Materi Pai Xi Pecahan 9 Prinsip Dan Praktik Ekonomi Islam

Mu’amalah dalam kamus Bahasa Indonesia artinya hal-hal yang tergolong urusan kemasyarakatan (per  gaulan, perdata, dan sebagainya).

Sementara dalam fiqih Islam berarti  tukar-menukar barang atau sesuatu yang memberi faedah dengan cara yang ditempuhnya, menyerupai jual-beli, sewa-menyewa, upah-mengupah, pinjam-meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan kerja keras lainnya. 

Dalam melaksanakan transaksi ekonomi, menyerupai jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, dan pinjam-meminjam, Islam melarang beberapa hal di antaranya menyerupai berikut.
  1. Tidak boleh mempergunakan cara-cara yang batil.
  2. Tidak boleh melaksanakan aktivitas riba.
  3. Tidak boleh dengan cara-cara zalim (aniaya).
  4. Tidak boleh mempermainkan takaran, timbangan, kualitas, dan kehalalan.
  5. Tidak boleh dengan cara-cara spekulasi/berjudi.
  6. Tidak boleh melaksanakan transaksi jual-beli barang haram.

Jual-beli menurut syariat agama merupakan persetujuan tukar-menukar benda untuk memiliki benda tersebut selamanya. 

Melakukan jual-beli dibenarkan, sesuai dengan firman Allah Swt. berikut ini: Artinya:”... dan Allah Swt. sudah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba...” (Q.S. al-Baqarah/2: 275).

Apabila jual-beli itu menyangkut suatu barang yang sungguh besar nilainya, dan biar tidak terjadi kelemahan di belakang hari, al-Qur’an menyarankan biar dicatat, dan ada saksi, lihatlah klarifikasi ini pada Q.S. al-Baqarah/2: 282.

Syarat-syarat yang sudah ditetapkan dalam Islam tentang jual-beli yakni selaku berikut.
1) Penjual dan pembelinya haruslah:        
  • ballig,
  • berakal sehat,
  • atas kehendak sendiri. 

2) Uang dan barangnya haruslah:
  • halal dan suci. Haram memasarkan arak dan bangkai, begitu pula babi dan berhala, tergolong lemak bangkai tersebut;
  • bermanfaat. Membeli barang-barang yang sia-sia sama dengan menyia-nyiakan harta atau pemboros. Allah berfirman: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu yakni saudara-saudara syaitan dan syaitan itu yakni sungguh ingkar terhadap Tuhannya.”(Q.S. al-Isra’/17: 27)
  • Keadaan barang sanggup diserahterimakan. Tidak sah memasarkan barang yang tidak sanggup diserahterimakan. Contohnya, memasarkan ikan dalam bahari atau barang yang sedang dijadikan jaminan alasannya yakni semua itu mengandung tipu daya. 
  • Keadaan barang dimengerti oleh pedagang dan pembeli. 
  • Milik sendiri, sabda Rasulullah saw., “Tak sah jual-beli melainkan atas barang yang dimiliki.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). 
3) Ijab Qobul
Seperti pernyataan penjual, “Saya jual barang ini dengan harga sekian.” Pembeli menjawab, “Baiklah saya beli.” Dengan demikian, mempunyai arti jual-beli itu berjalan suka sama suka. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya jual-beli itu cuma sah kalau suka sama suka.” (HR. Ibnu Hibban)

Khiyar yakni bebas menetapkan antara meneruskan jual-beli atau membatalkannya. Islam memperbolehkan melaksanakan khiyar lantaran jual-beli haruslah menurut suka sama suka, tanpa ada unsur paksaan sedikit pun. 

Penjual berhak menjaga harga barang dagangannya, sebaliknya pembeli berhak menawar atas dasar mutu barang yang diyakininya. 

Rasulullah saw. bersabda, “penjual dan pembeli tetap dalam khiyar selama keduanya belum berpisah. 

