Berikut ini contoh makalah yang sanggup dipakai untuk seleksi calon kepala sekolah "
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah mengatakan berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis sanggup menuntaskan makalah yang diberi judul “Budaya Pengambilan Keputusan Partisipatif Sebagai Faktor Penentu Keterlaksanaan MBS yang Bermutu”
Tujuan penyusunan makalah ini yakni untuk memenuhi salah satu syarat pencalonan kepala sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten ……………..
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada aneka macam pihak yang telah turut aktif dalam penyusunan makalah ini. Semoga kebaikannya sanggup diterima sebagai amal kebaikan di sisi Allah SWT.
Penulis menyadari makalah ini masih mempunyai bebagai kekurangan. Namun demikian, penulis mengharapkan semoga makalah ini mempunyai manfaat yang sebesar-besarnya.
DAFTAR ISI
Lembaran Pengesahan. | |
Kata Pengantar | |
Daftar Isi | |
ABSTRAKSI | |
BAB I | PENDAHULUAN .. |
A. Latar Belakang Masalah | |
B. Identifikasi Masalah | |
C. Pembatasan Masalah | |
D. Perumusan Masalah . | |
E. Tujuan Penulisan | |
F. Manfaat Penulisan . | |
BAB II | LANDASAN TEORI |
A.Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah | |
B. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah | |
C. Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah | |
D. Strategi Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah | |
E. Pengambilan Keputusan Partisipatif | |
BAB III | PEMBAHASAN |
A.Strategi Pelaksanaan MBS yang Tepat Guna Mewujudkan Keterlaksanaan MBS yang Bermutu | |
Penerapan Budaya Pengambilan Keputusan Partisipatif untuk Mewujudkan MBS yang Bermutu ........................... | |
BAB IV | PENUTUP. |
A. Simpulan. | |
B. Saran.. | |
DAFTAR PUSTAKA | |
BIODATA PENYUSUN |
ABSTRAKSI
Adanya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 wacana Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 memperlihatkan bahwa administrasi berbasis pusat merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan kurang optimalnya kinerja daerah. Hal inipun terjadi dalam dunia pendidikan pada dikala diberlakunya administrasi berbasis pusat, kinerja sekolah kurang optimal sehingga perlu diterapkanya administrasi berbasis sekolah (MBS). Inti MBS yakni otonomi sekolah dan pengambilan keputusan partisipatif.
Otonomi sekolah yakni kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah berdasarkan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Tujuan MBS pada dasarnya yakni untuk memberdayakan sekolah. Untuk mencapai tujuan tersebut, kepala sekolah sebagai manajer utama MBS harus sanggup menentukan seni administrasi yang sempurna serta sanggup menerapkan budaya pengambilan keputusan partisipatif. Adapun seni administrasi pelaksanaan MBS sanggup dilakukan dengan cara: mensosialisasikan konsep MBS, melaksanakan analisis sasaran, merumuskan sasaran, mengidentifikasi fungsi-fungsi yang diharapkan untuk mencapai sasaran, melaksanakan analisis SWOT, menyusun planning sekolah, mengimplementasikan planning sekolah, melaksanakan evaluasi, dan merumuskan sasaran baru.
Strategi di atas akan sanggup bekerja optimal apabila kepala sekolah sanggup menerapkan budaya pengambilan keputusan partisipatif, yakni cara mengambil keputusan yang melibatkan semua kelompok atau komponen sekolah, terutama pihak-pihak yang akan melaksanakan keputusan dan yang akan terkena dampak keputusan.
Kata kunci: administrasi berbasis sekolah, otonomi sekolah dan pengambilan keputusan partisipatif.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Saat ini bangsa Indonesia telah menata diri dengan aneka macam perubahan-perubahan fundamental ke arah yang lebih baik dan lebih demokratis dalam aneka macam kehidupan termasuk kehidupan pendidikan. Salah satu perubahan fundamental yang sedang digulirkan dikala ini yakni perubahan administrasi negara dari administrasi berbasis pusat menjadi administrasi berbasis daerah. Perubahan itu secara resmi tertuang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 wacana Pemda yang kemudian direvisi dengan UU No: 32 tahun 2004.
Dalam dunia pendidikan, salah satu konsekwensi logis dari diberlakukanya Undang-Undang 22/1999 dan 33/2004 tersebut yakni bahwa administrasi pendidikan harus diubahsuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi. Karena itu, administrasi pendidikan berbasis pusat yang selama ini telah dipraktekkan perlu diubah menjadi administrasi pendidikan berbasis sekolah.
