Materi Pai Xii Potongan 9 Rahmat Islam Bagi Nusantara

Para pakar sejarah berlainan usulan tentang sejarah masuknya Islam ke Nusantara.

Setidaknya terdapat tiga teori besar yang dikembangkan oleh Ahmad Mansur Suryanegara, yang terkait dengan asal kedatangan, para pembawanya, dan waktu kedatangannya.

Pertama, teori Gujarat. Islam dipercayai tiba dari wilayah Gujarat – India lewat tugas para pedagang India muslim pada sekitar era ke-13 M.

Kedua, teori Mekah. Islam diandalkan tiba di Indonesia eksklusif dari Timur Tengah lewat jasa para pedagang Arab muslim sekitar era ke-7 M.

Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia lewat tugas para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke Nusantara sekitar era ke-13 M

Baik teori Gujarat maupun teori Persia, keduanya sama-sama menetapkan bahwa Islam masuk di Nusantara pada era ke 13 M.

Namun teori Mekah menetapkan kedatangan Islam ke Nusantara jauh sebelum itu, yakni pada era ke 7 M, dikala Rasulullah masih hidup.

Secara ilmiah, teori Mekah yang menyatakan Islam masuk ke Nusantara lebih awal, lebih penting untuk dibuktikan.

Jika bukti-bukti teori Makah sudah diangggap mencukupi dan ilmiah, maka teori lain yang menyatakan kedatangan sekitar era 13 M., tidak perlu lagi dibuktikan.

Oleh lantaran itu, uraian berikut terkait dengan beberapa bukti yang mendukung teori Mekah yakni berikut seumpama ini.

1. Menurut sejumlah pakar sejarah dan arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad saw. mendapatkan wahyu, sudah terjadi kontak jualan antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur jual beli selatan ini sudah ramai dikala itu.

2. Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, sudah melakukan banyak observasi arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara, dan mendapatkan bukti-bukti yang menampilkan bahwa sebelum era kelima masehi  (yang memiliki arti Nabi Muhammad saw. belum lahir), beberapa jalur jual beli utama sudah meningkat menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina.

Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur mengambarkan hal ini.

3. Adanya jalur jual beli utama dari Nusantara-terutama Sumatera dan Jawa-dengan Cina juga diakui oleh sejarawan G.R. Tibbetts.  Ia mendapatkan bukti-bukti adanya kontak jualan antara negeri Arab dengan Nusantara dikala itu.

“Keadaan ini terjadi lantaran kepulauan Nusantara sudah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak era kelima Masehi, “ tulis Tibbets. Kaprikornus peta jual beli dikala itu utamanya di selatan yakni arab Nusantara-China.

4. Ditemukannya perkampungan Arab muslim di Barus pada era ke-1 H./7 M. Berdasarkan suatu dokumen antik asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa sekitar tahun 625 M (sembilan tahun sesudah Rasulullah berdakwah terang-terangan), di pesisir pantai Sumatera sudah didapatkan sebuah
perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Buddha Sriwijaya.

Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab berdomisili dan sudah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal.

Selaras dengan zamannya, dikala itu umat Islam belum memiliki mushaf alQur'an, lantaran mushaf gres selesai dibukukan pada zaman Khalifah Usman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M.

Sebab itu, cara berdoa dan beribadah yang lain pada dikala itu diyakini menurut kenangan para
pedagang Arab Islam yang juga tergolong para hufaz atau penghapal al-Qur'an.

Dari banyak sekali literatur diyakini bahwa kampung Islam di kawasan pesisir Barat Pulau Sumatera itu berjulukan “Barus” atau yang juga disebut Fansur.

Kampung kecil ini ialah suatu kampung antik yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan.

Amat mungkin Barus ialah kota tertua di Indonesia, mengingat dari seluruh kota di Nusantara cuma Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak permulaan Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.

Sebuah peta antik yang dibentuk oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada era ke-2 Masehi, juga sudah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat suatu bandar niaga berjulukan Barousai (Barus) yang dikenal
menciptakan parfum dari kapur barus.

Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang dimasak dari kayu kamfer dari kota itu sudah dibawa
ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayit pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!

5. Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dimengerti selaku kawasan permulaan masuknya agama Islam di Nusantara sekitar era ke7 M.

6. Sebuah makam antik di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di watu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 M.

7. HAMKA menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M sudah mendapatkan satu kelompok bangsa Arab yang menciptakan kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera.

Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut sudah merubah persepsi orang wacana sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air.

HAMKA juga menyertakan bahwa temuan ini sudah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.

8. Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya The Preaching of Islam (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam sudah dibawa oleh mubalighmubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak permulaan era ke-7 M.

9. Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang melakukan pekerjaan sama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, sudah mendapatkan bahwa pada sekitar era 9-12 Masehi, Barus sudah menjadi suatu perkampungan multi-etnis dari banyak sekali suku bangsa seumpama Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.

10. Pada tahun 674 M semasa pemerintahan Khilafah Utsman bin Affan, mengantarkan utusannya (Muawiyah bin Abu Sufyan) ke tanah Jawa yakni ke Jepara (pada dikala itu namanya Kalingga). Hasil kunjungan duta Islam ini yakni raja Jay Sima, putra Ratu Sima dari Kalingga, masuk Islam.

11. Dalam Seminar Nasional wacana masuknya Islam ke  Indonesia di Medan tahun 1963, para jago sejarah menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada era ke-1 H. (abad ke-7 M) dan eksklusif dari tanah Arab.

Daerah yang disinggahi yakni pesisir Sumatra. Islam disebarkan oleh para saudagar muslim dengan cara damai.

12. Ditemukannya makam Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik, era ke-11 M. yang memiliki arti jauh sebelum itu sudah terjadi penyebaran agama Islam, utamanya di kawasan pesisir Sumatera, karena  yang memajukan Islam di Jawa yakni para mubalih dari Arab dan dari Pasai.

Dari pembahasan wacana masuknya Islam ke Nusantara, sanggup dipahami bahwa masuknya agama Islam ke Indonesia terjadi secara periodik, tidak sekaligus.

