LIPUTANTOP.COM - Namanya Aisha. 22 tahun usianya, mahasiswi kampus terkemuka. Binar matanya menunjukkan kecerdasan juga semangat yang menyala-nyala. Di antara kami, beliau paling belia, namun juga bersinar seperti kejora.
Siapa sangka, di balik prestasinya mengerjakan proyek sosial dan bicara di forum-forum internasional, ia menyimpan segenggam luka.
Sesuatu yang mampu membuatnya cemas akut seketika, memaksa seluruh sendinya menggigil dan membuat airmatanya mengairbah sekian lama.
Saya menyimaknya bertutur malam itu.
“Aku mau sembuh, mbak.”
Dan saya tersenyum, “then you can make it, dear”.
Ada banyak kasus yang saya temui serupa Aisha. Dan sungguh saya bisa merasakan betapa luka itu menyakitinya, merobek perjalanan hidupnya, merusak apa yang tak semestinya.
Aisha melihat pertengkaran ayah-ibunya sekian lama. Ayahnya seorang yang pandai memaki, juga ringan memukuli. Ibunya tak jauh beda, hanya ‘sedikit lebih baik’ karena tak melakukan kekerasan fisik, tetapi ‘hanya’ kekasaran verbal yang dihadiahkan pada Aisha dan adik-adiknya. Ayah memukuli dan mengasari ibu, lalu ibu melampiaskannya pada 3 anaknya.
Serupa sansak, dan bonyoklah mereka –fisik serta jiwanya.
Ada banyak kasus yang saya temui serupa Aisha, dan sungguh, luka itu tak mudah sembuhnya.
Jelas Aisha sedih dan kecewa. Marah. Tidak terima. Dan ia juga lelah. Teramat lelah. Ingin rasanya saya memeluk tubuh mungilnya berlama-lama, sekedar mengalirkan kekuatan bahwa ia bisa melewati ini semua.
Masa mudanya terlalu gemilang untuk dirusak oleh luka yang tak seharusnya ada.
Beruntung, Aisha tumbuh dengan berbagai prestasi dan ia ‘diselamatkan’ oleh sekolah asrama yang memaksanya tak tinggal di rumah.
Aisha kami kenal sebagai gadis supel yang disukai banyak orang, selalu membicarakan citanya dengan membara, dan… ya, ia inspirasi kami semua.
Tapi kali ini saya tak nyaman mendengarnya bicara tentang perasaan ingin bunuh diri yang tersimpan dengan rapi.
Juga mimpi buruk yang menyebabkan sulit tidur selama beberapa hari. Lalu, satu hal lagi : ia tak percaya laki-laki.
Syukurnya Aisha sadar ada yang tak beres dengan dirinya. “Tidak boleh begini.” tekadnya.
Lalu ia mencoba bangkit menemui ahli dan menjalankan terapi. Membaikkah?
“Iya, berproses.”
Saya tahu Aisha bisa. Namun juga memintanya agar tak bergantung pada siapapun selain Yang Maha. Allah-lah Sang Penyembuh. Allah juga yang menakdirkannya mengalami berbagai ujian itu.
Mungkin sulit meyakinkannya bahwa segala derita yang ia alami saat ini adalah sesuatu yang akan ia syukuri kelak.
Tapi iman selalu bisa menyalakan harapan, serupa pijar lilin saat gulita malam semakin mengelam.
Menerima segala kejadian adalah awal dari kesembuhan. Sebab bukankah seorang mukmin diminta untuk membulatkan tawakkal –sepenuh sungguh menerima apa yang telah dan akan terjadi?
Tidak pernah ada keburukan, karena segala kehendak Allah hanyalah kebaikan.
Maka ridha adalah tanda keberserahan pada Yang Maha Membaikkan Keadaan, untuk selanjutnya menyikapi berbagai kejutan hidup dengan penuh kekuatan.
Mata Aisha yang biasanya berbinar cerah mulai berkaca. Antara haru lagi pasrah.
“Setelah menerima, selanjutnya maafkanlah. Mintalah kepada Allah agar Ia memampukanmu.”
Dan Aisha tercenung beberapa lama. Saya tahu itu tidak mudah, dan memang sungguh tidak mudah.
Tetapi Allah selalu jadi tempat kembali yang terbaik. Yang akan menguatkannya. Yang akan memberikannya jalan keluar, kesembuhan, juga hikmah luar biasa.
Tidak mudah menjadi seorang Aisha, atau mereka yang mengalami kekerasan jutaan kali lebih parah.
Aisha hanya satu dari sekian ratus ribu anak di dunia ini yang mengalami kekerasan dari orangtua kandungnya sendiri.
Ketika caci-maki diterima, mereka seperti tak sanggup mendengarkan nasihat tentang kewajiban berbakti.
Bukan, bukan mereka hendak tak patuh pada ajaran agama. Tetapi jiwanya yang haus kasih sayang tak siap mendapat tuntutan, saat sosok orangtua yang seharusnya menyayangi dan melindungi malah menjadi monster paling mengerikan.
Sebaliknya, saya pun tak melihat bagaimana para orangtua ini menunaikan kewajibannya.
Saat seseorang menemui Rasulullah saw dan bercerita bahwa ia tak pernah mencium buah hatinya, Rasul yang mulia hanya berujar singkat namun dalam maknanya :
“Siapa yang tak menyayangi, tidak akan disayangi.” (HR.Bukhari Muslim).
Maka bagaimana bisa kita biarkan derita Aisha terus ada dan semakin membanyak jumlahnya?
Bertahanlah, Aisha, dan menyembuhlah. Juga untuk diri saya sendiri serta para orangtua, teruslah berupaya mendidik dengan paduan ketegasan, kelemah-lembutan, serta kasih sayang untuk anak-anak kita.
Sebab hidup kita sungguh tak lama, dan kelak segala detil pengasuhan ini akan dimintai pertanggungjawabannya.
Sumber: hawa.co.id
0 Komentar untuk "Cerpen, Luka Jiwa Aisha"