Melalui penerapan MBS diharapkan sekolah mempunyai keberdayaan yang ditandai dengan tingkat kemandirian tinggi dan tingkat ketergantungan rendah; bersifat adaptif dan antisipatif; mempunyai jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dsb.); bertanggungjawab terhadap hasil sekolah; mempunyai kontrol yang besar lengan berkuasa terhadap input administrasi dan sumber dayanya; kontrol terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan dinilai oleh pencapaian prestasinya.
Dalam prakteknya mengubah administrasi berbasis pusat menjadi administrasi berbasis sekolah dalam beberapa hal belum optimal dilaksanakan. Hal ini memang merupakan proses yang masuk akal alasannya yakni perubahan memerlukan penyesuaian-penyesuaian, baik sistemnya, kulturnya, maupun figurnya dengan tuntutan-tuntutan gres administrasi berbasis sekolah. Berdasarkan kenyataan di atas, pada makalah ini penulis mencoba mengatakan salah solusi untuk menerapkan majaneman berbasis sekolah ke arah yang lebih baik. Adapun judul makalah ini adalah: “Ketepatan Strategi Pelaksanaan MBS yang disertai Budaya Pengambilan Keputusan Partisipatif oleh Kepala Sekolah Merupakan Faktor Penentu untuk melaksanakan MBS yang Bermutu.”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas beberapa faktor penyebab belum terlaksananya kegiatan Manajemen Berbasis Sekolah secara optimal, diantaranya:
Belum dimahaminya esensi Manajemen Berbasis Sekolah.
Belum dimahaminya startegi pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah secara tepat.
Belum diterapkannya startegi pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah secara optimal.
Belum sepenuhnya dipahami bahwa setiap sekolah mempunyai kekuatan, kelemahan dan peluang serta bahaya yang mungkin berbeda dari sekolah yang lain.
Partisipasi masyarakat masih kurang optimal
Partisipasi warga sekolah yang juga masih kurang optimal
Belum dipahami makna pengambilan keputusan partisipatif sebagai serpihan dari esensi Manajemen Berbasis Sekolah
Belum diterapkannya budaya pengambilan keputusan partisipastif dalam pengelolaan Manajemen Berbasis Sekolah secara optimal.
Pemahaman bahwa pimpinan sekolah mempunyai hak preogratif dalam pengambilan kebijakan terkadang dimaknai secara berlebihan.
Sistem budaya dan sumberdaya insan belum mengatakan derma yang optimal.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan hasil identifikasi masalah tampak bahwa terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab belum optimalnya pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Oleh alasannya yakni keterbatasan waktu dan biaya pada kesempatan ini penulis membatasi permasalahan dalam penulisan makalah, meliputi:
Bagaimana seni administrasi pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah yang sempurna sehingga sanggup mewujudkan MBS yang bermutu.
Bagaimana budaya pengambilan keputusan partisipatif dilaksanakan sehingga sanggup mewujudkan MBS yang bermutu.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi dan pembatasan masalah yang telah di kemukakan pada serpihan sebelumnya, rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah:
Bagaimana kepala sekolah menerapkan seni administrasi pelaksanaan MBS serta budaya pengambilan keputusan partisipatif untuk mewujudkan MBS yang bermutu?
E.Tujuan Penulisan
Secara umum tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengatakan sumbang saran yang positif bagi terlaksananya Manajemen Berbasis Sekolah yang bermutu.
Secara khusus tujuan penulisan makalah ini adalah:
Menambah wawasan penulis dalam hal pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Memberikan masukan yang positif kepada pimpinan sekolah untuk sanggup menerapkan seni administrasi pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang sempurna serta budaya pengambilan keputusan partisipatif dalam pengambilan kebijakan sehingga sanggup mewujudkan MBS yang bermutu.
F. Manfaat Penulisan
Manfaat yang ingin diperoleh dari penulisan makalah ini, antara lain:
Memberikan literatur yang cukup dalam menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah
Terwujudnnya MBS yang bermutu yang ditandai dengan pemilihan seni administrasi pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang sempurna dan penerapan budaya pengambilan keputusan partisipatif yang konsisten.
