Materi Pai Ix Sejarah Kemajuan Islam Di Nusantara

Sejak zaman pra sejarah, penduduk Nusantara dipahami selaku pelayar-pelayar handal yang sanggup mengarungi samudera lepas. 

Menurut catatan sejarah, pada permulaan masehi sudah ada jalur pelayaran dan jual beli antara kepulauan Indonesia dengan aneka macam wilayah di Asia Tenggara. 

Wilayah Nusantara yang menjadi lintasan penting jual beli yakni wilayah Nusantara cuilan barat, yakni Malaka dan sekitarnya. 

Daerah tersebut sudah terkenal semenjak zaman dulu lantaran kaya akan hasil bumi. 

Daerah tersebut kemudian menjadi perlintasan para pedagang Cina dan India. 

Sementara itu pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatera dan Jawa antara kala ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi pedagang dari Lamuri (Aceh), Barus, Palembang, Sunda Kelapa, dan Gresik. 

Bersamaan dengan itu, tiba pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah pada kala ke-7 Masehi (abad ke-1 Hijriyah). 

Malaka menjadi sentra utama kemudian lintas jual beli dan pelayaran. Mereka tidak cuma berdagang, tetapi sekaligus berdakwah membuatkan agama Islam. 

Dengan demikian, agama Islam sudah ada di Indonesia ini semenjak kala ke-1 Hijriyah. 

Para cakap sejarah mencatat bahwa Islam masuk ke Indonesia lewat jalur perdagangan. Sebelum Islam datang, Nusantara berada dalam imbas agama Hindu-Buddha. 

Pengaruh-pengaruh tersebut mempunyai pengaruh pada contoh hidup penduduk di Indonesia. Namun, dalam perkembangannya imbas Islam jauh lebih berpengaruh ketimbang agama Hindu-Buddha. 

Masuknya agama Islam di Nusantara lewat jalur jual beli berjalan dengan cara-cara damai. Ajaran islam gampang diterima dan memperoleh perhatian dari penduduk Nusantara. 

Berbagai sumber sejarah menyatakan bahwa agama Islam sudah masuk ke Indonesia pada kala ke-7 M. 

Namun eksistensi para pemeluk aliran Islam menjadi terperinci pada kala ke-13 yang ditandai dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai di Aceh selaku kerajaan Islam yang pertama. 

Proses masuknya Islam di Indonesia berjalan secara bertahap dan lewat banyak jalan .


Menurut para cakap sejarah, teori-teori wacana kemunculan Islam ke Indonesia yakni selaku berikut. 

1. Teori Mekah 

Menurut teori Mekah, proses masuknya Islam ke Indonesia yakni pribadi dari Mekah atau Arab. Terjadi pada kala pertama Hijriyah atau kala ke-7 Masehi. 

Para pedagang dari Timur Tengah mempunyai misi jualan dan dakwah sekaligus. Bahkan motivasi dakwah menjadi pendorong utama mereka tiba ke Nusantara. 

Orang-orang Arab yang tiba ini pada lazimnya yakni keturunan Nabi Muhammad saw. yang menggunakan gelar “sayid” atau “syarif ” di depan namanya. 

Menurut para cakap sejarah, jalur jual beli antara Indonesia dengan Arab sudah berjalan jauh sebelum masehi. 


2. Teori Gujarat 

Teori Gujarat menyampaikan bahwa proses kemunculan Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat pada kala ke-7 H atau kala ke-13 M. 

Gujarat yakni suatu wilayah di India cuilan barat, berdekatan dengan Laut Arab. 

Menurut teori ini, orang-orang Arab bermazhab Syafi’i sudah bermukim di Gujarat dan Malabar semenjak permulaan Hijriyah (abad ke-7 Masehi). 

Namun yang membuatkan Islam ke Indonesia bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang sudah memeluk Islam dan berjualan ke Nusantara. 

Orang-orang Gujarat sudah lebih permulaan membuka kekerabatan jualan dengan Indonesia dibanding dengan pedagang Arab 


3. Teori Persia 

Teori Persia menyampaikan bahwa proses kemunculan Islam ke Indonesia berasal dari wilayah Persia atau Parsi (sekarang Iran). 

Sebagai buktinya, ada kesamaan budaya dan tradisi yang meningkat antara penduduk Parsi dan Indonesia. 

Tradisi tersebut antara lain yakni tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro. 


4. Teori Cina 

Menurut teori Cina, proses kemunculan Islam ke Indonesia (khususnya di tanah Jawa) berasal dari para pedagang Cina. 

Mereka sudah berafiliasi jualan dengan penduduk Indonesia jauh sebelum Islam dipahami di Indonesia, yakni semenjak masa Hindu-Buddha. 

Ajaran Islam sendiri sudah hingga di Cina pada kala ke-7 M. 

Pada masa Dinasti Tang (618-960) di wilayah Quanzhou, Kanton, Zhang-zhao, dan pesisir Cina selatan, sudah terdapat sejumlah pemukiman Islam. 

Sebagai pembuktian teori Cina ini, bahwa raja Islam pertama di Jawa, yakni Raden Patah dari Bintoro Demak, ialah keturunan Cina. 

Ibunya disebutkan berasal dari Campa, Cina cuilan selatan (sekarang tergolong Vietnam). 

Bukti yang lain yakni adanya masjid-masjid renta yang bernilai arsitektur Cina atau Tiongkok di aneka macam tempat di Pulau Jawa. 