Apabila keduanya berlaku benar dan suka pertanda kondisi (barang)nya, maka jual-belinya akan memberkahi keduanya.

Apabila keduanya menyembunyikan kondisi sesungguhnya serta berlaku dusta, maka dihapus keberkahan jual-belinya.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Macam-Macam Khiyar
a) Khiyar Majelis, 
Khiyar majelis yakni selama pedagang dan pembeli masih berada di tempat berlangsungnya transaksi/tawar-menawar. 

Keduanya berhak menetapkan meneruskan atau membatalkan jual-beli. Rasulullah saw. bersabda, “Dua orang yang berjual-beli, boleh menegaskan akan meneruskan atau tidak selama keduanya belum berpisah.” (HR. Bukhari dan Muslim). 

b) Khiyar Syarat, 
Khiyar syarat yakni khiyar yang dijadikan syarat dalam jual-beli. Misalnya pedagang mengatakan, “Saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar tiga hari.” 

Maksudnya pedagang memberi deadline terhadap pembeli untuk menetapkan jadi tidaknya pembelian tersebut dalam waktu tiga hari. Apabila pembeli mengiyakan, status barang tersebut beberapa waktu (dalam masa
khiyar) tidak ada pemiliknya. Artinya, si pedagang tidak berhak menyampaikan terhadap orang lain lagi. 

Namun, kalau kesudahannya pembeli menetapkan tidak jadi, barang tersebut menjadi hak pedagang pembali. Rasulullah saw. bersabda terhadap seorang lelaki, “engkau boleh khiyar pada segala barang yang engkau beli selama tiga hari tiga malam.” (HR. Baihaqi dan Ibnu Majah)

c) Khiyar Aibi (cacat),
Khiyar Aibi yakni pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya kalau terdapat cacat yang sanggup menghemat mutu atau nilai barang tersebut, tetapi hendaknya dijalankan sesegera mungkin.
 
Riba yakni bunga duit atau nilai lebih atas penukaran barang. Hal ini sering terjadi dalam pertukaran materi makanan, perak, emas, dan pinjam-meminjam. 

Riba, apa pun bentuknya, dalam syariat Islam hukumnya haram. Sanksi hukumnya juga sungguh berat. 

Diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan bahwa, “Rasulullah mengutuk orang yang mengambil riba, orang yang mewakilkan, orang yang menatat, dan orang yang menyaksikannya.” (HR. Muslim). 

Dengan demikian, siapa pun yang terlibat dalam riba sekalipun cuma selaku saksi,
terkena dosanya juga. 

Guna menyingkir dari riba, apabila mengadakan jual-beli barang sejenis menyerupai emas dengan emas atau perak dengan perak ditetapkan syarat: 
a) Sama timbangan ukurannya; atau
b) Dilakukan serah terima di saat itu juga,
c) Tunai.

Apabila tidak sama jenisnya, menyerupai emas dan perak boleh berlawanan takarannya, tetapi tetap mesti secara tunai dan diserahterimakan di saat itu juga. 

Kecuali barang yang berlainan jenis dengan perbedaan menyerupai perak dan beras, sanggup berlaku ketentuan jual-beli sebagaimana barang-barang yang lain. 

MACAM-MACAM RIBA
a) Riba Fadli, 
Riba Fadli yakni pertukaran barang sejenis yang tidak sama timbangannya. Misalnya, cincin emas 22 karat seberat 10 gram ditukar dengan emas 22 karat tetapi seberat 11 gram. Kelebihannya itulah yang tergolong riba. 

b) Riba Qordi, 
Riba Qordi yakni pinjam-meminjam dengan syarat mesti memberi keistimewaan di saat mengembalikannya. Misal si A bersedia meminjami si B duit sebesar Rp100.000,00 asal si B bersedia mengembalikannya sebesar Rp115.000,00. Bunga pinjaman itulah yang disebut riba. 

c) Riba Yadi, 
Riba Yadi yakni janji jual-beli barang sejenis dan sama timbangannya, tetapi pedagang dan pembeli berpisah sebelum melaksanakan serah terima. Seperti pemasaran kacang atau ketela yang masih di dalam tanah. 

d) Riba Nasi’ah, 
Riba Nasi'ah yakni janji jual-beli dengan penyerahan barang beberapa waktu kemudian. Misalnya, berbelanja buah-buahan yang masih kecil-kecil di pohonnya, lalu diserahkan setelah besar-besar atau setelah patut dipetik. Atau, berbelanja padi di animo kemarau, tetapi diserahkan setelah panen. 

