PENGERTIAN KENAKALAN REMAJA DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA |
Singgih D. Gumarso (1988 : 19), menyampaikan dari segi aturan kenakalan remaja digolongkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma aturan yaitu: (1) kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diantar dalam undang-undang sehingga tidak sanggup atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran aturan ; (2) kenakalan yang bersifat melanggar aturan dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan aturan yang berlaku sama dengan perbuatan melanggar aturan bila dilakukan orang dewasa. Menurut bentuknya,
Sunarwiyati S (1985) membagi kenakalan remaja kedalam tiga tingkatan ; (1) kenakalan biasa, menyerupai suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit (2) kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan menyerupai mengendarai kendaraan beroda empat tanpa SIM, mengambil barang orang renta tanpa izin (3) kenakalan khusus menyerupai penyalahgunaan narkotika, korelasi seks diluar nikah, pelecehan seksual dll. Kategori di atas yang dijadikan ukuran kenakalan remaja dalam penelitian.
Tentang normal tidaknya sikap kenakalan atau sikap menyimpang, pernah dijelaskan dalam pedoman Emile Durkheim (dalam Soerjono Soekanto, 1985 : 73). Bahwa sikap menyimpang atau jahat kalau dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai fakta sosial yang normal dalam bukunya “ Rules of Sociological Method” dalam batas-batas tertentu kenakalan ialah normal lantaran mustahil menghapusnya secara tuntas, dengan demikian sikap dikatakan normal sejauh sikap tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat, sikap tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan melihat pada sesuatu perbuatan yang tidak disengaja. Kaprikornus kebalikan dari sikap yang dianggap normal yaitu sikap nakal/jahat yaitu sikap yang disengaja meninggalkan keresahan pada masyarakat.
Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis, yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquent berasal dari bahasa latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang lalu diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau peneror, bandit dan lain sebagainya. Juvenile delinquency atau kenakalan remaja ialah sikap jahat atau kenakalan anakanak muda, merupakan tanda-tanda sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka berbagi bentuk sikap yang menyimpang. Istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laris yang tidak sanggup diterima sosial hingga pelanggaran status hingga tindak kriminal.(Kartono, 2003).
Mussen dkk (1994), mendefinisikan kenakalan remaja sebagai sikap yang melanggar aturan atau kejahatan yang biasanya dilakukan oleh anak remaja yang berusia 16-18 tahun, kalau perbuatan ini dilakukan oleh orang sampaumur maka akan mendapat sangsi hukum. Hurlock (1973) juga menyatakan kenakalan remaja ialah tindakan pelanggaran aturan yang dilakukan oleh remaja, dimana tindakan tersebut sanggup menciptakan seseorang individu yang melakukannya masuk penjara. Sama halnya dengan Conger (1976) & Dusek (1977) mendefinisikan kenakalan remaja sebagai suatu kenakalan yang dilakukan oleh seseorang individu yang berumur di bawah 16 dan 18 tahun yang melaksanakan sikap yang sanggup dikenai sangsi atau hukuman.
Sarwono (2002) mengungkapkan kenakalan remaja sebagai tingkah laris yang menyimpang dari norma-norma aturan pidana, sedangkan Fuhrmann (1990) menyebutkan bahwa kenakalan remaja suatu tindakan anak muda yang sanggup merusak dan menggangu, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Santrock (1999) juga menambahkan kenakalan remaja sebagai kumpulan dari aneka macam perilaku, dari sikap yang tidak sanggup diterima secara sosial hingga tindakan kriminal.
Dari pendapat-pendapat di atas sanggup disimpulkan bahwa kecenderungan kenakalan remaja ialah kecenderungan remaja untuk melaksanakan tindakan yang melanggar aturan yang sanggup menimbulkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain yang dilakukan remaja di anak-anak 17 tahun.
Sedangkan faktor-faktor yang menghipnotis kecenderungan kenakalan remaja ialah menyerupai yang dijelaskan di bawah ini.
