Materi Pai X Pecahan 1 Senantiasa Akrab Dengan Allah

Asma’u Husnā terdiri atas dua kata, yakni asmā yang berarti nama-nama, dan ĥusna yang berarti baik atau indah. 

Jadi, al-Asma’u al-Ĥusnā sanggup diartikan selaku nama-nama yang bagus lagi indah yang cuma dimiliki oleh Allah Swt. selaku bukti keagungan-Nya. 

Kata al-Asmā’u al- Ĥusnā diambil dari ayat al-Qur’ān Q.S. Ţāhā/20:8. yang artinya, “Allah Swt. tidak ada Tuhan melainkan Dia. Dia mempunyai al-Asmā’u al-Ĥusnā (nama- nama baik).

Firman Allah Swt. dalam Q.S. al-A’rāf/7:180 
“Dan Allah Swt. mempunyai asmā’ul ĥusna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan (menyebut) nama-nama-Nya yang bagus itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat jawaban terhadap apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. al A’rāf/7:180) 

Dalam ayat lain diterangkan bahwa al-Asmā’u al-Ĥusnā merupakan amalan yang berharga dan mempunyai nilai yang tak terhingga tingginya. Berdoa dengan menyebut al-Asmā’u al-Ĥusnā sungguh diusulkan menurut ayat tersebut.

b. Hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan Imam Bukhari 
 “Dari Abu Hurairah ra. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah Swt. mempunyai sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, barang siapa yang menghafalkannya, maka ia akan masuk surga”. (H.R. Bukhari) 

Berdasarkan hadis di atas, menghafalkan al-Asmā’u al-Ĥusnā akan mengirimkan orang yang melakukannya masuk ke dalam nirwana Allah Swt. 

Apakah cuma dengan menghafalkannya seseorang dengan simpel akan masuk ke dalam surga? Jawabnya, tentunya tidak. 

Karena menghafalkan al-Asmā’u al-Ĥusnā mesti diiringi juga dengan menjaganya, baik mempertahankan hafalannya dengan terus-menerus menżikirkannya, maupun menjaganya dengan menyingkir dari perilakuperilaku yang berlainan dengan sifat-sifat Allah Swt. dalam alAsmā’u al-Ĥusnā tersebut.

1. Al-Karim 
Secara bahasa, al-Kar im berarti Yang Mahamulia, Yang Maha Dermawan atau Yang Maha Pemurah. 

Secara istilah, al-Karim diartikan bahwa Allah Swt. Yang Mahamulia lagi Maha Pemurah yang memberi anugerah atau rezeki terhadap semua makhluk-Nya. 

Dapat pula dimaknai selaku Zat yang sungguh banyak mempunyai kebaikan, Maha Pemurah, Pemberi Nikmat dan keutamaan, baik ketika diminta maupun tidak. 

Hal tersebut sesuai dengan firman-Nya: Artinya: “Hai insan apakah yang sudah memperdayakanmu terhadap Tuhan Yang Maha Pemurah?” (Q.S. al-Infiţār:6) Al-Kar im dimaknai Maha Pemberi lantaran Allah Swt. senantiasa memberi, tidak pernah terhenti pemberian-Nya. 

Manusia dihentikan berputus asa dari kedermawanan Allah Swt. kalau miskin dalam harta, lantaran kedermawanan-Nya tidak cuma dari harta yang dititipkan melainkan termasuk segala hal. 

Manusia yang berharta dan gemar memberi hendaklah tidak arogan alasannya yakni sudah mempunyai sifat gemar memberi lantaran Allah Swt. tidak menggemari kesombongan. 

Dengan demikian, bagi orang yang diberikan harta melimpah maupun orang tidak dianugerahi harta oleh Allah Swt., maka keduanya mesti senantiasa bersyukur kepada-Nya lantaran orang yang miskin pun sudah diberikan lezat selain harta. 

Al-Karim juga dimaknai Yang Maha Pemberi Maaf lantaran Allah Swt. memaafkan dosa para hamba yang ceroboh dalam menunaikan keharusan terhadap Allah Swt., kemudian hamba itu mau bertaubat terhadap Allah Swt. 

Bagi hamba yang berdosa, Allah Swt. yakni Yang Maha Pengampun. Allah Swt. akan mengampuni seberapa pun besar dosa hamba-Nya selama hambanya tidak mewaspadai kasih sayang dan kemurahan-Nya. 