Utang-piutang yakni menyerahkan harta dan benda terhadap seseorang dengan catatan akan dikembalikan pada waktu kemudian. 

Tentu saja dengan tidak merubah keadaannya. Misalnya utang Rp100.000,00 di lalu hari mesti melunasinya Rp100.000,00. Memberi utang terhadap seseorang mempunyai arti menolongnya dan sungguh diusulkan oleh agama.

Rukun utang-piutang ada tiga, yaitu: 
  1. Yang berpiutang dan yang berutang,
  2. Ada harta atau barang,
  3. Lafadz kesepakatan. Misal: “Saya utangkan ini kepadamu.” Yang berutang  menjawab, “Ya, saya utang dulu, beberapa hari lagi (sebutkan dengan jelas) atau kalau sudah punya akan saya lunasi.”

Untuk menyingkir dari kericuhan di lalu hari, Allah Swt. menyarankan biar kita mencatat dengan baik utang-piutang yang kita lakukan. 

Jika orang yang berutang tidak sanggup melunasi sempurna pada waktunya lantaran kesulitan, Allah Swt. mengusulkan memberinya kelonggaran. 

Artinya: “Dan kalau (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah deadline tenggang hingga dia memperoleh kelapangan. Dan kalau kau menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, kalau kau mengetahui..” (Q.S. al-Baqarah/2: 28)

Apabila orang mengeluarkan duit utangnya dengan menyampaikan keistimewaan atas kemauannya sendiri tanpa perjanjian sebelumnya, keistimewaan tersebut halal bagi yang berpiutang, dan merupakan suatu kebaikan bagi yang berutang. 

Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik kamu, merupakan yang sebaik mungkin di saat mengeluarkan duit utang.” (sepakat piawai hadis). 

Abu Hurairah ra. berkata,
”Rasulullah saw. sudah berutang hewan, lalu ia bayar dengan binatang yang lebih besar dari binatang yang ia utang itu, dan Rasulullah saw. bersabda, ”Orang yang paling baik di antara kau merupakan orang yang sanggup mengeluarkan duit utangnya dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi). 

Apabila orang mengeluarkan duit utangnya dengan menyampaikan keistimewaan atas kemauannya sendiri tanpa perjanjian sebelumnya, keistimewaan tersebut halal bagi yang berpiutang, dan merupakan suatu kebaikan bagi yang berutang. 

Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik kamu, merupakan yang sebaik mungkin di saat mengeluarkan duit utang.” (sepakat piawai hadis). 

Abu Hurairah ra. berkata, ”Rasulullah saw. sudah berutang hewan, lalu ia bayar dengan binatang yang lebih besar dari binatang yang ia utang itu, dan Rasulullah saw. bersabda, ”Orang yang paling baik di antara kau merupakan orang yang sanggup mengeluarkan duit utangnya dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi). 

Bila orang yang berpiutang meminta embel-embel pengembalian dari orang yang melunasi utang dan sudah disepakati bareng sebelumnya, hukumnya tidak boleh. 

Tambahan pelunasan tersebut tidak halal alasannya yakni tergolong riba. Rasulullah saw. berkata “Tiap-tiap piutang yang mengambil faedah maka ia semaam dari beberapa maam riba.” (HR. Baihaqi)

Sewa-menyewa dalam fiqh Islam disebut ijarah, artinya imbalan yang mesti diterima oleh seseorang atas jasa yang diberikannya. Jasa di sini berupa penyediaan tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan.