Pada belahan ini akan diuraikan tentang seni administrasi penyebaran Islam dan media yang dipergunakan oleh para pedagang dan mubaligh dalam penyebaran Islam di Indonesia.

Salah satu arti “strategi” yang diangkut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni “rencana yang cermat tentang kegiatan untuk meraih sasaran khusus”.

Dalam konteks dakwah Islam, seni administrasi dakwah yang dimaksud yakni kegiatan-kegiatan yang ditangani oleh para mubaligh, yang menenteng misi Islam di dalamnya. 

Dari kajian di atas dan banyak sekali literatur, setidaknya terdapat beberapa kegiatan yang dipergunakan selaku kendaraan (sarana) dalam penyebaran Islam di Indonesia, di antaranya adalah: perdagangan, perkawinan, pendidikan, kesenian, dan tasawuf.

Berikut uraian singkat tentang hal tersebut.

1. Perdagangan
Pada tahap awal, jalan masuk yang dipergunakan dalam proses Islamisasi di Indonesia yakni perdagangan.

Hal itu sanggup dikenali lewat adanya aktivitas kemudian lintas jual beli pada era ke-7 M hingga era ke-16 M.

Aktivitas jual beli ini banyak melibatkan bangsa-bangsa di dunia, tergolong bangsa Arab, Persia, India, Cina dan sebagainya.

Mereka turut ambil belahan dalam jual beli di negeri-negeri belahan Barat, Tenggara, dan Timur Benua Asia.

Saluran Islamisasi lewat jalur jual beli ini sungguh menguntungkan, lantaran para raja dan darah biru turut serta dalam acara jual beli tersebut. Bahkan mereka menjadi pemilik kapal dan saham jual beli itu.

Fakta sejarah ini sanggup dikenali menurut data dan pemberitahuan penting yang dicatat Tome’ Pires bahwa para pedagang muslim banyak yang berdomisili di pesisir pulau Jawa yang di saat itu orangnya masih kafir.

Mereka sukses mendirikan masjid-masjid dan menghadirkan mullahmullah dari luar,
sehingga jumlah mereka makin bertambah banyak.

Dalam perkembangan selanjutnya, anak keturunan mereka menjadi penduduk muslim yang kaya raya.

Pada beberapa tempat, para penguasa Jawa, yang menjabat selaku bupati-bupati Majapahit yang diposisikan di pesisir pulau Jawa banyak yang masuk Islam.

Keislaman mereka bukan cuma disebabkan oleh faktor politik dalam negeri yang tengah goyah, namun utamanya lantaran faktor hubungan ekonomi dengan para pedagang ini sungguh menguntungkan
secara material bagi mereka, yang pada jadinya memperkuat posisi dan kedudukan sosial mereka di penduduk Jawa.

Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, mereka menggantikan jual beli dan kekuasaan di tempat tinggal mereka.

Hubungan jual beli ini dimanfaatkan oleh para pedagang muslim selaku fasilitas atau media dakwah.

Sebab, dalam Islam setiap muslim memiliki keharusan untuk memajukan aliran Islam terhadap siapa pun dengan tanpa paksaan.

Oleh lantaran itu, di saat penduduk Nusantara banyak yang berinteraksi dengan para pedagang muslim, dan keterlibatan mereka makin jauh dalam acara perdagangan, banyak di antara
mereka yang memeluk Islam.

Karena pada dikala itu, jalur-jalur strategis jual beli internasional nyaris sebagian besar dikuasai oleh para pedagang muslim.

Apabila para penguasa setempat di Indonesia ingin terlibat jauh dengan jual beli internasional, maka mereka mesti berperan aktif dalam jual beli internasional dan mesti sering berinteraksi
dengan para pedagang muslim.

2. Perkawinan
Dari faktor ekonomi, para pedagang muslim memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik ketimbang pada biasanya penduduk pribumi.

Hal ini memicu banyak penduduk pribumi, utamanya para wanita, yang terpesona untuk menjadi isteri-isteri para saudagar muslim.

Hanya saja ada ketentuan aturan Islam, bahwa para perempuan yang mau dinikahi mesti diislamkan apalagi dahulu.

Para perempuan dan keluarga mereka tidak merasa keberatan, lantaran proses pengIslaman cuma dengan mengucapkan dua kalimah syahadat, tanpa upacara atau ritual rumit lainnya.

Setelah itu, mereka menjadi komunitas muslim di lingkungannya sendiri. KeIslaman mereka menempatkan diri dan keluarganya berada dalam status sosial dan ekonomi cukup tinggi.

Sebab, mereka menjadi muslim Indonesia yang kaya dan berstatus sosial terhormat. Kemudian sesudah mereka memiliki keturunan, lingkungan mereka makin luas.

Akhirnya timbul kampung-kampung dan pusat-pusat kekuasaan Islam. Dalam perkembangan berikutnya, ada pula para perempuan muslim yang dikawini oleh keturunan darah biru lokal.

Hanya saja, belum dewasa para darah biru tersebut mesti diIslamkan apalagi dahulu.

Dengan demikian, mereka menjadi keluarga muslim dengan status sosial ekonomi dan posisi
politik penting di masyarakat.

Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan lagi apabila terjadi antara saudagar muslim dengan anak darah biru atau anak raja atau anak adipati.

Karena raja, adipati, atau darah biru itu memiliki posisi penting di dalam masyarakatnya, sehingga mempercepat proses Islamisasi.

Beberapa pola yang sanggup dikemukakan di sini adalah, perkawinan antara Raden Rahmat atau Sunan Ngampel dengan Nyai Manila, antara Sunan Gunung Jati dengan Puteri Kawunganten, Brawijaya dengan Puteri Campa, orangtua Raden Patah, raja kerajaan Islam Demak dan lain-lain. 

3. Pendidikan
Proses Islamisasi di Indonesia juga ditangani lewat media pendidikan. Para ulama banyak yang mendirikan forum pendidikan Islam, berupa pesantren.

Pada forum inilah, para ulama menampilkan pengajaran ilmu keIslaman lewat banyak sekali pendekatan hingga kemudian para santri bisa menyerap wawasan keagamaan dengan baik. Setelah mereka dianggap mampu, mereka kembali ke kampung halaman untuk memajukan agama Islam dan membuka forum yang sama.

