bagus dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengenali mengenai siapa yang kesasar dari jalan-nya dan Dialah yang lebih mengenali orang-orang yang mendapat
petunjuk”  (Q.S. An-Nahl/16:125).

Dalam ayat di atas terdapat beberapa adab bertausiyah atau berdakwah, menyerupai yang disebutkan di bawah ini.

a. Disampaikan dengan hikmah (bijak);
b. Jika berupa nasihat lisan, hendaknya disampaikan dengan cara yang baik;
c. Jika mesti bertukar argumen (debat, diskusi, atau dialog), hendaknya dilakukan dengan cara terbaik;
d. Menghargai perbedaan. Ketika kita bertukar argumen dengan orang yang kita nasihati, kemudian tidak terjadi titik temu, hargai usulan mereka, dan tidak semestinya kita memaksa mereka untuk
tunduk terhadap usulan dan undangan kita. Dakwah merupakan mengajak dengan cara santun, bukan memaksa, lantaran Rasulullah pun tidak boleh memaksa,”Kamu bukanlah seorang pemaksa bagi mereka” (Q.S. al-Ghasyiyah/88:22)

2. Memperhatikan  tingkat pendidikan.
Tingkat pendidikan dan kesanggupan berpikir objek dakwah mesti menjadi pertimbangan dalam menyodorkan dakwah billisan, Rasulullah bersabda: “Berbicaralah dengan insan sesuai dengan kadar nalar (daya pikir) mereka”(H.R. Dailami).

3. Menggunakan bahasa yang sesuai.
Bahasa yang digunakan hendaknya bahasa yang sanggup dimengerti dan sesuai dengan tingkat intelektual objek dakwah. Ketika mengatakan di hadapan kelompok penduduk awam, gunakan bahasa yang berlawanan dengan  yang digunakan untuk berceramah di hadapan kaum terpelajar, dan sebaliknya.

4. Memperhatikan budaya.
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Pepatah itu diperlukan dalam dunia dakwah. Seorang dai yang tidak menghargai budaya setempat, bukan saja sukar memperoleh simpati, tetapi bisa jadi tidak mempunyai potensi berdakwah lagi di saat penduduk tersinggung dan merasa tidak dihargai budayanya.

Menghargai budaya bukan mempunyai arti melebur ke dalam kesesatan yang ada dalam suatu masyarakat, akan tetapi berdakwah dengan pandai dan cermat dalam memutuskan pendekatan dan cara.

Mengubah budaya yang mengandung kemungkaran mesti tetap dilakukan, tetapi lagi-lagi merupakan “cara” yang digunakan mesti diperhitungkan masak-masak. 

Di sinilah para dai dituntut untuk mempunyai pengetahuan seluas-luasnya agar bisa merespon setiap permasalahan dengan santun dan bijak.

5. Memperhatikan tingkat sosial-ekonomi.
Kondisi ekonomi penduduk sasaran kita berdakwah merupakan hal yang mesti diamati oleh para dai.

Jika secara ekonomi mereka tergolong dalam klasifikasi mustahiq(orang yang berhak menemukan zakat) lantaran miskin, jangan didominasi materi mengenai keharusan zakat, tetapi motivasi bagaimana biar zakat yang diterima sanggup produktif dan berikutnya tidak lagi menjadi mustahiq, tetapi menjadi muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) lantaran sudah berdikari secara ekonomi.

6. Memeperhatikan usia objek dakwah.
Saling mencintai dan saling menghormati berlaku dalam segala urusan, terlebih dalam urusan dakwah.

Pada prinsipnya semua orang punya potensi untuk menemukan nasihat dan dakwah kita, tetapi adab kita dalam menasihati orangtua tidak dapat disamakan dengan menasihati teman
sebaya atau orang yang lebih muda.

Jika ini tidak diperhatikan, orangtua yang kita harap mendukung dakwah kita dalam suatu kampung misalnya, justru akan menjadi persoalan lantaran mereka tersinggung dangan cara kita.

7. Yakin dan Optimis.
Seorang dai mesti percaya bahwa yang disampaikan merupakan nasihat yang bersumber dari Yang Maha Benar, walaupun disampaikan sesuai dengan yang dipahaminya, dan sarat harap bahwa kebenaran yang disampaikan nantinya akan tegak mengambil alih kebatilan.