Dasar aturan ijarah dalam firman Allah Swt.:
Artinya: “...dan kalau kau ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kau menyampaikan pembayaran menurut yang patut..” (Q.S. al-Baqarah/2: 2)


Artinya: “...kemudian kalau mereka menyusukan (anak-anak) mu maka berikanlah imbalannya terhadap mereka...”(Q.S. a-alaq/5: )

b. Syarat dan n Sewa-menyewa
1) Yang menyewakan dan yang menyewa haruslah sudah ballig dan berakal sehat.

2) Sewa-menyewa dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan lantaran dipaksa.

3) Barang tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan, atau walinya. 

4) Ditentukan barangnya serta kondisi dan sifat-sifatnya

5) Manfaat yang akan diambil dari barang tersebut mesti dimengerti secara terperinci oleh kedua belah pihak. Misalnya, ada orang akan menyewa suatu rumah. Si penyewa mesti pertanda secara terperinci terhadap pihak yang menyewakan, apakah rumah tersebut mau ditempati atau dijadikan gudang. Dengan demikian, si pemilik rumah akan memikirkan boleh atau tidak disewa. Sebab risiko kerusakan rumah antara dipakai selaku tempat tinggal berlawanan dengan risiko dipakai selaku gudang.  Demikian pula kalau barang yang disewakan itu mobil, mesti diterangkan dipergunakan untuk apa saja.

6) Berapa usang mempergunakan barang tersebut mesti disebutkan dengan jelas.

7) Harga sewa dan cara pembayarannya juga mesti diputuskan dengan terperinci serta disepakati bersama. 

Dalam hal sewa-menyewa atau kontrak tenaga kerja, haruslah dimengerti secara terperinci dan disepakati bareng sebelumnya hal-hal berikut. 

1) Jenis pekerjaan dan jam kerjanya.
2) Berapa usang masa kerja.
3) Berapa honor dan bagaimana tata cara pembayarannya: harian, bulanan, mingguan ataukah borongan?
4) Tunjangan-tunjangan menyerupai transpor, kesehatan, dan lain-lain, kalau ada

Secara bahasa, kata syirkah (perseroan) mempunyai arti mencampurkan dua cuilan atau lebih sehingga tidak sanggup lagi dibedakan antara cuilan yang satu dengan cuilan yang lainnya. 

Menurut istilah, syirkah yakni suatu janji yang dijalankan oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk melaksanakan suatu kerja keras dengan tujuan memperoleh keuntungan.

a. Rukun dan Syarat Syirkah
Adapun rukun syirkah secara garis besar ada tiga, yakni menyerupai berikut.
1) Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani). Syarat orang yang melaksanakan janji yakni mesti memiliki kecakapan (ahliyah) melaksanakan ta£arruf (pengelolaan harta). 

2) Objek janji yang disebut juga ma’qud alaihi meliputi pekerjaan atau modal. Adapun syarat pekerjaan atau benda yang dikontrol dalam syirkah mesti halal dan diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya sanggup diwakilkan. 

3) Akad atau yang disebut juga dengan perumpamaan £igat. Adapun syarat sah janji mesti berupa ta£arruf, yakni adanya aktivitas pengelolaan.

b. Macam-Macam Syirkah
Syirkah dibagi menjadi beberapa macam, yakni syirkah inan, syirkah abdan, syirkah wujµh, dan syirkah mufawadah.

1) Syirkah ‘Inan
rnān yakni syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi donasi kerja (amal) dan modal (mal). Syirkah ini hukumnya boleh menurut dalil sunah dan ijma’ sahabat.
 
Contoh syirkah inan: A dan B sarjana teknik komputer. A dan B sepakat menjalankan bisnis perakitan komputer dengan membuka sentra serie dan pemasaran komponen komputer. 