Menurut imam al-Gazali, al-Kar im yakni Dia yang apabila berjanji, menepati janjinya, jika memberi, melebihi batas harapan, tidak acuh berapa dan terhadap siapa Dia memberi dan tidak rela jika ada keperluan hambanya memohon terhadap selain-Nya, meminta pada orang lain. 

Dia yang jika kecil hati menegur tanpa berlebih, tidak mengabaikan siapa yang menuju dan berlindung kepada-Nya, dan tidak memerlukan fasilitas atau perantara

2. Al-Mu'min

Al-Mu’m in secara bahasa berasal dari kata amina yang berarti pem- benar an, ketenangan hati, dan aman. Allah Swt. al-Mu’m in artinya Dia Maha Pemberi rasa kondusif terhadap semua makhluk-Nya, khususnya terhadap manusia. Dengan demikian, hati insan menjadi tenang. Kehidupan ini sarat dengan aneka macam permasalahan, tantangan, dan cobaan. Jika bukan lantaran Allah Swt. yang menyediakan rasa kondusif dalam hati, tentu kita akan senantiasa gelisah, takut, dan cemas. Perhatikan firman Allah Swt. berikut ini. Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan kepercayaan mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa kondusif dan mereka mendapat petunjuk.” (Q.S. al-An’ām/6:82) Ketika kita akan menyeru dan berdoa terhadap Allah Swt. dengan nama-Nya al-Mu’m in, berarti kita memohon diberikan keamanan, dihindarkan dari fitnah, bencana, dan siksa. Karena Dialah Yang Maha Memberikan keamanan, Dia yang Maha Pengaman.
Dalam nama al-Mu’m in terdapat kekuatan yang dahsyat dan luar biasa. Ada pertolongan dan perlindungan, ada jaminan (insurance), dan ada bala bantuan. 

Berżikir dengan nama Allah Swt. al-Mu’m in di samping me-numbuhkan dan memperkuat kepercayaan dan keimanan kita, bahwa keamanan dan rasa kondusif yang dicicipi insan selaku makhluk yakni suatu rahmat dan karunia yang diberikan dari segi Allah Swt. 

Sebagai al-Mu’min, yakni Tuhan Yang Maha Pemberi Rasa Aman juga terkandung pemahaman bahwa selaku hamba yang beriman, seorang mukmin dituntut dapat menjadi potongan dari pertumbuhan dan kemajuan rasa kondusif terhadap lingkungannya. 

Mengamalkan dan meneladani al-Asmā’u al-Ĥusnā al-Mu’m in, artinya bahwa seorang yang beriman mesti memicu orang yang ada di sekelilingnya kondusif dari gangguan pengecap dan tangannya. Berkaitan dengan itu, Rasulullah saw. bersabda: “Demi Allah tidak beriman. Demi Allah tidak beriman. Demi Allah tidak beriman. Para kawan bertanya, ‘Siapa ya Rasulullah saw.?’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Orang yang tetangganya merasa tidak kondusif dari gangguannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim). 

3. Al-Wakil
Kata “al-Wak il” mengandung arti Maha Mewakili atau Pemelihara. 8 Al-Wak il (Yang Maha Mewakili atau Pemelihara), yakni Allah Swt. yang memelihara dan mengurusi segala keperluan makhluk-Nya, baik itu dalam urusan dunia maupun urusan akhirat. Dia menyelesaikan segala sesuatu yang diserahkan hambanya tanpa membiarkan apa pun terbengkalai. Firman-Nya dalam al-Qur’ān: Artinya: “Allah Swt. pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu.” (Q.S. az-Zumar/39:62) 

Dengan demikian, orang yang mempercayakan segala urusannya terhadap Allah Swt., akan mempunyai kepastian bahwa semua akan teratasi dengan sebaik-baiknya. 

Hal itu cuma sanggup dilaksanakan oleh hamba yang mengenali bahwa Allah Swt. yang Mahakuasa, Maha Pengasih yakni satu-satunya yang sanggup mengemban amanah oleh para hamba-Nya. 

Seseorang yang melaksanakan urusannya dengan sebaik mungkin dan kemudian akan menyerahkan segala urusan terhadap Allah Swt. untuk menyeleksi karunia-Nya.Menyerahkan segala urusan cuma terhadap Allah Swt. melahirkan sikap tawakkal. 