Dengan demikian, makin hari forum pendidikan pesantren mengalami perkembangan, baik dari
sisi jumlah maupun mutunya.

Lembaga pendidikan Islam ini tidak membedakan status sosial dan kelas, siapa pun yang berminat mempelajari atau memperdalam wawasan Islam, diperbolehkan memasuki forum pendidikan ini.

Dengan demikian, pesantren-pesantren dan para ulamanya sudah memainkan tugas yang cukup penting di dalam proses pencerdasan kehidupan masyarakat, sehingga banyak penduduk yang kemudian terpesona memeluk Islam.

Di antara forum pendidikan pesantren yang berkembang pada masa permulaan Islam di Jawa, yakni pesantren yang diresmikan oleh Raden Rahmat di Ampel Denta. Kemudian pesantren Giri yang diresmikan oleh Sunan Giri, popularitasnya melebihi batas pulau Jawa hingga ke Maluku.

Masyarakat yang mendiami pulau Maluku, utamanya Hitu, banyak yang berdatangan ke pesantren Sunan Giri untuk mencar ilmu ilmu agama Islam.

Bahkan Sunan Giri dan para ulama yang lain pernah dipanggil ke Maluku untuk memberikan
pelajaran agama Islam. Banyak di antara mereka yang menjadi khatib, muadzin, hakim (qadli) dalam penduduk Maluku dengan memperolehimbalan cengkeh.

Dengan cara-cara seumpama itu, maka agama Islam terus tersebar ke seluruh penjuru Nusantara, hingga jadinya banyak penduduk Indonesia yang menjadi muslim.

Oleh lantaran itu, sanggup dibilang bahwa model pendidikan pesantren yang tidak memedulikan kelas menjadi media penting di dalam proses penyebaran Islam di Indonesia, bahkan kemudian diadopsi
untuk pengembangan pendidikan keagamaan pada lembaga-lembaga pendidikan sejenis di Indonesia.

4. Tasawuf
Jalur lain yang juga tidak kalah pentingnya dalam proses Islamisasi di Indonesia yakni tasawuf. Salah satu sifat khas dari aliran ini yakni kepraktisan terhadap budaya lokal, sehingga memicu banyak penduduk Indonesia yang terpesona mendapatkan aliran tersebut.

Pada umumnya, para pengajar tasawuf atau para sufi yakni guru-guru pengembara, dengan sukarela mereka menghayati kemiskinan, juga terkadang bermitra dengan perdagangan, mereka mengajarkan teosofi yang sudah bercampur dengan aliran yang sudah dimengerti luas penduduk Indonesia.

Mereka piawai dalam hal magis, dan memiliki kekuatan menyembuhkan. Di antara mereka ada juga yang menikahi gadis-gadis para darah biru setempat.

Dengan tasawuf, bentuk Islam yang diajarkan terhadap para penduduk pribumi memiliki persamaan dengan alam anggapan mereka yang sebelumnya memeluk agama Hindu, sehingga aliran Islam dengan mudah diterima mereka.

Di antara para sufi yang menampilkan aliran yang mengandung persamaan dengan alam anggapan Indonesia pra-Islam yakni Hamzah Fansuri di Aceh, Syeikh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran gaib seumpama ini terus dianut bahkan hingga kini.

5. Kesenian
Saluran Islamisasi lewat kesenian yang paling tenar yakni lewat pertunjukkan wayang.

Seperti dikenali bahwa Sunan Kalijaga yakni tokoh yang paling piawai dalam mementaskan
wayang.

Dia tidak pernah meminta upah materi dalam setiap pertunjukan yang dilakukannya. Sunan Kalijaga cuma meminta terhadap para penonton untuk mengikutinya mengucapkan dua kalimat syahadat.

Sebagian besar dongeng wayang masih diambil dari dongeng Ramayana dan Mahabarata, namun muatannya berisi aliran Islam dan nama-nama pendekar muslim

Selain wayang, media yang dipergunakan dalam penyebaran Islam di Indonesia yakni seni bangunan, seni pahat atau seni ukir, seni tari, seni musik dan seni sastra.

Di antara bukti yang dihasilkan dari pengembangan Islam permulaan yakni seni bangunan Masjid Agung
Demak, Sendang Duwur, Agung Kasepuhan, Cirebon, Masjid Agung  Banten, dan lain sebagainya.

Seni bangunan Masjid yang ada, ialah bentuk akulturasi dari kebudayaan setempat Indonesia yang sudah ada sebelum Islam, seumpama bangunan candi.

Salah satu dari sekian banyak pola yang sanggup kita saksikan hingga kini yakni Masjid Kudus dengan menaranya yang sungguh tenar itu.

Hal ini menampilkan sekali lagi bahwa proses penyebaran Islam di Indonesia yang dilakukan
oleh para penyebar Islam lewat caracara tenang dengan mengakomodasi kebudayaan setempat.

Caraini sungguh efektif untuk menawan perhatian penduduk pribumi dalam mengerti gerakan
Islamisasi yang ditangani oleh para mubaligh, sehingga lambat laun mereka memeluk Islam.

6. Politik
Di Maluku dan Sulawesi Selatan, pada biasanya rakyat masuk Islam sesudah rajanya masuk Islam apalagi dahulu.

Pengaruh politik raja sungguh menolong tersebarnya Islam di wilayah ini.

Jalur politik juga ditempuh di saat kerajaan Islam menaklukkan kerajaan non Islam, baik di Sumatera, Jawa, maupun Indonesia belahan Timur.

Pada sub-bab masuknya agama Islam ke Nusantara sudah kita ketahui adanya beberapa teori.

Berdasarkan bukti-bukti yang ada, teori Mekah cukup meyakinkan untuk dipilih, yakni bahwa agama Islam sudah masuk ke wilayah Nusantara dari era ke-1 H. ( ke-7 M).

Namun dikala itu perkembangannya masih belum pesat dan meluas.

Pada abad-abad selanjutnya gres terjadi perkembangan lebih pesat, utamanya sesudah era ke-7 H. (ke-13 M). Lebih jelasnya pada uraian berikut

1. Perkembangan Islam di Sumatera
Tempat mula-mula masuknya Islam di pulau Sumatera yakni Pantai Barat Sumatera. Dari sana meningkat ke daerah-daerah lainnya.