Masing-masing menyampaikan donasi modal sebesar Rp10 juta dan keduanya sama-sama melakukan pekerjaan dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah jenis ini, modalnya disyaratkan mesti berupa uang. 

Sementara barang menyerupai rumah atau kendaraan beroda empat yang menjadi kepraktisan dilarang dijadikan modal, kecuali kalau barang tersebut dijumlah nilainya pada di saat akad. 

Keuntungan didasarkan pada persetujuan dan kerugian ditanggung oleh masing-masing syarik (mitra usaha) menurut takaran modal. Jika masing-masing modalnya 50, masing-masing menanggung kerugian sebesar 50.

2)  Syirkah Abdan
Syirkah abdan yakni syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing cuma menyampaikan donasi kerja (amal), tanpa donasi modal (amal). 

Konstribusi kerja itu sanggup berupa kerja asumsi (seperti penulis naskah) ataupun monyet isik (seperti tukang batu). Syirkah ini juga disebut syirkah ‘amal. 

Contohnya: A dan B sama-sama nelayan dan bersepakat melaut bareng untuk mencari ikan. 

Mereka juga sepakat apabila memperoleh ikan akan dijual dan hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A menemukan sebesar 60 dan B sebesar 40. 

Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh  berlawanan profesi. Jadi, boleh saja syirkah abdan terdiri atas beberapa tukang kayu dan tukang batu. 

Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dijalankan merupakan pekerjaan halal dan dilarang berupa pekerjaan haram, umpamanya berburu anjing. 

Keuntungan yang diperoleh dibagi menurut kesepakatan, porsinya boleh sama atau tidak sama di antara syarik (mitra usaha).

3 Syirkah Wujuh
Sirkah wujuh yakni kolaborasi lantaran didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keterampilan (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. 

Syirkah  wujuhh yakni syirkah antara dua pihak yang sama-sama menyampaikan donasi kerja (amal) dengan pihak ketiga yang menyampaikan konstribusi modal (mal).

Contohnya: A dan B yakni tokoh yang diandalkan pedagang. Lalu A dan B bersyirkah wujuh dengan cara berbelanja barang dari seorang pedagang secara kredit. 

A dan B bersepakat bahwa masing-masing memiliki 50 dari barang yang dibeli. Lalu, keduanya memasarkan barang tersebut dan kegunaannya dibagi dua. 

Sementara harga pokoknya dikembalikan terhadap pedagang. Syirkah wujµh ini hakikatnya tergolong dalam syirkah abdan.

4) Syirkah Mufawadah
Sirkah mufawadah yakni syirkah antara dua pihak atau lebih yang memadukan semua jenis syirkah di atas. rah muāaah dalam pemahaman ini boleh dipraktikkan. 

Sebab setiap jenis syirkah yang sah mempunyai arti boleh digabungkan menjadi satu. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya, yakni ditanggung oleh para pemodal sesuai takaran modal kalau berupa syirkah inan, atau ditanggung pemodal saja kalau berupa muāaah, atau ditanggung mitra-mitra kerja keras menurut persentase barang barang jualan yang dimiliki kalau berupa rahuh.

Contohnya: A yakni pemodal, berkontribusi modal terhadap B dan C. Kemudian, B dan C juga sepakat untuk berkontribusi modal untuk berbelanja barang secara kredit atas dasar keyakinan pedagang terhadap B dan C. 

Dalam hal ini, pada mulanya yang terjadi yakni syirkah abdan, yakni di saat B dan C sepakat masing-masing bersyirkah dengan menyampaikan donasi kerja saja.

Namun, di saat A menyampaikan modal terhadap B dan C, mempunyai arti di antara mereka  bertiga terwujud mudarabah. 

Di sini A selaku pemodal, sedangkan B dan C selaku pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing menyampaikan donasi modal, di samping donasi kerja, mempunyai arti terwujud syirkah inan di antara B dan C. 

Ketika B dan C berbelanja barang secara kredit atas dasar keyakinan pedagang terhadap keduanya, mempunyai arti terwujud syirkah wujµh antara B dan C. 