Pelabuhan penting seumpama di Gresik, misalnya, menurut catatancatatan Cina, diduduki pertama kali oleh para pelaut dan pedagang Cina. 

Semua teori di atas masing-masing mempunyai kehabisan dan keistimewaan tersendiri. Tidak ada kemutlakan dan kepastian yang terperinci dalam masing-masing teori tersebut. 

Semua teori di atas kian memperkaya khazanah keilmuan wacana sejarah Islam di Nusantara.


Agama Islam meningkat di Indonesia disebarkan oleh aneka macam golongan, yakni para pedagang, mubaligh, sufi, dan para wali. 

Para wali membuatkan Islam di Nusantara, khususnya di tanah Jawa. Di antara sekian banyak wali, yang terkenal yakni Wali Sanga (Wali Sembilan). 

Berikut ini yakni nama-nama wali sanga. 

1). Sunan Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maghribi, yang disangka berasal dari Persia dan berkedudukan di Gresik. 

2). Sunan Ampel atau Raden Rahmat, berkedudukan di Ampel, Surabaya. 

3). Sunan Bonang atau Raden Maulana Makdum Ibrahim, putra dari Raden Rahmat (Sunan Ampel). Ia tinggal di Bonang, dekat Tuban. 

4). Sunan Giri atau Prabu Satmata atau Sultan Abdul Fakih yang semula berjulukan Raden Paku, berkedudukan di Bukit Giri, dekat Gresik. 

5). Sunan Drajat atau Syarifuddin, juga putra dari Sunan Ampel dan berkedudukan di Drajat, dekat Sedayu, Surabaya. 

6). Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah atau Syeikh Nurullah berasal dari Pasai, sebelah utara Aceh yang berkedudukan di Gunung Jati, Cirebon. 

7). Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq, putra dari Raden Usman Haji yang bergelar Sunan Ngandung di Jipang Panolan, berkedudukan di Kudus. 

8). Sunan Kalijaga, nama aslinya Raden Mas Syahid. Beliau yakni putra Tumenggung Wilatikta, Bupati Tuban yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak. 

 9). Sunan Muria atau Raden Umar Said yakni putra dari Sunan Kalijaga berkedudukan di Gunung Muria, Kudus.


Para da’i dan mubaligh membuatkan Islam di Nusantara dengan cara- cara selaku berikut: 

1. Perdagangan 

Proses penyebaran Islam lewat jalur jual beli ditangani oleh para pedagang muslim pada kala ke-7 hingga kala ke-16 M. 

Para pedagang tersebut berasal dari Arab, Persia, dan India. Jalur jual beli di saat itu menghubungkan Asia Barat, Asia Timur, dan Asia Tenggara. 

Para pedagang muslim menggunakan potensi itu untuk berdakwah membuatkan agama Islam. Mereka mempunyai tabiat mulia, santun, sanggup memperoleh amanah dan jujur. 

Hal inilah yang menjadi pesona sehingga banyak penduduk Nusantara secara sukarela masuk Islam. Banyak pedagang muslim yang singgah dan bertempat tinggal di Indonesia. 

Sebagian ada yang tinggal sementara ada pula yang menetap di Indonesia. Lambat laun tempat tinggal mereka berubah menjadi perkampungan muslim. . 


b. Perkawinan 

Sebagian pedagang Islam tersebut ada yang menikah dengan perempuan pribumi, khususnya putri aristokrat atau putri raja. 

Dari ijab kabul itu mereka memperoleh keturunan. 

Disebabkan ijab kabul itulah banyak keluarga aristokrat atau raja masuk Islam, sehingga para pedagang tersebut menetap dan membentuk perkampungan muslim yang disebut Pekojan. 

Perkampungan Pekojan banyak ditemui di beberapa kota di Indonesia hingga di saat ini. 

 

3. Pendidikan 

Para mubaligh mendirikan forum pendidikan Islam di beberapa wilayah Nusantara. Lembaga pendidikan Islam ini berdiri semenjak pertama kali Islam masuk di Indonesia. 

Nama lembaga-lembaga pendidikan Islam itu berlawanan tiap daerah. 

Di Aceh misalnya, lembaga-lembaga pendidikan Islam di sana dipahami dengan nama meunasah, dayah, dan rangkang. 

Di Sumatera Barat dipahami adanya surau. Di Kalimantan dipahami dengan nama langgar. Sementara di Jawa dipahami dengan pondok pesantren. 

Di sanalah berjalan pembinaan, pendidikan dan kaderisasi bagi kandidat kiai dan ulama. 

Mereka tinggal di pondok atau asrama dalam rentang waktu tertentu menurut tingkatan kelasnya. 

Setelah menamatkan pendidikan pesantren mereka kembali ke kampung masing-masing untuk membuatkan Islam. 

Melalui cara inilah Islam terus bertambah menyebar ke daerah-daerah yang terpencil. 


4. Hubungan Sosial 

Para mubaligh yang membuatkan Islam di Nusantara pintar dalam menjalin kekerabatan sosial dengan masyarakat. 

Mereka yang sudah tinggal menetap di Nusantara aktif membaur dengan penduduk lewat kegiatan-kegiatan sosial. 

Sikap mereka santun, mempunyai kebersihan jasmani dan ruhani, mempunyai kepandaian yang tinggi, serta dermawan. 