Pada umumnya, buku-buku sejarah menyebutkan perkembangan agama Islam bermula dari Pasai, Aceh Utara.

Orang yang memajukan Islam di kawasan ini yakni Abdullah Arif. Ia seorang mubaligh dari Arab, dengan misi penyebarannya dengan berdakwah dan berdagang.

Dengan kesopanan dan keramahan orang Arab yang berdakwah itu, maka penduduk
Pasai sungguh terkesan.

Akhirnya mereka menyatakan diri masuk Islam. Bahkan raja dan pemimpin negeri, sesudah menyaksikan kesopanan orang Arab yang berdakwah itupun, masuk Islam pula.

Masyarakat Pasai sungguh ulet mencar ilmu agama Islam. Malah ada dari golongan anak raja sengaja diutus berguru agama Islam ke Mekkah.

Kerajaan Islam Pasai berdiri sekitar tahun 1297, yang kemudian dimengerti dengan sebutan “Serambi Mekkah”.

Setelah agama Islam meningkat di Pasai, dengan segera tersebar pula ke daerah-daerah lain yakni ke Pariaman, Sumatera Barat. Islam tiba ke Pariaman dari Pasai lewat maritim Pantai Barat Pulau Sumatera.

Ulama yang tenar menenteng Islam ke Pariaman itu yakni Syekh Burhanuddin. Penyiaran agama Islam ditangani secara secara perlahan-lahan dan bertahap, alasannya yakni akhlak di Sumatera Barat sungguh kuat.

Dengan berakal dan bijaksana para mubaligh sanggup menampilkan pemahaman pada masyarakat, dan jadinya penduduk Sumatera Barat sanggup mendapatkan agama Islam dengan baik.

Sebagai bukti bahwa Islam diterima oleh penduduk Sumatera Barat dengan kerelaan dan kesadaran yakni dengan istilah  yang mengatakan:

Adat bersendi syura’, syara’ bersendi Kitabullah. Jadi, akhlak istiadat yang dipegang teguh oleh penduduk Sumatera Barat itu yakni akhlak yang bersendikan Islam, artinya Islam menjadi dasar adat.

Sekitar tahun 1440 agama Islam masuk ke Sumatera Selatan. Mubaligh yang paling berjasa menenteng Islam ke Sumatera Selatan yakni Raden Rahmat (Sunan Ampel).

Arya Damar yang kemudian tenar dengan nama Aryadillah (Abdillah) yakni bupati Majapahit di Palembang waktu itu.

Kemudian Raden Rahmat (Sunan Ampel) memberi rekomendasi terhadap Abdillah biar bersedia memajukan agama Islam di Sumatera Selatan.

Atas rahmat dan isyarat Allah Swt., rekomendasi Raden Rahmat tersebut dilaksanakan oleh Aryadillah, sehingga agama Islam di Sumatera Selatan meningkat dengan baik

2. Perkembangan Islam di Kalimantan,Maluku, dan Papua
Di pulau Kalimantan, agama Islam mula-mula masuk di Kalimantan Selatan, dengan ibukotanya Banjarmasin.

Pembawa agama Islam ke Kalimantan Selatan ini yakni para pedagang bangsa Arab dan para mubaligh dari Pulau Jawa.

Perkembangan agama Islam di Kalimantan Selatan itu sungguh pesat dan meraih puncaknya sesudah Majapahit runtuh tahun 1478.

Daerah yang lain di Kalimantan yang dimasuki agama Islam yakni Kalimantan Barat. Islam masuk ke Kalimantan Barat mula-mula di kawasan Muara Sambas dan Sukadana.

Dari dua kawasan inilah gres tersebar ke seluruh Kalimantan Barat. Pembawa agama Islam ke kawasan Kalimantan Barat yakni para pedagang dari Johor (Malaysia), serta ulama dan mubaligh dari Palembang (Sumatera Selatan).

Sultan Islam yang pertama (tahun 1591) di Kalimantan Barat berkedudukan di Sukadana, yaitu
Panembahan Giri Kusuma.

Penyebaran Islam di Kalimantan Timur utamanya di Kutai, ditangani oleh Dato’ Ri Bandang dan Tuang Tunggang lewat jalur perdagangan.

Kemudian sejak era ke-15, antara tahun 1400 hingga 1500 Islam sudah masuk dan meningkat di Maluku.

Pedagang yang beragama Islam dan para ulama/mubalih banyak yang tiba ke Maluku sambil memberitakan agama Islam.

Daerah-daerah yang mula-mula dimasuki Islam di Maluku yakni Ternate, Tidore, Bacau, dan Jailolo.

Raja-raja yang memerintah di kawasan tersebut berasal dari satu keturunan, yang seluruhnya menyokong perkembangan Islam di Maluku.

Perkembangan agama Islam di papua berlangsung agak lambat. Islam masuk ke Irian utamanya lantaran pengaruh raja-raja Maluku, para pedagang yang beragama Islam dan ulama atau mubaligh dari Maluku.

Daerah-daerah yang mula-mula dimasuki Islam di papua yakni Misol, Salawati, Pulau Waigeo,dan Pulau Gebi.

3. Perkembangan Islam di Sulawesi
Pada era ke-16 Islam sudah masuk ke Sulawesi, yang dibawa oleh Dato’ Ri Bandang dari Sumatera Barat.

Daerah-daerah yang mula-mula dimasuki Islam di Sulawesi yakni Goa, suatu kerajaan di Sulawesi Selatan.

Sebelum Islam tiba ke kawasan ini orangnya menganut keyakinan nenek moyang. Setelah Dato’ Ri Bandang berkunjung ke Sulawesi Selatan, Raja Goa yang berjulukan Karaeng Tonigallo masuk Islam.

Kemudian atas permohonan Dato’ Ri Bandang, Raja Goa berganti nama dengan Sultan Alauddin.

Jauh sebelum Raja Goa ini masuk Islam, para pedagang sudah memberitakan agama Islam di tengah-tengah penduduk Sulawesi Selatan dan banyak penduduk yang sudah menganut agama Islam.