Tawakkal bukan berarti mengabaikan sebabsebab dari suatu kejadian. Berdiam diri dan tidak acuh terhadap alasannya yakni itu dan jadinya yakni sikap malas. Ketawakkalan sanggup diumpamakan dengan menyadari sebab-akibat. 

Orang mesti berupaya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Rasulullah saw. ber sabda, “Ikatlah untamu dan bertawakkallah terhadap Allah Swt.” Manusia mesti menyadari bahwa semua bisnisnya yakni suatu doa yang aktif dan cita-cita akan adanya pertolongan-Nya. Allah Swt. berfirman yang artinya, “(Yang mempunyai sifat-sifat yang) demikian itu merupakan Allah Swt. Tuhan kamu; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia dan Dia yakni Pemelihara segala sesuatu.“ (Q.S. al-An’ām/6:102). Hamba al-Wak il yakni yang bertawakkal terhadap Allah Swt. Ketika hamba tersebut sudah menyaksikan “tangan” Allah Swt. dalam sebab-sebab dan alasan segala sesuatu, beliau menyerahkan seluruh hidupnya di tangan al- Wakil. 

4. Al-Matin
Al-Mat in artinya Mahakukuh. Allah Swt. yakni Mahasempurna dalam kekuatan dan kekukuhan-Nya. Kekukuhan dalam prinsip sifat-sifat-Nya. Allah Swt. juga Mahakukuh dalam kekuatan-kekuatan-Nya. Oleh lantaran itu, sifat al-Matin yakni kedigdayaan perbuatan yang sungguh kuat dari kekuatan yang tidak ada taranya. 

Dengan demikian, kekukuhan Allah Swt. yang mempunyai rahmat dan azab terbukti ketika Allah Swt. menyediakan rahmat terhadap hamba-hamba-Nya. Tidak ada apa pun yang sanggup membatasi rahmat ini untuk tiba terhadap sasarannya. 

Demikian juga tidak ada kekuatan yang sanggup menghambat pembalasan-Nya. Seseorang yang mendapatkan ke k uatan dan kekukuhan Allah Swt. akan menjadikannya menjadi insan yang tawakkal, mempunyai kepercayaan dalam jiwanya dan tidak merasa rendah di hadapan insan lain. insan akan senantiasa merasa rendah di hadapan Allah Swt. Hanya Allah Swt. yang Maha Menilai. 

Oleh lantaran itu, Allah Swt. melarang insan bersikap atau merasa lebih dari saudaranya. Karena cuma Allah Swt. yang Maha Mengetahui baik buruknya seorang hamba. Allah Swt. juga merekomendasikan insan bersabar. 

Karena Allah Swt. Mahatahu apa yang terbaik untuk hambaNya. Kekuatan dan kekukuhan-Nya tidak terhingga dan tidak terbayangkan oleh insan yang lemah dan tidak mempunyai daya upaya. Jadi, lantaran kekukuhan-Nya, Allah Swt. tidak terkalahkan dan tidak tergoyahkan. Siapakah yang paling mempunyai dampak dan kukuh selain Allah Swt? 

Tidak ada satu makhluk pun yang sanggup menundukkan Allah Swt. walaupun seluruh makhluk di bumi ini melakukan pekerjaan sama. Allah Swt. berfirman:Artinya: “Sungguh Allah Swt., Dialah pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sungguh kukuh.” (Q.S. aż-Żāriyāt/51:58) 

Dengan demikian, moral kita terhadap sifat al-Mat in yakni dengan beristiqamah (meneguhkan pendirian), beribadah dengan keseriusan hati, tidak tergoyahkan oleh bisikan menyesatkan, terus berupaya dan tidak tertekan serta melakukan pekerjaan sama dengan orang lain sehingga menjadi lebih kuat. 

5. Al-Jami
Al-Jāmi’ secara bahasa artinya Yang Maha Mengumpulkan/Meng- 10 himpun, yakni bahwa Allah Swt. Maha Mengumpulkan/Menghimpun segala sesuatu yang tersebar atau terserak. Allah Swt. Maha Mengumpulkan apa yang dikehendaki-Nya dan di mana pun Allah Swt. berkehendak. 

Penghimpunan ini ada aneka macam macam bentuknya, di antaranya yakni menghimpun seluruh makhluk yang beraneka ragam, tergolong insan dan lain-lainnya, di permukaan bumi ini dan kemudian menghimpun mereka di padang mahsyar pada hari kiamat. 

Allah Swt. berfirman: Artinya: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau menghimpun insan untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya”. 