Silaturahmi, melakukan pekerjaan sama, gotong-royong mereka jalankan bareng penduduk Nusantara dengan tujuan menawan simpati mudah-mudahan masuk Islam. 

Pada potensi tertentu mereka menyodorkan aliran Islam dengan cara bijaksana, tidak memaksa dan merendahkan. 

Islam mengajarkan persamaan hak dan derajat bagi semua insan lantaran kemulaian insan tidak diputuskan oleh kastanya melainkan lantaran ketakwaannya terhadap Allah Swt. 

Islam juga mengajarkan umatnya untuk saling membantu, yang kaya menolong yang miskin, yang berpengaruh menolong yang lemah dan saling mengendorkan beban orang lain. 

Dengan demikian aliran Islam kian gampang diterima oleh penduduk Nusantara. 


5. Kesenian 

Sebelum Islam datang, kesenian dan kebudayaan Hindu-Buddha sudah mengakar berpengaruh di tengah-tengah masyarakat. 

Kesenian tersebut tidak dihilangkan namun justru digunakan selaku fasilitas dakwah. 

Cabangcabang seni yang dikembangkan para penyebar Islam di antaranya yakni seni bangunan, seni pahat dan ukir, seni tari, seni musik dan seni sastra. 

Pada seni bangunan misalnya masjid, mimbar, dan ukiran-ukirannya masih menampilkan motifmotif seumpama yang terdapat pada candi-candi Hindu atau Buddha. 

Motif tersebut sanggup dilihat pada Masjid Agung Demak, Masjid Agung Kasepuhan di Cirebon, Masjid Agung Banten, dan Masjid Baiturrahman di Aceh. 

Demikian pula dengan pertunjukan wayang kulit. 

Mereka tidak pernah meminta upah untuk menggelar pertunjukkan, penonton atau hadirin gratis melihat pertunjukkan tersebut. 

Penonton cuma diminta mudah-mudahan mengikutinya mengucapkan “Dua Kalimat Syahadat”. Hal ini mempunyai arti para penonton sudah masuk Islam. 

Sebagian besar kisah wayang kulit dikutip dari kisah Mahabharata dan Ramayana, tetapi bertahap dimasukkan nilai-nilai aliran Islam


1. Kerajaan Samudera Pasai

Kerajaan Islam pertama di Indonesia yakni kerajaan Samudera Pasai yang terletak di pesisir timur bahari Aceh, kabupaten Lhok Seumawe atau Aceh Utara sekarang. 

Lahirnya kerajaan Islam yang pertama di Indonesia itu diperkirakan mulai permulaan atau pertengahan kala ke-13 M. 

Sebagaimana dikenali proses dakwah Islam di daerah-daerah pantai terjadi semenjak kala ke-7 M. 

Kawasan Aceh yang strategis dan berada di pintu masuk Selat Malaka membuat Aceh selaku tempat konferensi para pedagang dari aneka macam wilayah di Nusantara dan para pedagang dari luar negeri, khususnya para pedagang Islam. 

Oleh lantaran itu, tak aneh jikalau imbas Islam sungguh berpengaruh di Aceh dan diwujudkan dalam bentuk hadirnya kerajaan Islam Samudra Pasai. 

Salah satu bukti berdirinya kerajaan Samudera Pasai yakni adanya nisan kubur yang dibikin dari granit asal Samudera Pasai. 

Dari nisan itu sanggup dikenali bahwa raja pertama Samudera Pasai, Sultan Malik Al- Saleh meninggal pada bulan bulan ampunan tahun 696 H yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M. 

Pada tahun 1521 M kerajaan ini ditaklukkan oleh Portugis. 

Selanjutnya kerajaan Samudera Pasai mulai mundur dan berada dibawah kekuasaan Kerajaan Aceh. Kerajaan Samudera Pasai rampung pada tahun 1524 M. 


2. Kerajaan Aceh 

Kerajaan Aceh terletak di wilayah yang kini dipahami dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Nama Aceh menanjak dengan segera pada kala ke-17. 

Sejak itu seluruh Aceh berada di bawah naungan Aceh Besar yang berpusat di Kutaraja. 

Sultan pertama yang memerintah dan sekaligus selaku pendiri Kerajaan Aceh yakni Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528 M). 

Ali Mughayat Syah meluaskan wilayah kekuasaannya ke wilayah Pidie yang melakukan pekerjaan sama dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. 

Dengan kemenangannya terhadap dua kerajaan tersebut, Aceh dengan gampang melebarkan kekuasaannya ke Sumatera Timur. 

Peletak dasar kebesaran kerajaan Aceh yakni Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar Al-Qahar. 

Berbeda dengan Sultan Ali Mughayat Syah yang melakukan pekerjaan sama dengan Portugis, Sultan Alauddin Riayat Syah justru berupaya melawan Portugis. 

Dalam menghadapi tentara Portugis, ia menjalin kekerabatan persahabatan dengan kerajaan Turki Usmani dan kerajaan-kerajaan Islam lain di Indonesia. 

 Pada masa pemerintahan Iskandar Muda, kerajaan Aceh meraih puncak kekuasaannya. 

Bandar Aceh dibuka menjadi pelabuhan internasional dengan jaminan penjagaan gangguan bahari dari kapal perang Portugis. 

Penaklukan demi penaklukan tidak cuma ditangani terhadap tanah Aceh dan sekitarnya, melainkan juga meluas jauh ke luar Aceh. 