Setelah Sultan Alauddin wafat, ia diganti oleh putranya yang berjulukan Sultan Hasanuddin. Dari Goa Islam terus bertambah ke daerah-daerah yang lain seumpama kawasan Talo dan Bone.

4. Perkembangan Islam di Nusa Tenggara
Sebagaimana daerah-daerah lain, pada tahun 1540 agama Islam masuk pula ke Nusa Tenggara. Masuknya agama Islam Ke Nusa Tenggara dibawa oleh para mubaligh dari Bugis (Sulawesi Selatan) dan dari Jawa.

Agama Islam meningkat di Nusa Tenggara mula-mula di kawasan Lombok yang orangnya disebut Suku Sasak.

Dari kawasan Lombok, secara secara perlahan-lahan selanjutnya tersebar pula ke daerah-daerah Sumbawa dan Flores.

5. Perkembangan Islam di Pulau Jawa
Agama Islam masuk ke Pulau Jawa kira-kira pada era ke-11 M., yang dibawa oleh para pedagang Arab dan para mubaligh dari Pasai.

Tempat yang mula-mula dimasuki Islam di pulau Jawa yakni daerah-daerah pesisir utara Jawa  Timur.

Tokoh tenar yang berdakwah di Jawa Timur yakni Maulana Malik Ibrahim. Beliau menetap di Gresik, kemudian mendirikan sentra penyiaran agama Islam dan sentra pengajaran.

Dalam majlisnya itu ia mengkader beberapa orang murid. selanjutnya mereka memberitakan agama Islam ke daerah-daerah lain di pulau Jawa.

Di Jawa Tengah, penyiaran Agama Islam berpusat di Demak. Penyiaran agama Islam di Pulau Jawa ditangani oleh para wali yang berjumlah 9 yang dimengerti dengan Wali Songo (Wali Sembilan).

Kemudian murid-murid Wali Songo turut pula memberitakan agama Islam ke kawasan pedalaman pulau
Jawa, sehingga agama Islam meningkat dengan pesatnya

Jika kita berpegang terhadap Teori Mekah yang menyatakan Islam masuk ke Nusantara sejak era ke-7 M, maka kerajaan Islam pertama bukan lagi Samudra Pasai, namun Kerajaan Jeumpa yang berdiri sejak era ke-8 M., yang disusul oleh kerajaan Peurelak di era ke-9, gres kemudian kerajaan Samudera Pasai.

Hanya saja, kerajaan Jeumpa dan Peurelak barangkali tidak terlampau popular dan bukan kerajaan besar.

Di samping itu, bukti-bukti yang ilmiah yang menguatkannya belum dipandang cukup. Berikut  yakni uraian singkat beberapa keajaan Islam yang tenar di Nusantara.

1. Samudera Pasai
Samudera Pasai yakni keajaan Islam yang dipandang selaku kerajaan Islam pertama di Indonesia.

Akan namun jikalau dikaitkan dengan dua kerajaan sebelumnya (Jeumpa dan Peurelak),  maka kerajaan Samudera Pasai yakni kelanjutan dari kerajaan Islam Peurelak (Perlak).

Kerajaan ini diresmikan oleh Sultan Malik al-Saleh pada tahun 1285 (abad 13 M) sekaligus selaku raja pertama.

Setelah meninggal, ia digantikan putranya Sultan Muhammad atau yang dimengerti dengan nama Malik Al Tahir I.

Ia memerintah hingga tahun 1326 M, kemudian digantikan oleh Sultan Ahmad Malik Al Tahir II.
Gambar: 9.16. Salah satu bukti (Makam Sultan Malik Al-Saleh).

2. Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh diresmikan oleh Sultan Ibrahim yang bergelar Sultan Ali Mughayat Syah atau disebut juga Sultan Ibrahim.

Kerajaan Aceh meraih masa keemasan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Selanjutnya Sultan Iskandar Muda digantikan oleh menantunya yakni Iskandar Tani.

3. Demak
Kesultanan Demak diresmikan oleh seorang adipati yang berjulukan Raden Patah. Untuk menghadapi Portugis Armada Demak yang dipimpin Pati Unus (Putra Raden Patah) melancarkan serangan terhadap Portugis di Malaka.

Oleh lantaran itu, Pati Unus diberi Gelar Pangeran Sabrang Lor yang artinya pangeran yang pernah menyeberangi lautan di sebelah Utara kesultanan Demak.

Setelah Raden Patah meninggal, ia digantikan oleh Pati Unus, selanjutnya Pati Unus diganti oleh Trenggana. Setelah Sultan Trenggana meninggal, terjadi perkelahian antara Pangeran Sekar Seda ing Lepen (adik Trenggana) dengan Pangeran Prawoto (anak Trenggana).

Pangeran Prawoto sukses membunuh pangeran Sekar Seda Ing Lepen. Tetapi kemudian Pangeran
Prawoto dibunuh oleh Arya Penangsang (anak Pangeran Sekar Seda ing Lepen).

Arya Penangsang kemudian tampil menjadi Sultan Demak ke-4. Pemerintahan Arya Penangsang dipenuhi dengan kekacauan lantaran banyak orang yang tidak senang dengannya.

Hingga pada jadinya seorang adipati Pajang berjulukan Adiwijaya atau Jaka Tingkir atau Mas Karebet sukses membunuhnya. Setelah kematian Arya Penangsang, kerajaan Demak berpindah ke tangan Jaka Tingkir

4. Pajang
Pendiri Kesultanan Pajang yakni Adiwijaya. Setelah Sultan Adiwijaya meninggal, semestinya Pangeran Benawa yang menduduki tahta Pajang, akan namun ia dihindari oleh Arya Pangiri (putra Pangeran Prawata).

Tindakan Arya Pangiri memicu upaya-upaya perlawanan, hal ini kemudian dimanfaatkan oleh Pangeran Benawa untuk merebut kembali tahta Pajang.

Karena itu, ia menjalin kolaborasi dengan Mataram yang dipimpin oleh Sutawijaya. Setelah Arya Pangiri sanggup dikalahkan, Pangeran Benawa justru menyerahkan kekuasaan pada Sutawijaya.