Firman Allah Swt.: .. (apa yang sudah kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang tiba dari Tuhanmu, lantaran itu janganlah kau tergolong orang yang ragu-ragu. (Q.S ali-Imron/3:60).

Dan katakanlah: “yang benar sudah tiba dan yang bathil sudah lenyap”
Sesungguhnya yang batil itu merupakan sesuatu yang niscaya lenyap. (Q.S. alIsra/17:81).

8. Menjalin kerja sama.
Dakwah merupakan kerja besar yang sulit dipercayai dipanggul sendiri oleh seorang dai atau banyak orang secara berdikari dan terlepas dari yang lain.

Di antara sesama dai perlu ada jaringan dakwah yang terorganisasi dengan baik. Bukan cuma sesama dai, kolaborasi juga perlu dijalin dengan pemerintah selaku pemegang kekuasaan, dan juga dengan semua lapisan masyarakat.

Mereka mesti pundak membahu dan saling menopang dalam menjalankan misi mulia ini, menegakkan “amar ma’ruf nahi munkar”.

Barangkali inilah salah satu perwujudan dari perintah Allah Swt. berikut: …Dan tolong-menolonglah kau dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kau terhadap Allah, berbarengan Allah amat berat siksaNya. (Q.S. al-Maidah/4:2).

9. Konsekuen dengan perkataan (keteladanan).
Apa yang kita katakan sebaiknya sama dengan apa yang kita lakukan. Dengan keteladanan kita berharap orang yang kita nasihati mau mengikuti dengan suka rela.

Jika kita belum sanggup melaksanakan kebaikan menyerupai yang kita katakan, jangan kemudian berhenti berdakwah, namun jadikan nasihatnasihat yang kita sampaikan itu selaku pemicu dan motivasi biar kita secepatnya sanggup menjadi referensi yang bagus bagi objek dakwah

Singkatnya, kebenaran memang mesti tetap disampaikan meski itu pahit, tetapi para dai wajib berbekal diri dengan pengetahuan seluas-luasnya, baik terkait dengan materi dakwah maupun dengan metodenya.

Karena cuma dai yang berwawasan luas saja yang sanggup menatap perbedaan selaku sesuatu yang biasa dan menyikapinya dengan wajar.

Dai yang merasa paling benar dan tukang paksa tidak akan memperoleh daerah di hati umat, lantaran berlawanan dengan fitrah manusia, yakni bahwa semua insan ingin dianggap keberadaannya dan dihargai.

Di segi lain, dai juga mesti berupaya konsekuen dengan perkataannya, sehingga sanggup menjadi teladan yang bagus bagi umat.

Dalam segala hal, Rasulullah saw.adalah teladan yang paripurna.   Mari kita teladani beliau!

Tegaknya “al-Amru bi al-ma'rif wa an-nahyu an-munkar ma'ruf” (saling menasihati untuk berbuat yang makruf dan menangkal kemungkaran) merupakan jaminan kehidupan yang pantas di dunia dan akhirat.

Jika hal tersebut ditegakkan di segala faktor kehidupan, setidaknya kita akan mendapatkan
faedah dan hikmah berikut.

1. Nasihat dari orang lain merupakan kendali sosial pada di saat kita terlena dan tidak dapat melaksanakan introspeksi (muhasabah).

2. Mengingatkan diri sendiri untuk konsekuen (jika kita selaku pemberi nasihat).

3. Selalu mempertahankan kebersihan hati dan asumsi dari niat dan rencana kotor/tercela.

4. Terjalinnya persatuan dan persaudaraan antara pemerintah dan semua lapisan masyarakat.

5. Terjaganya lingkungan dari kemaksiatan dan penyakit sosial.

6. Terciptanya keadilan, keamanan, ketenteraman, dan kedamaian dalam masyarakat.

7. Mendapat jawaban kebaikan dari Allah Swt., di dunia dan akhirat

-

Related : Materi Pai Xii Potongan 5 Cerahkan Hati Nurani Dengan Saling Menasehati

0 Komentar untuk "Materi Pai Xii Potongan 5 Cerahkan Hati Nurani Dengan Saling Menasehati"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)