Dengan demikian, bentuk syirkah menyerupai ini sudah memadukan semua jenis syirkah dan disebut syirkah mufawadah.

5) Mudarabah
Mudarabah yakni janji kolaborasi kerja keras antara dua pihak. Pihak pertama menawarkan semua modal (sahibul mal), dan pihak yang lain menjadi pengurus atau pebisnis (mu«arrib). 

Keuntungan kerja keras secara mudarabah dibagi menurut persetujuan yang dituangkan dalam kontrak. 

Akan tetapi, apabila mengalami kerugian, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akhir kelalaian si pengelola. 

Seandainya kerugian itu diakibatkan lantaran kecurangan atau kelalaian si pengelola, pengurus mesti bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Kontrak bagi hasil disepakati di depan sehingga bila terjadi keuntungan, pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. 

Misalkan, kontrak bagi hasilnya yakni 60:40, di mana pengurus menemukan 60 dari keuntungan, pemilik modal memperoleh 40 dari keuntungan.

Mudarabah sendiri dibagi menjadi dua, yakni mudarabah mulaqah dan mudarabah muqayyadah. 

Mudarabah mulaqah merupakan bentuk kolaborasi antara pemilik modal dan pengurus yang cakupannya sungguh luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan kawasan bisnis. 

Mudarabah muqayyadah yakni kebalikan dari mudarabah mulaqah, yakni kerja keras yang akan dijalankan dengan dibatasi oleh jenis usaha, waktu, atau tempat usaha.

6) Musaqah
Mus±qah yakni kolaborasi antara pemilik kebun dan petani. Pemilik kebun menyerahkan terhadap petani biar dipelihara dan hasil panennya nanti akan dibagi dua menurut persentase yang diputuskan pada waktu akad.

Konsep musaqah merupakan kon sep kolaborasi yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak (simbiosis mutualisme). 

Tidak jarang para pemilik lahan tidak punya waktu luang untuk merawat perkebunannya. Sementara di pihak lain ada petani yang memiliki banyak waktu luang tetapi tidak punya lahan yang dapat digarap. 

Dengan adanya tata cara kolaborasi musaqah, setiap pihak akan sama-sama menemukan manfaat.

7) Muzara'ah dan Mukhabarah
Muzara’ah yakni kolaborasi dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap. Dalam kolaborasi ini benih tumbuhan berasal dari petani. 

Sementara mukhabarah merupakan kolaborasi dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap. Dalam kolaborasi ini, benih tanamannya berasal dari pemilik lahan. 

Muzara’ah memang seringkali diidentikkan dengan mukhabarah. Namun demikian, keduanya bekerjsama memiliki sedikit perbedaan. 

Muzara’ah, benihnya berasal dari petani penggarap, sedangkan mukhabarah benihnya berasal dari pemilik lahan. 

Muzara’ah dan mukhabarah merupakan bentuk kolaborasi pembuatan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap yang sudah dimengerti sejak masa Rasulullah saw. 

Dalam hal ini, pemilik lahan menyampaikan lahan pertanian terhadap penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan pembagian persentase tertentu dari hasil panen. 

Di Indonesia, khususnya di tempat pedesaan, kedua versi penggarapan tanah itu sama-sama dipraktikkan oleh penduduk petani. Landasan syariahnya terdapat dalam hadis dan ijma’ ulama.

1. Penertian Perbanan
Bank yakni suatu forum keuangan yang bergerak dalam mengumpulkan dana penduduk dan disalurkan kembali dengan memakai tata cara bunga.

Hakikat dan tujuan bank merupakan untuk menolong penduduk yang memerlukan. 

Bank menolong penduduk dalam bentuk penyimpanan maupun peminjam, baik berupa duit atau barang berguna yang lain dengan imbalan bunga yang mesti dibayarkan oleh penduduk selaku pengguna jasa bank.