Sesungguhnya Allah Swt. tidak menyalahi janji.”(Q.S. Ali Imrān/3:9). Allah Swt. akan menghimpun insan di darul abadi kelak sama dengan orang-orang yang satu kelompok di dunia. Hal ini sanggup dijadikan selaku barometer, terhadap siapa kita berkumpul di dunia itulah yang mau menjadi kawan kita di akhirat. 

Walaupun kita berjauhan secara fisik, akan tetapi hati kita terhimpun, di darul abadi kelak kita juga akan terhimpun dengan mereka. Begitupun sebaliknya, walaupun kita berdekatan secara fisik akan tetapi hati kita jauh, maka kita juga tidak akan berkumpul dengan mereka

Oleh alasannya yakni itu, apabila di dunia hati kita terhimpun dengan orang-orang yang senantiasa memperturutkan hawa nafsunya, di darul abadi kelak kita akan berkumpul dengan mereka di dalam neraka. Karena orang-orang yang senantiasa memperturutkan hawa nafsunya, tempatnya yakni di neraka. 

Begitupun sebaliknya, apabila ke condong an hati kita terhimpun dengan orang-orang yang beriman, bertakwa dan orang-orang saleh, di darul abadi kelak kita juga akan ter himpun dengan mereka. 

Karena tidaklah mungkin orang-orang beriman hatinya terhimpun dengan orangorang kafir dan orang-orang kafir juga sulit dipercayai terhimpun dengan orang-orang beriman. 

Allah Swt. juga menghimpun di dalam diri seorang hamba ada yang lahir di anggota badan dan hakikat batin di dalam hati. Barang siapa yang cocok ma’rifatnya dan baik tingkah lakunya, maka ia disebut juga selaku al-Jāmi’. Dikatakan bahwa al-Jāmi’ merupakan orang yang tidak padam cahaya ma’rifatnya. 

6. Al-Adi
Al-‘Adl artinya Mahaadil. Keadilan Allah Swt. bersifat mutlak, tidak dipengaruhi oleh apa pun dan oleh siapa pun. Keadilan Allah Swt. juga didasari dengan ilmu Allah Swt. yang Maha Luas. Dengan demikian, sulit dipercayai keputusan-Nya itu salah. 

Allah Swt. berfirman: Artinya: “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Qur’ān, selaku kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang sanggup merubah kalimatkalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-An’ām/6:115). 

Al-‘Adl berasal dari kata ‘adala yang berarti lurus dan sama. Orang yang adil yakni orang yang berlangsung lurus dan sikapnya senantiasa menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan inilah yang me nunjuk kan orang yang adil tidak berpihak terhadap salah seorang yang berselisih. Adil juga dimaknai selaku penempatan sesuatu pada wilayah yang semestinya. Allah Swt. dinamai al-‘Adl lantaran keadilan Allah Swt. yakni sempurna. 

Dengan demikian, semua yang diciptakan dan diputuskan oleh Allah Swt. sudah menampilkan keadilan yang sempurna. Hanya saja, banyak di antara kita yang tidak menyadari atau tidak dapat menangkap keadilan Allah Swt. terhadap apa yang menimpa makhluk-Nya. 

Oleh lantaran itu, sebelum menganggap sesuatu itu adil atau tidak, kita mesti sanggup memperhatikan dan mengenali segala sesuatu yang berhubungan dengan kendala yang mau dinilai. Akal insan tidak sanggup menembus semua dimensi tersebut. Seringkali ketika insan menatap sesuatu secara sepintas dinilainya buruk, jahat, atau tidak adil, tetapi kalau dipandangnya secara luas dan menyeluruh, justru sebaliknya, merupakan suatu keindahan, kebaikan, atau keadilan. 

Tahi lalat secara sepintas terlihat buruk, tetapi kalau berada di tengah-tengah wajah seseorang sanggup terlihat indah. Begitu juga memotong kaki seseorang (amputasi) terlihat kejam, tetapi ketika dikaitkan dengan penyakit yang mengharuskannya untuk dipotong, hal tersebut merupakan suatu kebaikan. 

Di situlah makna keadilan yang tidak simpel menilainya Allah Swt. Mahaadil. Dia menempatkan semua insan pada posisi yang serupa dan sederajat. Tidak ada yang ditinggikan cuma lantaran keturunan, kekayaan, atau lantaran jabatan. 

