11/17/2020
Jam dinding sedang membentuk garis lurus, menunjuk pukul 06.00 sore hari, dikala hujan turun lagi di kota ini, menyusul bunyi geledek yang menggelegar beberapa kali dari salah satu sudut langit. Sungguh benar, demam isu panas di kota telah bermetamorfosis demam isu hujan.
Matahari telah karam semenjak pukul setengah sepuluh malam, hujan kembali mengguyur kota ini. Pukul 11 malam, buka pintu rumah , hujan masih saja rintik-rintik. Di bawah lindungan kubah payung, aku berjalan dengan sandal jepit keluar rumah. Berjalan perlahan, merasai sensasi bunyi hujan yang menumbuk atap payung Suara itu begitu menenangkan jiwa.
Di tengah jalan, bunyi musik beiriama ngebeat, keras terdengar dari salah satu rumah yang sengaja dibuka pintunya. melihat seisi ruang tamu yang sempit itu penuh dengan para pria dan para wanita bergumul jadi satu. Mereka bernyanyi, teriak dan menari mengikuti irama. Sesekali menengak minuman berakohol.
saya gres sadar bila ini malam minggu, Dan itu ialah pemandangan yang teramat biasa di kota ini, di setiap malam minggu. Sebuah malam untuk merayakan kehidupan, sehabis 5 hari keras bekerja. Semalam untuk melupakan sejenak segala kerumitan dan keruwetan permasalahan hidup yang seolah tidak pernah ada habisnya.
Orang-orang berebut berjumpa malam yang istimewa itu, dengan rukuk, bersujud, membaya ayat-ayat kitab suci, atau sekedar berdiam diri di dalam masjid sepanjang malam atau bahkan sepanjang siang dan malam. Dalam sehari, dua hari, dari hari-hari dalam setahun, meninggalkan sejenak kesibukan dunia yang seolah tiada putusnya. Sejenak, memanjakan ruh, dari kesibukan memanjakan jasad yang seolah tiada habis kebutuhanya. Sejenak merenung dan menanyakan kembali buat apa kita bekerjsama hidup di dunia ini. Sejenak mengingat kembali, dari mana kita berasal, dan kemana akan kembali. Sejenak menyadarkan kembali, bahwa di dunia ini, kita pernah tidak ada, lalu kini kita ada, dan di belahan waktu yang akan datang, kita pasti tidak ada kembali.
Bukankah ibarat itu seharusnya semoga tercapai kesetimbangan dalam hidup? Bukanya malah memuncak memanjakan jasad, demi yang terbaik untuk apa yang dipakai, dimakan, dan dipamerkan,
Banyak cara orang menjemput kebahagiaan hidup, dalam tafsir mereka sendiri. Ada yang menemukan kebahagiaan, dari bergumul, dalam hingar bingar pesta , dalam buaian delusi minuman keras. Sebaliknya, ada yang menjemput kebahagianya dengan berdiam diri, dalam sunyi di rumah-rumah Tuhan. Tafsir kebahagiaan siapakah yang paling benar? Kebahagiaan siapakah yang paling hakiki? Coba bertanyalah pada nurani dirimu sendiri.
@FADILLAHHADIDPG
0 Komentar untuk "November Rain - @Fadillahhadidpg"