Bank dilihat dari sisi penerapan bunganya, sanggup dikelompokkan menjadi dua, yakni menyerupai berikut.
a. Bank Konvensional
Bank konvensional merupakan bank yang fungsi terutama mengumpulkan dana untuk disalurkan terhadap yang memerlukan, baik individual maupun tubuh usaha. Penghimpunan dana dipakai untuk berbagi bisnisnya dengan memakai tata cara bunga.

b. Bank Islam atau Bank Syari’ah
Bank Islam atau bank syari’ah merupakan bank yang menjalankan operasinya menurut syariat Islam. Istilah bunga yang ada pada bank konvensional tidak ada dalam bank Islam. Bank syariah memakai beberapa cara yang higienis dari riba, umpamanya menyerupai berikut:

1) Mudarabah, 
Mudarabah yakni kolaborasi antara pemilik modal dan pelaku kerja keras dengan perjanjian bagi hasil dan sama-sama menanggung kerugian dengan persentase sesuai perjanjian. Dalam tata cara mudarabah, pihak bank sama sekali tidak mengintervensi administrasi perusaha an.

2) Musyarakah, 
Musyarakah yakni kolaborasi antara pihak bank dan pebisnis di mana masing-masing pihak sama-sama memiliki saham. Oleh lantaran itu, kedua belah pihak mengorganisir bisnisnya secara tolong-menolong dan menanggung untung ruginya secara tolong-menolong pula.

3) Wadi’ah
Wardi'ah yakni jasa penitipan uang, barang, deposito, maupun surat berharga. Amanah dari pihak nasabah tersebut dipelihara dengan baik oleh pihak bank. 

Pihak bank juga memiliki hak untuk memakai dana yang dititipkan dan menjamin bisa mengembalikan dana tersebut sewaktu- waktu pemiliknya memerlukan.

4) Qardul hasan
Qardul hasan yakni pembiayaan lunak yang diberikan terhadap nasabah yang bagus dalam kondisi darurat. Nasabah cuma diwajibkan mengembalikan tabungan pokok pada di saat jatuh tempo.

Biasanya layanan ini cuma diberikan untuk nasabah yang memiliki deposito di bank tersebut sehingga menjadi wujud penghargaan bank terhadap nasabahnya.

5) Murabahah
Murabahah yakni suatu perumpamaan dalam fiqh Islam yang menggambarkan suatu jenis pemasaran di mana pedagang sepakat dengan pembeli untuk menawarkan suatu produk, dengan ditambah jumlah laba tertentu di atas ongkos produksi. 

Di sini, pedagang mengungkapkan ongkos sesungguhnya yang dikeluarkan dan berapa laba yang akan diambilnya

Pembayaran sanggup dijalankan di saat penyerahan barang atau ditetapkan pada tanggal tertentu yang disepakati. 

Dalam hal ini, bank membelikan atau menawarkan barang yang diperlukan pebisnis untuk dijual lagi. 

Kemudian, bank meminta embel-embel harga atas harga pembeliannya tersebut. Namun demikian, pihak bank mesti secara jujur mengumumkan harga pembelian yang sebenarnya.

1. Prinsip-Prinsip Asransi Syari’ah
Asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie yang artinya pertanggungan. 

Dalam bahasa Arab dimengerti dengan at-Ta’min yang mempunyai arti pertanggungan, perlindungan, keamanan, ketenangan atau bebas dari perasaan takut. 

Si penanggung (assuradeur) disebut mu’ammin dan tertanggung (geasrurrerde) disebut musta’min. Dalam Islam, asuransi merupakan cuilan dari muamalah. 

Dasar aturan asuransi menurut fiqh Islam yakni boleh (jaiz) dengan suatu ketentuan produk asuransi tersebut mesti sesuai dengan ketentuan aturan Islam. 

Pada umumnya, para ulama beropini asuransi yang menurut syari’ah dibolehkan dan asuransi konvensional haram hukumnya.
Asuransi dalam fatwa Islam merupakan salah satu upaya seorang muslim yang didasarkan nilai tauhid. 