Ini membuat kekuasaan Aceh membentang dari wilayah Deli hingga dengan Semenanjung Malaka. Pada masanya Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir Timur dan Barat Sumatera. 

Namun, jerih payah Aceh untuk menguasai Malaka yang diduduki oleh Portugis beberapa kali mengalami kegagalan. 

Bahkan untuk mengalahkan Portugis, Sultan melakukan pekerjaan sama dengan musuh Portugis yakni Belanda dan Inggris. 

Pada masa Sultan Iskandar Muda itulah disusun suatu undang-undang wacana tata pemerintahan yang disebut Adat Makuta Alam. 

Sultan Iskandar Muda wafat pada tahun 1636 M dan digantikan oleh menantunya, yakni Sultan Iskandar Tsani (1636-1641 M). 

Masa pemerintahannya tidak usang lantaran ia tidak mempunyai kepribadian dan kecakapan yang berpengaruh seumpama Sultan Iskandar Muda. 

Penggantinya yakni permaisurinya sendiri, yakni putri Sultan Iskandar Muda yang berjulukan Sya!atu’ddin.Sejak Sultan Iskandar Muda wafat, Aceh terus menerus mengalami kemunduran. 


3. Kerajaan Demak 

Kerajaan Demak terletak di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Kerajaan ini ialah kerajaan Islam pertama dan paling besar di pesisir utara Jawa. 

Wilayah Demak sebelumnya ialah kadipaten dari kerajaan Majapahit. 

Kerajaan ini tercatat menjadi penggerak penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Nusantara. 

 Kerajaan Demak diresmikan oleh Raden Patah pada tahun 1478 M. Beliau ialah putra Prabu Kertabumi, seorang raja Majapahit. 

Setelah tahta ayahnya jatuh ke tangan Girindra Wardhana dari Keling (Daha) dan Demak menjadi terancam, terjadilah pertempuran antara Demak dan Majapahit yang dipimpin oleh Girindra Wardhana dan keturunannya, Prabu Udara, hingga tahun 1518 M. 

Majapahit mengalami kekalahan dan sentra kekuasaan bergeser ke Demak. 

Sejak itu Demak berubah menjadi besar dan menguasai jalur jual beli di Nusantara. 

Wilayah kekuasaan Demak cukup luas, termasuk wilayah sepanjang pantai utara Pulau Jawa, sedangkan wilayah pengaruhnya hingga ke Palembang, Jambi, Banjar dan Maluku. Pada tahun 1518 M Raden Patah digantikan oleh putranya yang berjulukan Pati Unus. 

Sebelum menduduki tahta, Pati Unus pernah memimpin armada bahari Demak dalam menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1513 M. Namun, penyerangan itu gagal. 

Sekembalinya dari Malaka ia memperoleh gelar Pangeran Sabrang Lor. Setelah Pati Unus naik tahta, ia tidak menjajal lagi menyerang Malaka. 

Ia tetap memperkuat pertahanan lautnya mudah-mudahan Portugis tidak masuk ke Jawa. 

Sikap permusuhan Demak terhadap Portugis ternyata sungguh merugikan Portugis dan Bandar Malaka lantaran Demak tidak lagi mengantarkan barang-barang dagangannya ke Malaka. 

Para pedagang dari negara lain juga enggan tiba berjualan ke Bandar Malaka. Kekuasaan Kerajaan Demak rampung pada tahun 1568 M. 

Joko Tingkir memindahkan sentra pemerintahan dari Demak ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kerajaan Pajang. 


d. Kerajaan Pajang (1568-1586) 

Kerajaan Pajang yakni penerus dari kerajaan Demak. 

Kesultanan yang terletak di wilayah Kartasura kini itu ialah kerajaan Islam pertama yang terletak di wilayah pedalaman pulau Jawa. 

Sultan atau raja pertama kesultanan ini yakni Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging, di lereng Gunung Merapi. 

Jaka Tingkir bergelar Sultan Hadiwijaya. 

Kedudukannya yang disahkan oleh Sunan Giri, secepatnya memperoleh akreditasi dari adipati di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Demak kemudian cuma menjadi kadipaten yang dipimpin oleh Arya Pangiri, putra Sunan Prawoto. 

Pada waktu Sultan Hadiwijaya berkuasa di Pajang, Ki Ageng Pemanahan diangkat menjadi bupati di Mataram (sekitar Kota Gede Yogyakarta) selaku imbalan atas keberhasilannya menumpas Aria Penangsang. 

Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan diambil anak angkat oleh Sultan Hadiwijaya. 

Setelah Ki Ageng Pemanahan wafat pada tahun 1575 M, Sutawijaya diangkat menjadi bupati di Mataram, yang terkenal dengan nama Panembahan Senopati. 

Ternyata ia tidak puas menjadi bupati. Ia ingin menjadi raja yang menguasai seluruh Jawa. 

Ia mulai memperkuat metode pertahanan Mataram, baik dalam jumlah, mutu serdadu maupun persenjataannya. 

Hadiwijaya yang mengenali hal itu secepatnya mengantarkan pasukannya ke Mataram. Peperangan sengit terjadi pada tahun 1582 M. 

Namun, serdadu Pajang menderita kekalahan besar. Sultan Hadiwijaya menderita sakit dan balasannya wafat. Setelah itu, terjadilah kudeta di antara para bangsawan. 