Faktor-faktor kenakalan remaja berdasarkan Santrock, (1996) lebih rinci dijelaskan sebagai berikut :
1. Identitas
Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson (dalam Santrock, 1996) masa remaja ada pada tahap di mana krisis identitas versus difusi identitas harus di atasi. Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja: (1) terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya dan (2) tercapainya identitas peran, kurang lebih dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-nilai, kemampuan dan gaya yang dimiliki remaja dengan tugas yang dituntut dari remaja.
Erikson percaya bahwa delinkuensi pada remaja terutama ditandai dengan kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan aspek-aspek tugas identitas. Ia menyampaikan bahwa remaja yang mempunyai masa balita, masa kanak-kanak atau masa remaja yang membatasi mereka dari aneka macam peranan sosial yang sanggup diterima atau yang menciptakan mereka merasa tidak bisa memenuhi tuntutan yang dibebankan pada mereka, mungkin akan mempunyai perkembangan identitas yang negatif. Beberapa dari remaja ini mungkin akan mengambil cuilan dalam tindak kenakalan, oleh lantaran itu bagi Erikson, kenakalan ialah suatu upaya untuk membentuk suatu identitas, walaupun identitas tersebut negatif.
2. Kontrol diri
Kenakalan remaja juga sanggup digambarkan sebagai kegagalan untuk berbagi kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa anak gagal dalam berbagi kontrol diri yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. Kebanyakan remaja telah mempelajari perbedaan antara tingkah laris yang sanggup diterima dan tingkah laris yang tidak sanggup diterima, namun remaja yang melaksanakan kenakalan tidak mengenali hal ini. Mereka mungkin gagal membedakan tingkah laris yang sanggup diterima dan yang tidak sanggup diterima, atau mungkin mereka tolong-menolong sudah mengetahui perbedaan antara keduanya namun gagal berbagi kontrol yang memadai dalam memakai perbedaan itu untuk membimbing tingkah laris mereka. Hasil penelitian yang dilakukan baru-baru ini Santrock (1996) menyampaikan bahwa ternyata kontrol diri mempunyai peranan penting dalam kenakalan remaja. Pola asuh orangtua yang efektif di masa kanak-kanak (penerapan seni administrasi yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak aversif) berafiliasi dengan dicapainya pengaturan diri oleh anak. Selanjutnya, dengan mempunyai ketrampilan ini sebagai atribut internal akan kuat pada menurunnya tingkat kenakalan remaja.
3. Usia
Munculnya tingkah laris anti sosial di usia dini berafiliasi dengan penyerangan serius nantinya di masa remaja, namun demikian tidak semua anak yang bertingkah laris menyerupai ini nantinya akan menjadi pelaku kenakalan, menyerupai hasil penelitian dari McCord (dalam Kartono, 2003) yang menyampaikan bahwa pada usia dewasa, lebih banyak didominasi remaja bandel tipe terisolir meninggalkan tingkah laris kriminalnya. Paling sedikit 60 % dari mereka menghentikan perbuatannya pada usia 21 hingga 23 tahun.
4. Jenis kelamin
Remaja laki- laki lebih banyak melaksanakan tingkah laris anti sosial daripada perempuan. Menurut catatan kepolisian Kartono (2003) pada umumnya jumlah remaja laki- laki yang melaksanakan kejahatan dalam kelompok gang diperkirakan 50 kali lipat daripada gang remaja perempuan.
5. Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah
Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali mempunyai impian yang rendah terhadap pendidikan di sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah tidak begitu bermanfaat untuk kehidupannya sehingga biasanya nilai-nilai mereka terhadap sekolah cenderung rendah. Mereka tidak mempunyai motivasi untuk sekolah. Riset yang dilakukan oleh Janet Chang dan Thao N. Lee (2005) mengenai imbas orangtua, kenakalan sobat sebaya, dan sikap sekolah terhadap prestasi akademik siswa di Cina, Kamboja, Laos, dan remaja Vietnam menyampaikan bahwa faktor yang berkenaan dengan orangtua secara umum tidak mendukung banyak, sedangkan sikap sekolah ternyata sanggup menjembatani korelasi antara kenakalan sobat sebaya dan prestasi akademik.