Setiap insan menyadari bahwa sesungguhnya setiap jiwa tidak punya daya apa pun di saat menemukan bencana dari Allah Swt., baik berupa kematian, kecelakaan, bencana maupun takdir buruk yang lain. 

Untuk menghadapi banyak sekali bencana tersebut, ada beberapa cara untuk menghadapinya. Pertama, menanggungnya sendiri. Kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain. Ketiga, mengelolanya bersama-sama. 

Dalam fatwa Islam, bencana bukanlah permasalahan individual, melainkan perkara kalangan meskipun bencana ini cuma menimpa individu tertentu. 

Apalagi kalau bencana itu mengenai penduduk luas menyerupai gempa bumi atau banjir. Berdasarkan fatwa inilah, tujuan asuransi sungguh cocok dengan semangat fatwa tersebut

Allah Swt. menegaskan hal ini dalam beberapa ayat, di antaranya berikut ini:
Artinya: 
“...dan tolong-menolonglah kau dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kau terhadap Allah Swt.,...” (Q.S. al-Maidah/5: 2)

Banyak pula hadis Rasulullah saw. yang mendelegasikan umat Islam untuk saling melindungi saudaranya dalam menghadapi kesusahan. 

Berdasarkan ayat  al-Qur’an dan riwayat hadis, sanggup dipahami bahwa bencana ataupun risiko
kerugian akhir bencana wajib ditanggung bersama. 

Setiap individu bukan menanggungnya sendiri-sendiri dan tidak pula dialihkan ke pihak lain. 

Prinsip menanggung bencana secara tolong-menolong inilah yang sesungguhnya esensi dari asuransi syari’ah.

2. Perbedaan Asransi Syari’ah dan Asransi Konensional
Prinsip asuransi syari’ah tersebut berlawanan dengan yang berlaku di tata cara asuransi konvensional, yang memakai prinsip transfer risiko. 

Seseorang mengeluarkan duit sejumlah premi untuk mengalihkan risiko yang tidak dapat dia pikul terhadap perusahaan asuransi. 

Dengan kata lain, sudah terjadi jual-beli’ atas risiko kerugian yang belum niscaya terjadi. 

Di sinilah cacat perjanjian asuransi konvensional. Sebab janji dalam Islam mensyaratkan adanya sesuatu yang bersifat pasti, apakah itu berupa barang ataupun jasa.

Perbedaan yang lain, pada asuransi konvensional dimengerti dana hangus, di mana akseptor tidak sanggup melanjutkan pembayaran premi di saat ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo. 

Dalam rancangan asuransi syari’ah, mekanismenya tidak memedulikan dana hangus. 

Peserta yang gres masuk sekalipun, lantaran satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan sanggup diambil kembali. 

Apabila sebagian kecil dana atau preminya sudah diniatkan untuk dana tabarru’ (sumbangan), maka tidak sanggup diambil lagi.

Setidaknya, ada faedah yang dapat diambil kaum muslimin dengan terlibat dalam asuransi syari’ah. 

Manfaat yang di ambil di antaranya dapat menjadi alternatif bantuan yang tepat dengan aturan Islam. 

Produk ini juga dapat menjadi opsi bagi pemeluk agama lain yang menatap rancangan syariah lebih adil. 

Syariah merupakan suatu prinsip yang bersifat universal sehingga semua pemeluk agama sanggup menggunakannya.

Untuk pengaturan asuransi di Indonesia sanggup dipedomani Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 21/DSN-MUI//2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah.

Mustahdi dan Mustakim. 2017. Pendidikan Agama Islam. Pusat Kurikulum Kemendikbud

Related : Materi Pai Xi Pecahan 9 Prinsip Dan Praktik Ekonomi Islam

0 Komentar untuk "Materi Pai Xi Pecahan 9 Prinsip Dan Praktik Ekonomi Islam"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)