Pangeran Pangiri (menantu Hadiwijaya yang menjabat Bupati Demak) tiba menyerbu Pajang untuk merebut tahta. 

Hal itu ditentang keras olah para aristokrat Pajang yang melakukan pekerjaan sama dengan Sutawijaya dari Mataram. 

Akhimya, Pangeran Pangiri beserta pengikutnya sanggup dikalahkan dan diusir dari Pajang. 

Setelah situasi aman, Pangeran Benowo (putra Hadiwijaya) menyerahkan tahta terhadap Sutawijaya. Sutawijaya kemudian memindahkan sentra pemerintahannya ke Mataram (1586 M.). 

Sejak itu berdirilah Kerajaan Mataram. Pusat Kerajaan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. 

Sutawijaya kemudian bergelar Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama, sedangkan Pangeran Benowo diangkat menjadi bupati Pajang. 


e. Kerajaan Mataram Islam (abad 17-19) 

Kerajaan Mataram Islam berdiri pada tahun 1586 dan raja pertamanya yakni Sutawijaya yang bergelar “Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama” artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama. 

Pusat Kerajaan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. 

Kerajaan Mataram meraih puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645 M). 

Hal itu ialah cerminan dari kebesaran jiwa, keberanian, keuletan, dan kecakapan serta kuatnya kepribadian Sultan Agung. 

Ia yakni seorang militer yang ulung, organisator yang berhasil, cakap politik, cakap sastra, cakap !lsafat, dan sungguh mementingkan problem agama. 

Dalam sejarah Islam, kesultanan mataram mempunyai tugas yang penting dalam perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. 

Hal ini terlihat dari semangat raja-raja untuk memperluas wilayah kekuasaan, dan mengislamkan para penduduk wilayah kekuasaannya, hingga meningkatkan kebudayaan yang bercorak Islam di Jawa. 

Pada masa Sultan Agung banyak prestasi besar yang dicapai, antara lain sebagaimana berikut. 

Memperluas wilayah kekuasaannya termasuk Jawa-Madura (kecuali Banten dan Batavia), Palembang, Jambi, dan Banjarmasin. 

• Mengatur dan mengawasai daerahnya yang luas itu pribadi dari pemerintah pusatnya (Kota Gede). 

• Melakukan acara ekonomi yang bercorak agraris dan maritim. Mataram yakni pengekspor beras paling besar pada masa itu. 

• Melakukan mobilisasi militer secara besar-besaran sehingga bisa menundukkan daerah-daerah sepanjang pantai utara Jawa dan bisa menyerang Belanda di Batavia hingga dua kali. Andaikata Batavia tidak dipagari tembok-tembok yang tinggi, benteng-benteng yang kuat, dan persenjataan yang modern, sudah niscaya Batavia jatuh di tangan Mataram. 

• Mengubah perkiraan tahun Jawa Hindu (Saka) dengan tahun Islam (Hijriah) yang menurut peredaran Bulan (sejak tahun 1633 M). 

• Menyusun karya sastra yang cukup terkenal, yakni Sastra Gending dan kitab suluk. Misalnya Suluk Wujil (1607 M) yang berisi wejangan Sunan bonang terhadap abdi raja majapahit yang berjulukan Wujil 

• Menyusun kitab undang-undang gres yang ialah perpaduan dari aturan Islam dengan adat-istiadat Jawa yang disebut Surya Alam. 


f. Kerajaan Banjar 

Kerajaan Banjar yakni kerajaan Islam di pulau Kalimantan, tepatnya di provinsi Kalimantan Selatan di saat ini. 

Pusat Kerajaan Banjar yang pertama yakni wilayah di sekeliling Kuin Utara (Banjarmasin sekarang). Namun setelah keraton di Kuin dihancurkan oleh Belanda, sentra kerajaan dipindahkan ke Martapura. 

Kerajaan ini berdiri pada tahun 1526 M dengan Sultan Suriansyah (Raden Samudera) selaku Sultan pertama. Seiring dengan berjalannya waktu, kerajaan Banjar kian meningkat dan bertambah luas wilayahnya. Wilayah kekuasaan kerajaan Banjar termasuk Banjarmasin, Martapura, Tanah Laut, Margasari, Amandit, Alai, Marabahan, Banua Lima, serta wilayah hulu sungai Barito. 

Wilayah kekuasaan Kerajaan Banjar kian luas hingga ke Tanah Bumbu, Pulau Laut, Pasir, Berau, Kutai, Kotawaringin, Landak, Sukadana dan Sambas. 

Semua wilayah tersebut yakni wilayah kerajaan Banjar (yang apabila dilihat dari peta zaman sekarang, kerajaan Banjar menguasai nyaris seluruh pulau kalimantan). 

Kerajaan Banjar runtuh pada di saat berakhirnya Perang Banjar pada tahun 1905M. 

Perang Banjar ialah pertempuran melawan Belanda. Raja terakhir yakni Sultan Muhammad Seman (1862 – 1905M). 

Beliau wafat pada di saat mengerjakan pertempuran dengan Belanda di Puruk Cahu 


g. Kerajaan Gowa-Tallo 

Pada mulanya di wilayah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dipahami dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi sentra kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, ParangParang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Kemudian semua komunitas bergabung dan sepakat membentuk Kerajaan Gowa. 

Kerajaan Gowa yakni salah satu kerajaan besar dan paling berhasil yang terdapat di wilayah Sulawesi Selatan. 