6. Proses keluarga
Faktor keluarga sangat kuat terhadap timbulnya kenakalan remaja. Kurangnya pinjaman keluarga menyerupai kurangnya perhatian orangtua terhadap acara anak, kurangnya penerapan disiplin yang efektif, kurangnya kasih sayang orangtua sanggup menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Gerald Patterson dan rekan-rekannya (dalam Santrock, 1996) menyampaikan bahwa pengawasan orangtua yang tidak memadai terhadap keberadaan remaja dan penerapan disiplin yang tidak efektif dan tidak sesua i merupakan faktor keluarga yang penting dalam memilih munculnya kenakalan remaja. Perselisihan dalam keluarga atau stress yang dialami keluarga juga berafiliasi dengan kenakalan. Faktor genetik juga termasuk pemicu timbulnya kenakalan remaja, meskipun persentasenya tidak begitu besar.
7. Pengaruh sobat sebaya
Memiliki teman-teman sebaya yang melaksanakan kenakalan meningkatkan risiko remaja untuk menjadi nakal. Pada sebuah penelitian Santrock (1996) terhadap 500 pelaku kenakalan dan 500 remaja yang tidak melaksanakan kenakalan di Boston, ditemukan persentase kenakalan yang lebih tinggi pada remaja yang mempunyai korelasi reguler dengan sobat sebaya yang melaksanakan kenakalan.
8. Kelas sosial ekonomi
Ada kecenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari kelas sosial ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan jumlah remaja bandel di antara kawasan perkampungan miskin yang rawan dengan kawasan yang mempunyai banyak privilege diperkirakan 50 : 1 (Kartono, 2003). Hal ini disebabkan kurangnya kesempatan remaja dari kelas sosial rendah untuk berbagi ketrampilan yang diterima oleh masyarakat. Mereka mungkin saja merasa bahwa mereka akan mendapat perhatian dan status dengan cara melaksanakan tindakan anti sosial. Menjadi “tangguh” dan “maskulin” ialah teladan status yang tinggi bagi remaja dari kelas sosial yang lebih rendah, dan status menyerupai ini sering ditentukan oleh keberhasilan remaja dalam melaksanakan kenakalan dan berhasil meloloskan diri sehabis melaksanakan kenakalan.
9. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal
Komunitas juga sanggup berperan serta dalam memunculkan kenakalan remaja. Masyarakat dengan tingkat kriminalitas tinggi memungkinkan remaja mengamati aneka macam model yang melaksanakan acara kriminal dan memperoleh hasil atau penghargaan atas acara kriminal mereka. Masyarakat menyerupai ini sering ditandai dengan kemiskinan, pengangguran, dan perasaan tersisih dari kaum kelas menengah. Kualitas sekolah, pendanaan pendidikan, dan acara lingkungan yang terorganisir ialah faktor- faktor lain dalam masyarakat yang juga berafiliasi dengan kenakalan remaja.
Berdasarkan pendapat di atas sanggup disimpulkan bahwa faktor yang paling berperan menimbulkan timbulnya kecenderungan kenakalan remaja ialah faktor keluarga yang kurang serasi dan faktor lingkungan terutama sobat sebaya yang kurang baik, lantaran pada masa ini remaja mulai bergerak meninggalkan rumah dan menuju sobat sebaya, sehingga minat, nilai, dan norma yang ditanamkan oleh kelompok lebih memilih sikap remaja dibandingkan dengan norma, nilai yang ada dalam keluarga dan masyarakat.
0 Komentar untuk "Kenakalan Cukup Umur Dan Faktor Yang Mempengaruhinya"