Dekat jauhnya posisi seseorang dengan Allah Swt. cuma diukur dari seberapa besar mereka berupaya mengembangkan takwanya. Makin tinggi takwa seseorang, makin tinggi pula posisinya, makin mulia dan dimuliakan oleh Allah Swt., begitupun sebaliknya. 

Sebagian dari keadilan-Nya, Dia cuma menghukum dan memberi hukuman terhadap mereka yang terlibat pribadi dalam perbuatan maksiat atau dosa. Istilah dosa turunan, aturan karma, dan lain semisalnya tidak dimengerti dalam syari’at Islam. 

Semua insan di hadapan Allah Swt. akan mem pert anggungjawabkan dirinya sendiri. Lebih dari itu, keadilan Allah Swt. senantiasa diikuti dengan sifat kasih sayang. 

Dia memberi pahala sejak seseorang bermaksud berbuat baik dan melipatgandakan pahalanya kalau kemudian direalisasikan dalam amal perbuatan. Sebaliknya, Dia tidak pribadi memberi catatan dosa selagi masih berupa niat berbuat jahat. Sebuah dosa gres dicatat apabila seseorang sudah betul-betul berlaku jahat. 

7. Al-Akhir
Al-Ākhir artinya Yang Mahaakhir yang tidak ada sesuatu pun sehabis Allah Swt. Dia Mahakekal tatkala semua makhluk hancur, Mahakekal dengan kekekalan-Nya. Adapun kekekalan makhluk-Nya yakni kekekalan yang terbatas, mirip halnya kekekalan surga, neraka, dan apa yang ada di dalamnya. 

Surga yakni makhluk yang Allah Swt. ciptakan dengan ketentuan, kehendak, dan perintah-Nya. Nama ini disebutkan di dalam firman-Nya: Artinya: “Dialah Yang Awal dan Akhir Yang Żahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu“. (Q.S. alĤadid/57:3). 

Allah Swt. berkehendak untuk menentukan makhluk yang abadi dan yang tidak, tetapi kekekalan makhluk itu tidak secara zat dan tabi’at. Karena secara tabi’at dan zat, seluruh makhluk ciptaan Allah Swt. yakni fana (tidak kekal). Sifat kekal tidak dimiliki oleh makhluk, kekekalan yang ada cuma sebatas kekal untuk beberapa masa sesuai dengan ketentuan-Nya 

Orang yang mengesakan al-Ākhir akan memicu Allah Swt. selaku satu-satunya tujuan hidup yang tiada tujuan hidup selain-Nya, tidak ada permohonan terhadap selain-Nya, dan segala kesudahan tertuju cuma kepada-Nya. 

Oleh alasannya yakni itu, jadikanlah simpulan kesudahan kita cuma kepadaNya. Karena sungguh simpulan kesudahan cuma terhadap Rabb kita, seluruh alasannya yakni dan tujuan jalan akan berujung ke haribaan-Nya semata. 

Orang yang mengesakan al-Ākhir akan senantiasa merasa memerlukan Rabb-nya, ia akan senantiasa mendasarkan apa yang diperbuatnya terhadap apa yang sudah ditetapkan oleh Allah Swt. untuk hamba-Nya, lantaran insan mengenali bahwa Allah Swt. yakni pemilik segala kehendak, hati, dan niat

Nabi Ibrahim as. yakni putra Azar. Ia dilahirkan di wilayah Kerajaan Babylonia yang ketika itu diperintah oleh Raja Namrud. 

Namrud yakni raja yang sungguh arogan yang mengaku dirinya yakni Tuhan. Raja Namrud juga dimengerti sungguh kejam terhadap semua orang yang menentang kekuasaannya. 

Suatu ketika ia bermimpi. Dalam mimpinya itu, ia menyaksikan seorang anak pria yang memasuki kamarnya kemudian mengambil mahkotanya. 

Kemudian, ia pun mengundang tukang ramal yang sungguh beken untuk mengartikan mimpinya tersebut. Tukang ramal mengartikan bahwa anak yang datang dalam mimpinya tersebut kelak akan meruntuhkan kerajaannya. 

Mendengar hal tersebut, Namrud murka. Akhirnya, diperintahkannya terhadap seluruh prajurit kerajaan biar membunuh setiap bayi pria yang dilahirkan. 

Azar yang istrinya ketika itu sedang mengandung bayi yang kelak dinamakan Ibrahim begitu khawatir akan keamanan bayi yang sedang dikandung istrinya. 

