TATA CARA ITIDAL DALAM SHOLAT |
Shalat harus dilakukan secara khusyu. Adapun yang dimaksud Kata khusyu’ terambil dari kata khasya’a ( خشع ) yang dari segi bahasa berarti membisu dan tenang. Dia yaitu kesan khusus yang terdapat dalam benak seseorang terhadap objek kekhusyu’anya, sehingga yang bersangkutan mengarah sepenuh hati kepadanya sambil mengabaikan selainnya.
Dalam ibadah shalat, khusyu’ yaitu kondisi jiwa yang diliputi rasa takut jangan hingga shalatanya tertolak. Hal itu ditandai dengan mengonsentrasikan jiwanya sambil mengabaikan segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan shalat. Kondisi jiwa semacam ini tidak terjangkau hakikatnya oleh pandangan lahiriah manusia, lantaran ia yaitu kekerabatan eksklusif antara hamba dan Tuhannya.
Imam ar-Rāzī menulis: apabila seseorang sedang melakukan shalat, maka terbuakalah tabir antara dia dengan Tuhan, tapi begitu ia menoleh, tabir itu pun tertutup.
Para ulama fiqih/hukum Islam, tidak memasukan khusyu’ sebagai salah satu rukun atau syarat sah shalat. Mereka menyadari bahwa khusyu’ lebih banyak berkaitan dengan qalbu. Sedang mereka intinya hanya mengarahkan pandangan pada sisi lahiriah manusia.
Mereka berkata “nahnu nahkumu bizh-zahwâhir wallâhu yatawallâ as-sarâir” (kami hanya menetapkan aturan berdasarkan yang tampak, dan Allah menangani hal-hal yang batin). Disinilah ulama fiqih dan tasawuf terkesan berbeda pendapat. Mayoritas ulama fiqih tidak mewajibkan hadirnya kehusyu’an dalam shalat — lantaran kehadirannya yaitu sesuatu yang tidak sanggup dijangkau pandangan lahir — sedangkan ulama tasawuf mewajibkannya.
Mari kita lanjutkan pembahasan perihal tata cara shalat mengenai I’tidal dalam Shalat.Ada dua pendapat perihal tata cara i’tidal. Pertama, ada ulama yang beropini bersedekap dan ulama yang menyampaikan tidak bersedekap tapi melepaskannya (berdiri dengan perilaku sempurna).
1) Itidal dengan Bersedekap:
Itidal dengan Bersedekap, yaitu kembali meletakkan ajudan di atas tangan kiri atau menggenggamnya dan menaruhnya di dada, saat telah berdiri. Hal ini berdasarkan nash di bawah ini:
# “Ia (Wa-il bin Hujr) berkata: “Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila dia berdiri dalam shalat, dia memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya.” (HR. An-Nasa’i)
# “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah, ia berkata dari Malik, ia berkata dari Abu Hazm, ia berkata dari Sahl bin Sa’d ia berkata: “Adalah orang-orang (para sahabat) diperintah (oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) biar seseorang meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya dalam shalat.” (HR. Bukhari)
Komentar dari Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baaz (termaktub dalam fatwanya yang dimuat dalam majalah Rabithah ‘Alam Islamy, edisi Dzulhijjah 1393 H/Januari 1974 M, tahun XI):
# “Dari hadits shahih ini ada petunjuk diisyaratkan meletakkan ajudan atas tangan kiri saat seorang Mushalli (orang yang shalat) tengah berdiri baik sebelum ruku’ maupun sesudahnya. Karena Sahl menginformasikan bahwa para sahabat diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya dalam shalat. Dan sudah dimengerti bahwa sunnah (Nabi) menjelaskan orang shalat dalam ruku’ meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua lututnya, dan dalam sujud ia meletakkan kedua telapak tangannya pada bumi (tempat sujud) sejajar dengan kedua bahunya atau telinganya, dan dalam keadaan duduk antara dua sujud, begitu pun dalam tasyahud ia meletakkannya di atas kedua pahanya dan lututnya dengan dalil masing-masing secara rinci. Dalam rincian sunnah tersebut tidak tersisa kecuali dalam keadaan berdiri. Dengan demikian dapatlah dimengerti tolong-menolong maksud dari hadits Sahl diatas yaitu disyari’atkan bagi Mushalli saat berdiri dalam shalat biar meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya. Sama saja baik berdiri sebelum ruku’ maupun sesudahnya. Karena tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan antara keduanya, oleh lantaran itu barangsiapa membedakan keduanya haruslah memperlihatkan dalilnya. (Kembali pada kaidah ushul fiqh: “asal dari ibadah yaitu haram kecuali ada penunjukannya” )
2) Itidal dengan Berdiri Sikap Sempurna (Berdiri Lurus) dan Tidak dengan Bersedekap