Selanjutnya Sutawijaya memindahkan Pajang ke Mataram sehingga berakhirlah kekuasaan Pajang.

5. Mataram Islam
Mataram ialah kado dari Adiwijaya terhadap Ki Ageng Pamanahan lantaran ia sudah berjasa
menolong Adiwijaya menaklukkan Arya Penangsang.

Ketika Ki Ageng Pamanahan meninggal, Mataram dipegang oleh putranya, Sutawijaya. Sutawijaya diangkat menjadi Adipati Mataram dan diberi gelar Senopati ing Alogo Sayidin Panatagama yang
memiliki arti panglima perang dan pembela agama.

Sepeninggal Senopati, Tampuk kekuasaan dipegang oleh putranya (Mas Jolang), namun Mas Jolang
meninggal sebelum sukses memadamkan banyak pemberontakan.

Penggantinya yakni Raden Rangsang atau lebih dimengerti dengan Sultan Agung. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Mataram meraih masa kejayaan.

Akan namun Mataram mulai mengalami kemunduran di saat masa pemerintahan pengganti-pengganti Sultan Agung

Kemunduran Mataram yang lebih utama lantaran aneksasi yang ditangani Belanda. Setelah terjadinya perjanjian Gianti, kerajaan Mataram dipecah menjadi dua bagian, Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta.

Lebih dari itu, dengan adanya Perjanjian Salatiga, Kerajaan Surakarta terpecah lagi menjadi dua yakni Mangkunegaran dan Pakualaman/Kasunanan.

6. Cirebon
Kasultanan Cirebon diresmikan oleh Syarief Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dengan bantuan
Fatahillah, kesultanan Cirebon sanggup meluaskan kekuasaannya termasuk Jayakarta dan Pajajaran.

Kemenangan-kemenangan Fatahillah menciptakan Sunan Gunung Jati terpesona dan menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu.

Ketika Sunan Gunung Jati menua, Kesultanan Cirebon diserahkan terhadap putranya Pangeran Muhammad Arifin dengan gelar Pangeran Pasarean.

Sepeninggal Pangeran Pasarean, kedudukan Sultan diserahkan terhadap Pangeran Sebakingking atau yang bergelar Sultan Maulana Hasanuddin.

Pada era ke-17 terjadi perkelahian dalam keluarga, sehingga kesultanan Cirebon pecah menjadi dua yakni Kasepuhan dan Kanoman.

7. Banten
Daerah Banten di-Islamkan oleh Sunan Gunung Jati. Pemerintahan dipegang oleh Sultan Maulana Hasanuddin.

Setelah Sultan Hasanuddin meninggal, ia digantikan oleh putranya Maulana Yusuf. Kesultanan Banten meraih masa keemasan pada masa Sultan Ageng Tirtayasa.

Akhir pemerintahan Sultan Ageng ditandai dengan persengketaan dengan putranya Sultan Haji yang bersekongkol dengan Belanda.

8. Makassar
Pada era ke-16 di Sulawesi Selatan terdapat dua kerajaan yakni Goa dan Tallo. Kedua kerajaan itu bersatu dengan nama Goa-Tallo. Makassar dengan ibu kota di Somba Opu, dan dimengerti selaku kerajaan Islam pertama di Sulawesi.

Bertindak selaku rajanya yakni Raja Goa, Daeng Manrabia dengan gelar Sultan Alauddin dan selaku mangkubumi (Perdana Menteri)  yakni Raja Talo, Karaeng Matoaya yang bergelar Sultan Abdullah, yang  pada masa pemerintahannya yakni puncak kejayaan Makassar.

9. Ternate dan Tidore
Kerajaan Ternate berdiri kira-kira era ke-13. Ternate meraih puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Baabullah.

Sedangkan raja yang tenar dari Tidore yakni Sultan Nuku. Muncullah Sultan Khaerun yang kini menjadi nama universitas di Ternate.

Gerakan pembaruan di Indonesia ialah salah satu pola berkembangnya Islam di Indonesia. Sejarah sudah mengambarkan bahwa tidak ada penduduk yang statis, semua niscaya mengalami pergantian dan perkembangan.

Secara garis besar ada dua bentuk gerakan pembaharuan Islam di Indonesia: (1) Gerakan pendidikan dan sosial, (2) gerakan politik.

1. Gerakan Pendidikan dan Sosial
Kaum pembaharu memandang, betapa pentingnya pendidikan dalam membina dan membangun generasi muda.

Mereka memperkenalkan tata cara pendidikan sekolah dengan kurikulum terbaru untuk mengganti
tata cara pendidikan Islam tradisional seumpama pesantren dan surau.

Melalui pendidikan pola pikir penduduk sanggup diubah secara bertahap. Oleh alasannya yakni itu, mereka mendirikan forum pendidikan dan memajukan organisasi sosial kemasyarakatan.

Di antaranya selaku berikut.

a. Sekolah Thawalib
Sekolah ini berasal dari surau jembatan besi. Surau memiliki arti langgar atau masjid. Lembaga pendidikan Surau memiliki arti pengajian di Masjid,  seumpama dengan pesantren di Jawa.

Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul pada tahun 1906 sudah merintis pergantian “sistem surau” menjadi tata cara sekolah.

Pada tahun 1919 Haji Jalaludin Hayib menerapkan tata cara kelas dengan lebih sempurna. Ia mewajibkan pemakaian bangku dan meja, kurikulum yang lebih baik, dan keharusan pelajar
untuk mengeluarkan duit uang sekolah.

Selain itu terhadap para pelajar pun diperkenalkan koperasi pelajar guna menyanggupi keperluan seharihari mereka.

Koperasi ini meningkat menjadi organisasi sosial yang menyantuni sekolah Thawalib dengan nama Sumatera Thawalib.

Sejak itu organisasi ini tidak lagi dipimpin oleh murid, namun oleh para guru.

Pada tahun 1929 organisasi Thawalib memperluas keanggotaannya. Tidak cuma guru dan murid di sekolah itu, melainkan juga para alumni.

Selain itu, keanggotaan pun terbuka bagi mereka yang bukan murid, guru, dan alumni atau mereka yang tak punya hubungan apapun dengan sekolah Thawalib.