Ia khawatir bahwa bayi yang ada dalam perut istrinya yakni seorang bayi lakilaki yang selama ini ia idam-idamkan. Oleh lantaran itu, untuk menyelamatkan kandidat bayinya tersebut rahasia ia mengajak istrinya ke dalam suatu gua yang jauh dari keramaian. 

Di gua itulah kemudian bayi Ibrahim dilahirkan. Agar tidak dimengerti oleh khalayak ramai, Azar dan istrinya meninggalkan Ibrahim yang masih bayi di dalam gua dan sesekali tiba untuk menyaksikan keadaannya. 

Hal itu terus dilaksanakan hingga Ibrahim menjadi anak kecil yang berkembang sehat dan mempunyai dampak atas izin Allah Swt. Bagaimana Ibrahim sanggup hidup di dalam gua, padahal tidak ada masakan dan minuman yang diberikan? 

Jawabannya lantaran Allah Swt. menganugerahkan Ibrahim untuk menghisap jari tangannya yang dari situ keluarlah air susu yang sungguh baik. Itulah mukjizat pertama yang diberikan Allah terhadap Nabi Ibrahim as. 

Lama hidup di dalam gua tentu bikin Ibrahim sungguh terbatas pengetahuannya wacana alam sekitar. 

Oleh lantaran itu, di ketika terdapat potensi untuk keluar dari gua, Ibrahim pun melakukannya. Betapa terkejutnya ia, ternyata alam di luar gua begitu luas dan indah. 

Di dalam ketakjubannya itu, Ibrahim berpikir bahwa alam yang luas dan indah berikut isinya tergolong manusia, tentu ada yang menciptakannya. Kemudian, Nabi Ibrahim berlangsung untuk mencari Tuhan. Ia memperhatikan lingkungan sekelilingnya. 

Namun, ia tidak mendapatkan sesuatu yang menjadikannya kagum dan merasa mesti dijadikan Tuhannya. Di siang hari, Ibrahim menyaksikan cerahnya matahari menyoroti bumi. 

Ia berpikir, mungkin matahari yakni yang kuasa yang ia cari. Tetapi ketika senja tiba dan matahari karam di ufuknya, gugurlah kepercayaan Ibrahim akan matahari selaku tuhan. 

Sampai akhirnya, malam pun tiba menjelang. Bintang di langit bermunculan dengan indahnya. Sinarnya berkelap-kelip bikin situasi malam menjadi lebih indah dan cerah. 

“Apakah ini Tuhan yang saya cari?” Kata Ibrahim dengan gembira. Ditatapnya bintang-bintang itu dengan sarat rasa bangga. 

Tetapi ternyata, ketika malam beranjak pagi, bintang-bintang itu pun beranjak satu persatu. Dengan persepsi kecewa, Nabi Ibrahim menyaksikan satu persatu bintang-bintang itu menghilang. 

“Aku tidak menggemari Tuhan yang sanggup menghilang dan karam lantaran waktu,” gumamnya dengan perasaan kecewa. 

Nabi Ibrahim pun menjajal mencari Tuhan yang lain. Memasuki malam berikutnya, bulan pun timbul dan bersinar memancarkan cahayanya yang keemasan. Ia pun menduga, 

“Inikah Tuhan yang saya cari?” namun, ketika pagi tiba menjelang, bulan pun hilang tanpa alasan. 

Seperti halnya terhadap matahari dan bintang, Ibrahim pun menegaskan bahwa bukanlah matahari, bintang, dan bulan yang menjadi Tuhan untuk disembah, tetapi tentu ada satu kekuatan Yang Mahaperkasa dan Mahaagung yang menggerakkan dan menggugah semua yang ada. 

Ibrahim pun menyimpulkan bahwa Tuhan tidak lain yakni Allah Swt Ketika kepercayaan Nabi Ibrahim as. terhadap Allah Swt. betul-betul merasuki jiwanya, mulailah ia mengajak orang-orang di sekitarnya untuk meninggalkan penyembahan terhadap berhala. Karena berhala tidak mempunyai kekuatan apa pun dan tidak pula memberi manfaat. 

Orang pertama yang ia ajak cuma untuk menyembah Allah Swt. yakni Azar, ayahnya yang berprofesi selaku pembuat patung untuk disembah. 