Di Sulawesi Selatan pada permulaan kala ke-16 terdapat banyak kerajaan bercorak Hindu, tetapi yang terkenal yakni Gowa, Tallao, Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu. 

Pada tahun 1605 Sultan Alaudin (1591 – 1639 M) dari Gowa masuk Islam berkat adanya dakwah dari Datuk Ri Bandang dan Sulaeman dari Minangkabau. 

Maka semenjak di saat itu kerajaan Gowa resmi menjadi kerajaan Islam. Islamnya raja Gowa secepatnya dibarengi oleh rakyatnya. 

Kerajaan Gowa dan Tallo balasannya sanggup menguasai kerajaan-kerajaan lainnya. Dua kerajaan itu lazim disebut Kerajaan Makassar. Kerajaan Gowa meraih puncak kejayaannya pada kala 16 yang lebih terkenal dengan istilah kerajaan kembar “GowaTallo”. 

 Dua kerajaan sudah menyatakan ikrar bersama, yang terkenal dalam pribahasa “Rua Karaeng Na Se’re Ata” (“Dua Raja tetapai satu rakyat”). 

Oleh lantaran itu, kesatuan dua kerajaan itu disebut Kerajaan Makassar. Dari Makassar, agama Islam disebarkan ke aneka macam daerah, bahkan hingga ke Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. 

Pada pertengahan kala ke-17 Makassar atau Gowa berada pada puncak kejayaannya. 

Pada masa itu sanggup dibilang bahwa nyaris seluruh wilayah di Indonesia cuilan timur mulai Pulau Sangir Talaud sebelah utara, Kutai di cuilan barat, serta wilayah Marege (Australia) di cuilan selatan, sudah mencicipi imbas kekuasaan Kerajaan Gowa. 

Pemerintahan kerajaan Gowa meraih puncaknya khususnya di bawah pemerintahan Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikulsaid (1639-1653 M) atau lebih dipahami Sultan Malikussaid (1639-1653 M). 

Kekuasaan dan imbas kerajaan Gowa kian luas termasuk seluruh wilayah Sulawesi Selatan, bahkan wilayah Timur Indonesia. Kerajaan Gowa di saat itu sudah bisa menjalin kekerabatan dekat dengan raja-raja di Nusantara. 

Tidak cuma itu, bahkan Gowa juga menjalin kekerabatan internasional dengan rajaraja dan pembesar dari negara luar, seumpama Raja Inggris, Raja Kastilia di Spanyol, Raja Portugis, Raja Muda Portugis di Gowa (India), Gubernur Spanyol dan Mufti Besar Arabia. Setelah memerintah kerajaan Gowa selama 16 tahun, tanggal 5 November 1653 Sultan Malikussaid wafat. 

Beliau digantikan oleh puteranya I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin yang menjadi raja Gowa XVI (1654-1660 M) atau yang lebih dipahami dengan Sultan Hasanuddin. 

Sultan Hasanuddin bersikap tegas dan tidak mau tunduk terhadap Belanda. Pada tahun 1654-1655 M terjadi pertempuran luar biasa antara kerajaan Gowa dan Belanda di kepulauan Maluku. 

Pada bulan April 1655 pasukan kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin menyerang Buton, dan berhasil mendudukinya serta menewaskan semua tentara Belanda di negeri itu. 

Sultan Hasanuddin juga berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan menundukkan negara-negara kecil di Sulawesi Selatan, tergolong kerajaan Bone. Raja Bone (Aru Palaka) diusir dari negerinya. 

Setelah Belanda mengenali bahwa Bandar Makassar cukup ramai dan banyak menciptakan beras, Belanda mulai mengantarkan utusannya ke Makassar untuk membuka kekerabatan dagang. 

Utusan itu diterima baik dan Belanda sering tiba ke Makassar, tetapi cuma untuk berdagang. 

Setelah Belanda sering tiba ke Makassar, mereka mulai membujuk Sultan Hasanuddin untuk tolong-menolong menyerbu Banda (pusat rempah-rempah). 

Belanda juga merekomendasikan mudah-mudahan Makassar tidak memasarkan berasnya terhadap Portugis. 

Namun, semua permohonan Belanda itu ditolak. Antara Makassar dan Belanda sering terjadi konik lantaran kompetisi dagang. 

Permusuhan Makassar dengan Belanda diawali dengan terjadinya tragedi penipuan pada tahun 1616 M. 

Saat itu para pembesar Makassar dipanggil untuk suatu perjamuan di atas kapal VOC, tetapi temyata mereka dilucuti sehingga terjadilah perkelahian seru yang mengakibatkan banyak korban di pihak Makassar. Sejak itu orang-orang Makassar tidak senang Belanda. 

Suatu di saat orang-orang Makassar membunuh awak-awak kapal yang mendarat di Sumba. 

Orang-orang Belanda pun juga sering menyerang perahu-perahu Makassar yang berjualan ke Maluku. Keadaan kian meruncing dan balasannya pecah menjadi perang terbuka. 

Dalam pertempuran tersebut Belanda sering mengalami kesusahan dalam menundukkan Makassar sehingga Belanda memperalat Aru Palaka (Raja Bone) untuk mengalahkan Makassar. 

Peperangan demi pertempuran melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa, menciptakan banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya menjinjing imbas terhadap perekonomian Gowa. 

Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda khususnya setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka semenjak itu pula keagungan Gowa yang sudah berjalan berabad-abad lamanya balasannya mengalami kemunduran. 


h. Kerajaan Ternate 

Kerajaan Ternate berdiri pada kala ke-13, ibu kotanya terletak di Sampalu (Pulau Ternate). 

Selain Kerajaan Ternate di Maluku, juga sudah berdiri kerajaan-kerajaan lain, yakni Jaelolo, Tidore, Bacan, dan Obi. Di antara kerajaan-kerajaan itu, Kerajaan Ternate yang paling maju. 

Kerajaan Ternate banyak menciptakan rempah-rempah sehingga Ternate banyak dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari Jawa, Melayu, Cina, dan Arab. 

Selain dihadiri para pedagang, Ternate juga mempunyai kapal-kapal jualan yang sering berlayar ke daerah-daerah lain. 

Menurut catatan orang Portugis, raja di Maluku yang mula-mula memeluk agama Islam yakni Raja Ternate, yakni Gapi Baguna atau Sultan Marhum yang masuk Islam lantaran memperoleh imbas dakwah dari Datuk Maulana Husin. 

Ia memerintah tahun 1465-1485 M. Setelah wafat, dia digantikan oleh putranya, Zainal Abidin. 

Pada tahun 1495 M. Zainal Abidin menyuruh pemerintahannya terhadap keluarganya lantaran ia memperdalam wawasan agama Islam terhadap Sunan Giri dan kemudian ke Malaka. 

Setelah kembali ke Ternate, Zainal Abidin sungguh ulet membuatkan agama Islam ke pulaupulau di sekitarnya, bahkan hingga ke Filipina Selatan. Sumber: indotimnet.!les.wordpress. com Zainal Abidin cuma memerintah hingga tahun 1500 M. 

Secara berturut-turut yang kemudian memerintah di Ternate yakni Sultan Sirullah, Sultan Khairun, dan Sultan Baabullah. 

Sejak pemerintahan Sultan Khairun, di Maluku sudah berdatangan bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda. 

Di antara mereka terjadi kompetisi yang ketat sehingga akhimya terjadi konik. Bangsa Portugis berhasil mendirikan benteng di Ternate, yakni Benteng Sao Paulo dengan alasan bahwa benteng tersebut dibangun untuk melindungi Ternate dari serangan Tidore yang bersekutu dengan Spanyol. 

Namun, lambat laun bangsa Portugis mengerjakan tindakan-tindakan yang mengakibatkan kebencian rakyat Ternate. 

Misalnya mengerjakan acara monopoli perdagangan, bersikap besar kepala dan kasar, serta ikut campur duduk kasus intern Kesultanan Ternate. 

Penguasa Ternate yang menentang Portugis yakni Sultan Khairun yang memerintah pada tahun 1550 M. hingga 1570 M. 

Ia secara tegas menolak kemunculan para misionaris Portugis di Ternate. Hal itu menciptakan Portugis kalut akan terusir dari bumi Ternate sehingga dengan alasan mengadakan perjanjian perdamaian Portugis di bawah pimpinan De Mesqiuta, membunuh Sultan Khairun pada tahun 1570 M. 

Rakyat Ternate di bawah pimpinan putra Sultan Khairun, yakni Sultan Baabullah, balasannya mengangkat senjata melawan bangsa Portugis. 

Setelah benteng Portugis dikepung selama lima tahun, pada tahun 1575 M. Sultan Baabullah berhasil menghalau Portugis dari Ternate. 

Di bawah pemerintahan Sultan Baabullah, Kerajaan Ternate meraih masa kejayaannya. Wilayah dan pengaruhnya sungguh luas termasuk wilayah Mindanau (Filipina), seluruh kepulauan di Maluku, Papua, dan Timor. 

Karena daerahnya yang luas serta pelayaran dan perdagangannya yang maju, Sultan Baabullah memperoleh gelar Yang Dipertuan di 72 pulau. Untuk mempertahankan keselamatan wilayahnya, Ternate mempunyai 100 kapal kora-kora. 

Bersamaan dengan itu, agama Islam juga tersebar sungguh luas. Kerajaan Ternate sudah berhasil membangun armada bahari yang cukup berpengaruh sehingga bisa melindungi daerahnya yang cukup luas tersebut. 

Setelah Sultan Baabullah wafat, kerajaan Ternate mulai melemah. Pada tahun 1580 M. kerajaan Spanyol dan Portugal menyerang Ternate. 

Sultan Said Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Filipina. Kekalahan demi kekalahan yang dialami memaksa Ternate meminta sumbangan Belanda. 

Belanda bersedia menolong dengan syarat VOC diberi hak monopoli jual beli di Maluku. 

Akhirnya kerajaan Ternate berhasil mengalahkan Spanyol tetapi dengan imbalan yang sungguh mahal. Belanda pelan-pelan menguasai Ternate. 

Pada tanggal 26 Juni 1607 M. Sultan Ternate menandatangani persetujuan monopoli VOC di Maluku. 

Pada tahun 1607 M. pula Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang ialah benteng pertama mereka di Nusantara. 

Semakin usang kekuasan dan imbas Belanda di Ternate kian kuat. 

Bersamaan dengan itu pula terjadi pemberontakan dan kon!ik internal di kerajaan Ternate, sehingga kerajaan Ternate mulai melemah dan dan balasannya runtuh. 


i. Kerajaan Tidore 

Kerajaan Tidore yakni kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku Utara. 