BAB II LANDASAN TOERI
A. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Secara umum, administrasi berbasis sekolah (MBS) sanggup diartikan sebagai model administrasi yang mengatakan otonomi lebih besar kepada sekolah, mengatakan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara eksklusif warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dsb.), untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan untuk mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan impian dan tuntutan sekolah serta masyarakat atau stakeholder yang ada. Sekalipun diberikan kebebasan, namun demikian dalam pelaksanaan MBS tidak dibenarkan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Direktorat PLP:2005)
Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah mempunyai kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam berbagi program-program yang, tentu saja, lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Dengan fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal.
Berdasarkan uraian tersebut sanggup dirangkum bahwa "manajemen berbasis sekolah" yakni pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara otonomis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input administrasi untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara eksklusif dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif)". Kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah meliputi: kepala sekolah dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga administratif, orangtua siswa, tokoh masyarakat, para profesional, wakil pemerintahan, wakil organisasi pendidikan. Lebih ringkas lagi, administrasi berbasis sekolah sanggup dirumuskan sebagai berikut (David, 1989): administrasi berbasis sekolah yakni otonomi administrasi sekolah yang ditandai dengan budaya pengambilan keputusan partisipatif.
B. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan. (Direktorat PLP:2005)
Lebih rincinya, MBS bertujuan untuk:
meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibilitas, partisipasi, keterbukaan, kerjasama, akuntabilitas, sustainabilitas, dan inisiatif sekolah dalam mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumberdaya yang tersedia;
meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;
meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada orangtua, masyarakat, dan pemerintah wacana mutu sekolahnya; dan
meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah wacana mutu pendidikan yang akan dicapai.
meningkatkan efisiensi, relevansi, dan pemerataan pendidikan di kawasan dimana sekolah berada.
Berdasarkan uraian di atas, tujuan utama administrasi berbasis sekolah yakni untuk "memberdayakan" sekolah, terutama sumber daya manusianya (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang bau tanah siswa, dan masyarakat sekitarnya), melalui pemberian kewenangan, fleksibilitas, dan sumber daya lain untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan.
Dengan pengertian diatas, maka pengembangan administrasi berbasis sekolah semestinya mengakar di sekolah, terfokus di sekolah, terjadi disekolah, dan dilakukan oleh sekolah. Untuk itu, penerapan administrasi berbasis sekolah memerlukan konsolidasi administrasi sekolah.
Sebagaimana di uraikan di atas, MBS sanggup didefinisikan sebagai model administrasi yang mengatakan otonomi lebih besar kepada sekolah, mengatakan fleksibilitas/keluwesan lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong sekolah meningkatkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Karena itu, esensi MBS= otonomi sekolah + fleksibilitas + partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Otonomi sanggup diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung. Kemandirian dalam kegiatan dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sustainabilitas). Istilah otonomi juga sama dengan istilah “swa”, contohnya swasembada, swakelola, swadana, swakarya, dan swalayan. Makara otonomi sekolah yakni kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah berdasarkan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumberdaya, kemampuan menentukan cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Fleksibilitas sanggup diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan-keluwesan yang lebih besar diberikan kepada sekolah, maka sekolah akan lebih lincah dan tidak harus menunggu instruksi dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdayanya. Dengan cara ini, sekolah akan lebih responsif dan lebih cepat dalam menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Namun demikian, keluwesan-keluwesan yang dimaksud harus tetap dalam koridor kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang ada.
Peningkatan partisipasi yang dimaksud yakni penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang bau tanah siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dsb.) didorong untuk terlibat secara eksklusif dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan penilaian pendidikan yang diharapkan sanggup meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan pengertian diatas, maka sekolah mempunyai kewenangan (kemandirian) lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun planning peningkatan mutu, melaksanakan planning peningkatan mutu, dan melaksanakan penilaian pelaksanaan peningkatan mutu), mempunyai fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah, dan mempunyai partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Dengan kepemilikan ketiga hal ini, maka sekolah akan merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit diatasnya (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional) akan merupakan unit pendukung dan pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.
Sekolah yang berdikari atau berdaya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah; bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif sekaligus; mempunyai jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dan sebagainya); bertanggungjawab terhadap kinerja sekolah; mempunyai kontrol yang besar lengan berkuasa terhadap input administrasi dan sumberdayanya; mempunyai kontrol yang besar lengan berkuasa terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan prestasi merupakan contoh bagi penilaiannya. Selanjutnya, bagi sumberdaya insan sekolah yang berdaya, pada umumnya, mempunyai ciri-ciri: pekerjaan yakni miliknya, beliau bertanggungjawab, pekerjaannya mempunyai kontribusi, beliau tahu posisinya dimana, beliau mempunyai kontrol terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan serpihan hidupnya.