Mendengar seruan Ibrahim, Azar murka lantaran apa yang dilakukannya semata-mata apa yang sudah dilaksanakan oleh nenek moyangnya dahulu. Azar meminta Ibrahim untuk tidak menghina dan melecehkan berhala yang semestinya ia sembah. 

“Wahai saudaraku! Patung-patung itu hanyalah produksi insan yang tidak sanggup bergerak dan tidak memberi faedah sedikitpun. Mengapa kalian sembah dengan memohon kepadanya?” 

Demikian seruan Ibrahim terhadap umatnya. Akan tetapi, kaumnya tidak mau menyimak dan mengikuti seruan Nabi Ibrahim as., bahkan mereka menghina dan menghujat Ibrahim. 

Menyadari bahwa ajakannya untuk menyembah cuma terhadap Allah Swt. tidak mendapatkan respon dari umatnya, Nabi Ibrahim as. menertibkan cara bagaimana melaksanakan dakwah secara pintar dan lebih efektif. 

Oleh lantaran itu, tatkala seluruh penduduk negeri tergolong Raja Namrud pergi untuk berburu, Nabi Ibrahim masuk ke dalam kuil penyembahan berhala kemudian merusak semua berhala yang ada dengan suatu kapak besar yang sudah disiapkan. 

Semua berhala hancur kecuali berhala yang paling besar yang ia sisakan. Pada berhala besar itu, ia gantungkan kapak di lehernya. Sekembalinya dari perburuan, semua penduduk negeri tergolong Namrud, terkejut luar biasa. 

Mereka dengan sungguh murka mencari tahu siapa yang berani melaksanakan perbuatan tersebut. Mengetahui bahwa Ibrahimlah satu-satunya laki-laki yang tidak berpartisipasi dalam perburuan, Raja mendelegasikan semua prajurit untuk mengundang dan menangkap Ibrahim untuk dihadapkan terhadap dirinya. 

Sesampainya di hadapan Raja Namrud, Ibrahim bangun dengan tegak dan sarat percaya diri. 

“Hai Ibrahim, apakah kau yang merusak berhala-berhala itu?” tanya Raja Namrud. “Tidak, saya tidak melakukannya,” jawab Ibrahim as. 

“Jangan mengelak, wahai Ibrahim, bukankah kau satu-satunya orang yang berada di negeri ketika seluruhnya pergi berburu?” sergah Raja Namrud. 

“Sekali lagi tidak! Bukan saya yang melakukannya, tetapi berhala besar itu yang melakukannya,” jawab Ibrahim as. dengan tenang. 

Mendengar jawaban Nabi Ibrahim, Raja Namrud murka seraya berkata, “Mana mungkin berhala yang tidak sanggup bergerak engkau tuduh selaku penghancur berhala lainnya?” 

Mendengar perkataan Raja Namrud, Ibrahim as. tersenyum kemudian berkata, “Sekarang Anda tahu dan Anda yang mengatakannya sendiri bahwa berhala-berhala itu tidak sanggup bergerak dan menyediakan derma apa-apa. 

Lalu, mengapa Anda sembah berhala-berhala itu?” Mendengar jawaban Ibrahim as. yang tidak disangka-sangka, Namrud bantu-membantu menyadari hal tersebut. 

Namun, lantaran kebodohan dan kesombongannya, ia tetap saja tidak mengenal alasan Ibrahim as. 

Ia kemudian mendelegasikan semua tentaranya untuk aben Ibrahim hidup-hidup selaku eksekusi atas perlakuannya terhadap berhala-berhala yang mereka sembah. 

Setelah semua antisipasi untuk aben Ibrahim as. sudah lengkap, dilemparkanlah Ibarahim ke dalam api yang berkobar sungguh besar dan panas. 

Apa yang terjadi kemudian? Allah Swt. menampilkan Kemahakuasaan-Nya dengan meminta api biar masbodoh untuk menyelamatkan Ibrahim as. 

Api pun masbodoh sehingga tak sedikit pun Ibrahim as. terluka karenanya. Itulah mu’jizat paling besar yang diterima Nabi Ibrahim, yakni tidak terluka ketika dibakar dengan api yang sungguh panas.

Nelty Khairiyah dan Endi Suhendi Zen. 2017. Pendidikan Agama Islam Untuk Kelas X. Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud

Related : Materi Pai X Pecahan 1 Senantiasa Akrab Dengan Allah

0 Komentar untuk "Materi Pai X Pecahan 1 Senantiasa Akrab Dengan Allah"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)