Kerajaan Tidore terletak di sebelah selatan Ternate. Menurut silsilah raja-raja Ternate dan Tidore, raja Tidore pertama yakni Syahadati alias Muhammad Naqal yang naik tahta sekitar tahun 1081 M. 

Baru pada raja yang ke-9, yakni Cirililiati yang kembali ingin memeluk agama Islam, berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab. 

Setelah masuk Islam bareng para pembesar kerajaan lainnya, ia memperoleh gelar Sultan Jamaluddin. 

Putra sulungnya juga masuk Islam lantaran dakwah Syekh Mansur. Agama Islam masuk pertama kali di Tidore sekitar tahun 1471 M. (menurut catatan Portugis).

Setelah Ternate berhasil meluaskan daerahnya dan membentuk komplotan yang disebut Uli Lima, Kerajaan Tidore juga berhasil memperluas pengaruhnya ke Halmahera, Pulau Raja Ampat, Seram Timur, dan Papua yang dipersatukan dalam komplotan Uli Siwa. 

Demikian juga Kerajaan Bacan dan Jailolo juga karam dalam imbas Kerajaan Tidore. 

Kerajaan Tidore ialah penghasil cengkih yang besar dan sungguh laris di pasaran Eropa sehingga banyak bangsa Eropa yang tiba ke Tidore untuk mencari cengkih, misalnya bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda. 

Pada mulanya Kerajaan Ternate dan Tidore sanggup hidup berdampingan dan tidak pernah terjadi kon!ik. Kerajaan Ternate dan Tidore yang terletak di sebelah Pulau Halmahera (Maluku Utara) yakni dua kerajaan yang mempunyai tugas penting dalam menghadapi kekuatan-kekuatan absurd yang ingin menguasai Maluku. 

Seiring berjalannya waktu, kedua kerajaan ini justru berkompetisi memperebutkan kekuasaan politik di Maluku. 

Kerajaan Ternate dan Tidore ialah wilayah penghasil rempahrempah, seumpama pala dan cengkeh, sehingga wilayah ini menjadi sentra jual beli rempah-rempah. 

Wilayah Maluku cuilan timur dan pantai-pantai Papua, dikuasai oleh kerajaan Tidore, sedangkan sebagian besar wilayah Maluku, Gorontalo, dan Banggai di Sulawesi, dan hingga ke Flores dan Mindanao (Filipina) dikuasai oleh kerajaan Ternate. 

Namun, setelah kemunculan bangsa-bangsa Eropa di Maluku, mulailah terjadi kontradiksi lantaran Ternate dan Tidore berkompetisi menyodorkan harga rempah-rempah, serta pendirian benteng yang dihadiahkan terhadap partner jualan selaku penghargaan. 

Pada tahun 1512 M. bangsa Portugis dan Spanyol memasuki Maluku. Portugis pada di saat itu menegaskan bersahabat dengan Ternate, sedangkan Spanyol yang tiba kemudian bersahabat dengan Sultan Tidore. 

Sejak di saat itulah benih-benih permusuhan mulai timbul. 

Pada tahun 1529 M. Portugis yang dibantu oleh Ternate dan Bacan menyerang Tidore dan Spanyol. 

Dalam pertempuran ini Portugis mengalami kemenangan sehingga Portugis sanggup menguasai jual beli rempah-rempah di seluruh Maluku. 

Setelah menguasai Maluku, Portugis mulai mengerjakan langkah-langkah adikara terhadap rakyat Maluku. 

Kedua kerajaan tersebut balasannya sadar bahwa keduanya mesti bersatu untuk menghalau penjajahan Portugis di Maluku. 

Berkat kolaborasi kedua kerajaan tersebut akhimya Portugis mengalami kekalahan tahun 1575 M. dan menyingkir ke Ambon. 

Pada tahun 1605 M. Belanda berhasil mendesak Portugis di Ambon dan menguasainya. 

Kerajaan Tidore meraih puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1789-1805 M), yakni seorang penguasa yang berani dan cerdas. 

Pada tahun 1801 M. dia menyerang Ternate sehingga Ternate dan Tidore berhasil dipersatukan. 

Di samping itu, Sultan Nuku berhasil mengadu domba antara Belanda dan Inggris sehingga Belanda sanggup diusir dari Tidore. 

Setelah Belanda kalah serta terusir dari Tidore dan Ternate, Inggris tidak memperoleh apa-apa kecuali kekerabatan jualan biasa. 

Sejak itu Tidore dan Ternate tidak diganggu, baik oleh Portugis, Spanyol, dan Belanda maupun Inggris sehingga kesejahteraan rakyatnya terus meningkat. 

Pelayaran dan jual beli maju pesat sehingga waktu itu Maluku mengalami zaman keemasan dan tidak terikat oleh bangsa mana pun. 

Wilayahnya cukup luas yakni termasuk Seram, Halmahera, Kepulauan Kai, dan Papua. Pengganti Sultan Nuku yakni adiknya sendiri, Zainal Abidin (1805-1810 M.)..


Muhammad Ahsan dan Sumiyati. 2017. Pendidikan Agama Islam Untuk Kelas IX. Jakarta: Pusat Kurikulum  Kemendikbud.

Related : Materi Pai Ix Sejarah Kemajuan Islam Di Nusantara

0 Komentar untuk "Materi Pai Ix Sejarah Kemajuan Islam Di Nusantara"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close