Organisasi Sumatera Thawalib meningkat menjadi suatu organisasi kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial.

Akhirnya organisasi Sumatera Thawalib meningkat menjadi organisasi politik dengan nama Persatuan Muslimin Indonesia, disingkat Permi.

Permi ialah partai Islam politik pertama di Indonesia. Asas Permi tergolong modern. Bukan
cuma Islam, namun juga Islam dan Nasionalis.

b. Jamiat Khair
Organisasi ini diresmikan di Jakarta oleh penduduk Arab Indonesia pada tanggal 17 Juli 1905.

Di antara pendirinya yakni Sayid Muhammad AlFachir bin Syihab, Sayid Idrus bin Ahmad bin Syihab, dan Sayid Sjehan bin Syihab.

Semuanya tergolong golongan sayyid, yakni kaum ningrat atau darah biru Arab.

Ada dua jadwal yang diamati Jamiat Khair, mendirikan dan membina sekolah dasar, serta memilih dan mengirim para pelajar untuk mengikuti pendidikan di Turki.

Jamiat Khair tidak cuma mendapatkan murid keturunan Arab, namun juga untuk umum. Bahasa Belanda tidak diajarkan lantaran bahasa penjajah, namun diganti dengan bahasa Inggris.

Dengan menguasai bahasa Inggris, para alumni forum pendidikan Jamiat Khair dibutuhkan sanggup mengikuti perkembangan zaman.

c. Al-Irsyad
Organisasi sosial ini diresmikan oleh kaum pedagang Arab di Jakarta. Al-Irsyad memusatkan perhatiannya pada bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah dan perpustakaan.

Sekolah Al-Irsyad banyak jenisnya. Ada sekolah tingkat dasar, sekolah guru dan program
takhassus memperdalam agama dan bahasa asing.

Cabang-cabang AlIrsyad secepatnya dibuka di Cirebon, Pekalongan, Bumiayu, Tegal, Surabaya, dan
Lawang.

Aktivitas organisasi ini lebih dinamis ketimbang Jamiat Khair, meskipun keduanya sama-sama diresmikan oleh penduduk Arab.

Jika Jamiat Khair dikuasai oleh golongan sayyid atau ningrat. Al-Irsyad sebaliknya, menolak adanya perbedaan atau diskriminasi antara kaum elite dengan golongan alit (kecil).

Al-Irsyad tidak sanggup dipisahkan dengan Syaikh Ahmad Syoorkatti. Ia seorang Arab keturunan Sudan yang menghembuskan semangat pembaruan dan persamaan dalam tubuh Al-Irsyad.

d. Persyarikatan Ulama
Organisasi sosial kemasyarakatan ini semula berjulukan Hayatul Qulub, diresmikan di Majalengka, jawa Barat, oleh K.H. Abdul Halim pada tahun 1911.

Kiai Halim yakni alumni Timur Tengah. Ia menyerap ide-ide pembaruan yang dihembuskan oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani, dua tokoh pembaruan di Mesir.

Hayatul Qulub memusatkan perhatiannya pada bidang pendidikan, sosial dan ekonomi. Sejak 1917 namanya diubah menjadi Persyarikatan Ulama.

Perubahan nama ini memiliki dua tujuan, yakni menyatukan para ulama dan mengajak mereka untuk menerapkan cara-cara terbaru dalam mengurus pendidikan.

Ada dua tata cara pendidikan yang diperkenalkan Kiai Halim: “sistem madrasah” dengan “sistem asrama”.

Lembaga pendidikan dengan tata cara madrasah dan tata cara asrama diberi nama “Santri Asromo”.

Dibagi ke dalam tiga bagian: Tingkat permulaan, dasar, dan lanjutan. Santri Asromo memiliki kelebihan, yakni kurikulumnya menggabungkan wawasan agama dan biasa seumpama pada tata cara madrasah sekarang.

Para pelajar Santri Asromo juga dilatih dalam pertanian, kemampuan besi dan kayu, menenun dan mengolah materi seumpama menciptakan sabun.

Mereka tinggal di asrama dengan disiplin yang ketat. Persyarikatan Ulama memiliki ciri khas, menjaga tradisi bermazhab dalam fiqih; namun menerapkan cara-cara terbaru dalam
pendidikan.

Pada tahun 1952 Persyarikatan Ulama diubah menjadi Persatuan Umat Islam (PUI) sesudah difusikan dengan Al-Ittihad alIslamiyah (AII) atau persatuan Islam.

AII diresmikan dan dipimpin oleh K.H. Ahmad Sanusi yang berpusat di Sukabumi, Jawa Barat.

e. Nahdatul Ulama (NU)
Dikalangan pesantren dalam menyikapi kebangkitan nasional, membentuk organisasi pergerakan, seumpama Nahdatul Wa an (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916.

Kemudian pada tahun 1918 mendirikan Taswirul Afkar atau dimengerti juga dengan Nahdatul  Fikri
(kebangkitan pemikiran), selaku wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri.

Dari Nahdatul  Fikri kemudian mendirikan  Nah«atut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat ini dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.

Dengan adanya Nah«atut Tujjar, maka Taswirul Afkar, selain tampil selaku kelompok studi juga menjadi forum pendidikan yang meningkat sungguh pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Perkembangan selanjutnya, untuk membentuk organisasi yang lebih besar dan lebih sistematis, serta mengantisipasi perkembangan zaman, maka sesudah berkordinasi dengan banyak sekali kiai, jadinya timbul kontrak untuk membentuk organisasi yang berjulukan Nahdatul Ulama (Kebangkitan Ulama).

Nahdatul Ulama diresmikan pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari selaku Rais Akbar.

Untuk memastikan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qānµn Asāsi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqād Ahlussunnah Wal Jamā’ah.

Kedua kitab tersebut kemudian diimplementasikan dalam khittah  NU, yang dijadikan selaku dasar dan referensi warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Organisasi ini berencana untuk menegakkan aliran Islam menurut paham kitab I'tiqād Ahlussunnah Wal Jamā’ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Untuk meraih maksudnya tersebut, NU menempuh banyak sekali jenis usaha di banyak sekali bidang, antara lain selaku berikut:

1) Di bidang keagamaan,  melakukan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.