Contoh wacana hal-hal yang sanggup memandirikan/memberdayakan warga sekolah adalah: pemberian kewenangan, pemberian tanggungjawab, pekerjaan yang bermakna, pemecahan masalah sekolah secara “teamwork”, variasi tugas, hasil kerja yang terukur, kemampuan untuk mengukur kinerjanya sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar, ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui bahwa beliau yakni serpihan penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif, umpan balik bagus, sumberdaya yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah diberlakukan sebagai insan ciptaan-Nya yang mempunyai martabat tertinggi.
D. Strategi Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah
Strategi pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah berdasarkan Buku Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah. ( Direktorat PLP: 2005) sanggup diuraikan sebagai berikut:
1. Melakukan Sosialisasi
Sekolah merupakan sistem yang terdiri dari unsur-unsur dan karenanya hasil kegiatan pendidikan di sekolah merupakan hasil kolektif dari semua unsur sekolah. Dengan cara berpikir semacam ini, maka semua unsur sekolah harus memahami konsep MBS “apa”, “mengapa”, dan “bagaimana” MBS diselenggarakan. Oleh alasannya yakni itu, langkah pertama yang harus dilakukan oleh sekolah yakni mensosialiasikan konsep MBS kepada setiap unsur sekolah (guru, siswa, wakil kepala sekolah, guru BK, karyawan, orangtua siswa, pengawas, pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, pejabat Dinas Pendidikan Propinsi, dsb.) melalui aneka macam mekanisme, contohnya seminar, lokakarya, diskusi, rapat kerja, simposium, lembaga ilmiah, dan media masa.
Dalam melaksanakan sosialisasi MBS, yang penting dilakukan oleh kepala sekolah yakni “membaca” dan “membentuk” budaya MBS di sekolah masing-masing. Secara umum, garis-garis besar kegiatan sosialisasi/ pembudayaan MBS sanggup dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Baca dan pahamilah sistem, budaya, dan sumberdaya yang ada di sekolah secara cermat dan refleksikan kecocokannya dengan sistem, budaya, dan sumberdaya gres yang diharapkan sanggup mendukung penyelenggaraan MBS;
Identifikasikan sistem, budaya, dan sumberdaya yang perlu diperkuat dan yang perlu diubah, dan kenalkan sistem, budaya, dan sumberdaya gres yang diharapkan untuk menyelenggarakan MBS;
Buatlah komitmen secara rinci yang diketahui oleh semua unsur yang bertanggungjawab, kalau terjadi perubahan sistem, budaya, dan sumberdaya yang cukup mendasar;
Bekerjalah dengan semua unsur sekolah untuk mengklarifikasikan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana, dan program-program penyelenggaraan MBS;
Hadapilah “status quo” (resistensi) terhadap perubahan, jangan menghindar dan jangan menarik darinya serta jelaskan mengapa diharapkan perubahan dari administrasi berbasis pusat menjadi MBS;
Garisbawahi prioritas sistem, budaya, dan sumberdaya yang belum ada sekarang, akan tetapi sangat diharapkan untuk mendukung visi, misi, tujuan, sasaran, rencana, dan program-program penyelenggaraan MBS dan doronglah sistem, budaya, dan sumberdaya insan yang mendukung penerapan MBS serta hargailah mereka (unsur-unsur) yang telah memberi contoh dalam penerapan MBS; dan
Pantaulah dan arahkan proses perubahan semoga sesuai dengan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana, dan program-program MBS.
2. Merumuskan Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Sekolah (Tujuan Situasional Sekolah)
Sekolah yang melaksanakan MBS harus menciptakan planning strategis dan planning operasional (rencana tahunan) sekolah. Rencana strategis sekolah pada umumnya meliputi perumusan visi, misi, tujuan sekolah dan seni administrasi pelaksanaannya. Sedangkan planning kerja tahunan sekolah pada umumnya meliputi pengidentifikasian sasaran sekolah (tujuan situasional sekolah), pemilihan fungsi-fungsi sekolah yang diharapkan untuk mencapai sasaran yang telah diidentifikasi, analisis SWOT, langkah-langkah pemecahan persoalan, dan penyusunan planning dan kegiatan kerja tahunan sekolah. Berikut diuraikan secara singkat mengenai perumusan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolah (tujuan situasional sekolah).
a. Visi
Setiap sekolah harus mempunyai visi. Visi yakni wawasan yang menjadi sumber instruksi bagi sekolah dan dipakai untuk memandu perumusan misi sekolah. Dengan kata lain, visi yakni pandangan jauh ke depan kemana sekolah akan dibawa. Visi yakni citra masa depan yang diinginkan oleh sekolah, semoga sekolah yang bersangkutan sanggup menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya.