Itidal dengan cara Berdiri Sikap Sempurna (Berdiri Lurus) dan Tidak dengan Bersedekap, yaitu tidak bersedekap tapi melepaskannya (berdiri dengan perilaku sempurna), berdasarkan hadits:
# “Kemudian angkatlah kepalamu hingga engkau berdiri dengan tegak [sehingga tiap-tiap ruas tulang belakangmu kembali pata tempatnya].” (dalam riwayat lain disebutkan: “Jika kau berdiri i’tidal, luruskanlah punggungmu dan tegakkanlah kepalamu hingga ruas tulang punggungmu mapan ke tempatnya).” (HR. Bukhari dan Muslim, dan riwayat lain oleh Ad-Darimi, Al-Hakim, Asy-Syafi’i dan Ahmad)
# Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Allah, Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Mahamulia tidak mau melihat shalat seseorang yang tidak meluruskan punggungnya saat berdiri di antara ruku’ dan sujudnya (i’tidal, pent.) (HR. Ahmad dan Thabarani, shahih)
# Dari ‘Aisyah:
“Apabila dia mengangkat kepalanya dari rukuk, maka dia tidak eksklusif sujud sebelum berdiri lurus terlebih dahulu (HR. Muslim)
# Dari Ibnu Atha’, ia berkata,
“Aku mendengar Abu Humaid berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat shalat…kemudian dia I’tidal hingga semua tulangnya kembali ke kawasan semula.” (HR. Ibnu Hibban)
b) Thuma’ninah Dan Memperlama I’tidal
# “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri terkadang dikomentari oleh sahabat: “Dia telah lupa” [karena saking lamanya berdiri]. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
# “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengakibatkan ruku’, berdiri setelah ruku’ dan sujudnya, juga duduk antara dua sujud hampir sama lamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
c) Bacaan I’tidal
Ketika berdiri dari rukuk, seorang yang sedang shalat diperintahkan membaca Sami’ allahu Liman Hamidahu (Allah Maha Mendengar terhadap orang yang memuji-Nya), baik dia sebagai imam maupun makmum. Lalu apabila dia telah berdiri lurus (i’tidal), maka dia membacaRabbana wa Laka al-Hamdu (Wahai Tuhan kami, bagi-Mu lah segala pujian) atau Allahuma Rabbana wa Laka al-Hamdu (Ya Allah Tuhan kami, bagi-Mu lah segala pujian), yaitu berdasarkan hadits:
# Dari Abu Hurairah:
“Bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan Sami’ allahu Liman Hamidahu (Allah Maha Mendengar terhadap orang yang memuji-Nya) saat mengangkat punggungnya dari rukuk. Kemudian saat berdiri, dia membaca Rabbana wa Laka al-Hamdu (Wahai Tuhan kami, bagi-Mu lah segala pujian).” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
# Dari Anas:
“Dan apabila imam membaca Sami’ allahu Liman Hamidahu (Allah Maha Mendengar terhadap orang yang memuji-Nya), maka katakanlah: Allahumma Rabbana wa Laka al-Hamdu (Ya Allah Tuhan kami, bagi-Mu lah segala pujian).” (HR. Bukhari)
# Dari Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Ahmad dan lain-lain, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila imam membaca Sami’ allahu Liman Hamidahu (Allah Maha Mendengar terhadap orang yang memuji-Nya), maka katakanlah: Allahumma Rabbana wa Laka al-Hamdu (Ya Allah Tuhan kami, bagi-Mu lah segala pujian). Barangsiapa bacaannya bersamaan dengan bacaan malaikat, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Al-Bukhari, cuilan Adzan, pasal Keutamaan Allahumma Rabbana wa Laka al-Hamdu)
Bacaan yang diperintahkan saat i’tidal, sekurang-kurangnya yaitu tahmid (Rabbana wa Laka al-Hamdu). Dan kalau mungkin, disunnahkan ditambah dengan bacaan-bacaan yang antara lain ditunjukkan dalam hadits berikut:
Bacaan 1:
# Dari Ubaid bin al-Hasan dari Abu Aufa, ia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mengangkat kepalanya dari ruku’ mengucapkan, sami’ allahu liman hamidah,
“RABBANA LAKAL HAMDU MIL US SAMAAWAATI WA MIL-UL-ARDHI WA MIL’U MAA SYI’TA MIN SYAI-IN BA’DU”
[Artinya]: “Ya Allah ya Tuhan kami, bagi-Mu-lah segala puji, sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa saja yang Engkau kehendaki sehabis itu.” (Musnad al-Mustkhraj ‘ala shahih Muslim)
Bacaan 2:
# Dari Rafi’, sesungguhnya ia berkata,
“Pada suatu hari kami shalat di belakang Rasulullah maka tatkala dia berdiri dari ruku’, dia mengucapkan:
“SAMI’ ALLAAHU LIMAN HAMIDAH”
[Artinya]: “Allah mendengar orang yang memujinya”
Kemudian ada seorang pria di belakang dia yang membaca:
‘RABBANA LAKAL HAMDU HAMDAN KATSIIRAN THAYYIBAN MUBAARAKAN FIIHI’
[Artinya]: “Ya Allah ya Tuhan kami, bagi-Mu-lah segala kebanggaan yang banyak, yang baik dan yang ada barakah di dalamnya.”