2) Di bidang pendidikan,  menyelenggarakan pendidikan yang tepat dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas. Hal ini terbukti dengan
lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di banyak sekali kawasan khususnya di Pulau Jawa bahkan sudah memiliki cabang di luar negeri.

3) Di bidang sosial budaya, mengusahakan kemakmuran rakyat serta kebudayaan yang tepat dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.

4) Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan potensi untuk menikmati hasil pembangunan, dengan memprioritaskan berkembangnya ekonomi rakyat. Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang sudah terbukti menolong masyarakat.

5) Mengembangkan usaha lain yang berfaedah bagi penduduk luas.

f. Muhammadiyah
Organisasi ini diresmikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan. Kegiatan Muhammadiyah dipusatkan  dalam bidang pendidikan, dakwah dan amal sosial.

Muhammadiyah mendirikan banyak sekali sekolah Islam ala Belanda, baik dalam satuan pendidikan, jenjang maupun kurikulumnya.

Muhammadiyah pun mendapatkan subsidi dari pemerintah Belanda. Organisasi ini sungguh menekankan keseimbangan antara pendidikan agama dan pendidikan umum, serta pendidikan keterampilan.

Para alumni forum pendidikan Muhammadiyah dibutuhkan memiliki aqidah Islam yang kuat, sekaligus memiliki keahlian untuk hidup di zaman modern.

Dengan bekal aqidah, pendidikan dan kemampuan yang baik, kaum muslimin sanggup memajukan mutu hidup mereka sesuai dengan permintaan aliran al-Qur'an.

Bahkan hingga sekarang, Muhammadiyah ialah ormas Islam besar yang memiliki satuan-satuan pendidikan sejak dari TK hingga Program Pasca sarjana.

Dalam bidang amal sosial, ormas Islam ini memiliki antara lain beberapa puluh rumah sakit, Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) dan Panti Asuhan.

Gerakan dakwah Muhammadiyah sungguh menekankan kemurnian aqidah; memerangi berbagai
perbuatan syirik, menyekutukan Allah Swt. dalam segala bentuknya; menentang takhayul; khurafat;
dan perbuatan bid’ah serta mengikis habis kebiasaan taqlid buta dalam beragama.

Muhammadiyah, menekankan pentingnya membuka pintu ijtihad dalam bidang aturan Islam biar umat Islam terbebas dari taqlid buta serta menolak tradisi bermazhab dalam fiqih.

Muhammadiyah menolak kehidupan tasawuf yang cuma mementingkan akhirat.

Muhammadiyah sebagaimana biasanya kaum pembaharu, menentang tarekat, lantaran sarat dengan perbuatan bid’ah.

Lahirnya Jami’at Khair, al-Irsyad, Persyarikatan Ulama, Muhammadiyah yang bergerak di bidang pembaharuan pendidikan dan dakwah tersebut dipicu oleh perkembangan gres di bidang keagamaan.

Agama mesti fungsional dalam kehidupan, bukan cuma sekedar tuntunan untuk kebahagiaan darul abadi saja. Karena itu, agama mesti disokong oleh ilmu wawasan modern.

Islam tidak sanggup mendapatkan penjajahan dalam segala bentuk.

Perjuangan umat Islam dalam  menghalau penjajah sebelum era dua puluh ditangani dengan kekuatan senjata dan bersifat kedaerahan.

Pada permulaan era dua puluh usaha itu ditangani dengan mendirikan organisasi terbaru yang bersifat nasional, baik ormas (organisasi sosial kemasyarakatan), maupun orsospol (organisasi sosial politik).

Melalui pendidikan, ormas memperjuangkan kecerdasan bangsa biar sadar wacana hak dan keharusan dalam memperjuangkan kemerdekaan.

Dengan orsospol, kaum muslimin memperjuangkan kepentingan golongan Islam lewat jalan masuk politik yang diakui pemerintah penjajah.

Mereka misalnya berjuang lewat tubuh legislatif Belanda yang disebut Volksraad.

Di antara partai politik Islam yang berkembang sebelum zaman kemerdekaan yakni Persaudaraan Muslimin Indonesia (Permi), Sarikat Islam (SI), dan Partai Islam Indonesia (PII).

SI diresmikan di Solo pada tanggal 11 November 1911 selaku kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang diresmikan oleh Haji Samanhudi pada tanggal 16 Oktober 1905.

SI kemudian bermetamorfosis Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII). Partai Islam Masyumi pada permulaan berdirinya ialah satu-satunya partai politik Islam yang dibutuhkan sanggup memperjuangkan kepentingan seluruh golongan umat Islam dalam negara terbaru yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Masyumi ialah partai federasi yang
memuat semua golongan tradisional.

Sikap dan sikap mulia yang mesti kita kembangkan selaku implementasi dari pelajaran wacana dakwah Islam di Nusantara antara lain selaku berikut:

1. Menghargai jasa para pendekar muslim yang sudah mengorbankan semuanya demi tersebarnya syiar Islam;

2. Berusaha mengerti dan menganalisis sumber-sumber sejarah untuk mendapatkan pemberitahuan terkini dan valid tentang sejarah Islam, mengingat terbatasnya sumber data dan perdebatan para ahli wacana validitas data sejarah;

3. Meneladani sikap dan sikap para dai pada masa permulaan masuknya Islam yang mengedepankan cara damai;

4. Menjadikan semua acara dalam hidup (pernikahan, perdagangan, kesenian, dan lain-lain) selaku fasilitas dakwah;

5. Berusaha menjadi dai yang mukhlis (ikhlas), tanpa mengukur kerja keras dalam berdakwah dengan penghasilan;

6. Berusaha menjadi dai yang layak diteladani oleh umat, khususnya generasi muda;

7. Tetap membangun optimisme dengan kerja keras untuk menjangkau kembali kejayaan Islam.

Related : Materi Pai Xii Potongan 9 Rahmat Islam Bagi Nusantara

0 Komentar untuk "Materi Pai Xii Potongan 9 Rahmat Islam Bagi Nusantara"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close