Maka tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai mengerjakan shalat, dia bertanya, “Siapa yang tadi membaca doa.” Seorang pria menjawab, ‘Saya!’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Saya melihat 37 Malaikat tergopoh-gopoh untuk segera menjadi penulis yang pertama’.” (Shahih Ibnu Khuzaimah).
Bacaan 3:
# Dari Abu Said al-Khudri, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat bangun dari ruku’ (i’tidal) dia mengucapkan:
“RABBANA LAKAL HAMDU MIL’US SAMAWATI WAL ARDHI WA MIL’U MA SYI’TA MIN SYAI’IN BA’DU. ALLAHUMMA LA MANI’A LIMA A’THAITA WALA MU’THIYA LIMA MANA’TA WA LA YANFA’U DZAL JADDI MINKAL JADDU”
[Artinya]: “Ya Allah, bagi Engkaulah segala puja dan puji, sepenuh langit, sepenuh bumi, dan sepenuh apa saja yang engkau kehendaki. Ya Allah Tak ada yang bisa menghalangi apa yang akan Engkau berikan dan tidak ada pula yang bisa memperlihatkan apa yang Engkau larang dan tidaklah kekayaan itu sanggup menolong yang empunya kecuali seizin Engkau.” (HR. Muslim)
Ingat shalat fardu harus dikerjan sesuai Waktu Shalat Fardu yang telah ditentukan. Waktu shalat berbeda-beda pada setiap kawasan atau wilayah, bahkan perbedaan ni juga terasa dari waktu ke waktu lantaran waktu shalat berkaitan dengan peredaran semu matahari terhadap bumi. Untuk memilih waktu shalat dibutuhkan letak geografis, waktu (tanggal), dan ketinggian.
Shalat Subuh; dimulai semenjak munculnya fajar shaddiq, yaitu cahaya putih yang melintang di ufuk timur hingga saat matahari terbit. Untuk di Indonesia berdasarkan WIB kira-kira sekitar pukul +30-05.30 WIB.
Shalat Dzuhur; dimulai kalau matahari telah condong ke arah barat hingga datang waktu Ashar. Untuk di Indonesia berdasarkan WIB kira-kira sekitar pukul +00-14.30 WIB.
Shalat Ashar; diawali saat kita meletakkan benda dan bayangannya lebih panjang dari benda itu sendiri (dalam Mazhab Hanafi kalau panjang bayangan dua kali panjang benda), berakhir saat matahari terbenam. Untuk di Indonesia berdasarkan WIB kira-kira sekitar pukul +00-17.30 WIB.
Shalat Maghrib; dimulai semenjak terbenamnya matahari hingga masuk waktu ‘Isya. Untuk di Indonesia berdasarkan WIB kira-kira sekitar pukul +00-19.30 WIB.
Shalat ‘Isya; dimulai semenjak hilangnya cahaya merah (syafaq) di barat hingga terbit fajar shaddiq esok pagi. Untuk di Indonesia berdasarkan WIB kira-kira sekitar pukul +00-04.00 keesokan paginya.
0 Komentar untuk "Tata Cara Itidal Dalam Sholat"