Gambaran tersebut tentunya harus didasarkan pada landasan yuridis, yaitu undang-undang pendidikan dan sejumlah peraturan pemerintahnya, khususnya tujuan pendidikan nasional sesuai jenjang dan jenis sekolahnya dan juga sesuai dengan profil sekolah yang bersangkutan. Dengan kata lain, visi sekolah harus tetap dalam koridor kebijakan pendidikan nasional tetapi sesuai dengan kebutuhan anak dan masyarakat yang dilayani. Tujuan pendidikan nasional sama tetapi profil sekolah khususnya potensi dan kebutuhan masyarakat yang dilayani sekolah tidak selalu sama. Oleh alasannya yakni itu dimungkinkan sekolah mempunyai visi yang tidak sama dengan sekolah lain, asalkan tidak keluar dari koridor nasional yaitu tujuan pendidikan nasional.
b. Misi
Misi yakni tindakan untuk mewujudkan/merealisasikan visi tersebut. Karena visi harus mengakomodasi semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah, maka misi sanggup juga diartikan sebagai tindakan untuk memenuhi kepentingan masing-masing kelompok yang terkait dengan sekolah. Dalam merumuskan misi, harus mempertimbangkan kiprah pokok sekolah dan kelompok-kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah. Dengan kata lain, misi yakni bentuk layanan untuk memenuhi tuntutan yang dituangkan dalam visi dengan aneka macam indikatornya.
c. Tujuan
Bertolak dari visi dan misi, selanjutnya sekolah merumuskan tujuan. Tujuan merupakan “apa” yang akan dicapai/dihasilkan oleh sekolah yang bersangkutan dan “kapan” tujuan akan dicapai. Jika visi dan misi terkait dengan jangka waktu yang panjang, maka tujuan dikaitkan dengan jangka waktu 3-5 tahun. Dengan demikian tujuan pada dasarnya merupakan tahapan wujud sekolah menuju visi yang telah dicanangkan.
Jika visi merupakan citra sekolah di masa depan secara utuh (ideal), maka tujuan yang ingin di capai dalam jangka waktu 3 tahun mungkin belum se ideal visi atau belum selengkap visi. Dengan kata lain, tujuan merupakan tahapan untuk mencapai visi.
d. Sasaran/Tujuan Situasional
Setelah tujuan sekolah (tujuan jangka menengah) dirumuskan, maka langkah selanjutnya yakni memutuskan sasaran/target/tujuan situasional/tujuan jangka pendek. Sasaran yakni penjabaran tujuan, yaitu sesuatu yang akan dihasilkan/dicapai oleh sekolah dalam jangka waktu lebih singkat dibandingkan tujuan sekolah. Rumusan sasaran harus selalu mengandung peningkatan, baik peningkatan kualitas, efektivitas, produktivitas, maupun efisiensi (bisa salah satu atau kombinasi). Agar sasaran sanggup dicapai dengan efektif, maka sasaran harus dibentuk spesifik, terukur, terang kriterianya, dan disertai indikator-indikator yang rinci. Meskipun sasaran bersumber dari tujuan, namun dalam penentuan sasaran yang mana dan berapa besar kecilnya sasaran, tetap harus didasarkan atas tantangan positif yang dihadapi oleh sekolah.
3. Mengidentifikasi Tantangan Nyata Sekolah
Pada tahap ini, sekolah melaksanakan analisis output sekolah yang akhirnya berupa identifikasi tantangan positif yang dihadapi oleh sekolah. Tantangan yakni selisih (ketidaksesuaian) antara output sekolah dikala ini dan output sekolah yang diharapkan di masa yang akan tiba (tujuan sekolah). Besar kecilnya ketidaksesuaian antara output sekolah dikala ini (kenyataan) dengan output sekolah yang diharapkan (idealnya) di masa yang akan tiba memberitahukan besar kecilnya tantangan. Contoh tantangan kualitas: misalnya, kalau dalam tiga tahun ke dapan dicanangkan tujuanuntuk mencapai GSA sebesar +2, sementara dikala ini gres mencapai +0,4 berarti tantangan positif yang dihadapi sekolah yakni (+2)-(+0,4) = (+0,4). Misalnya lagi, juara lomba karya ilmiah cukup umur sekolah dikala ini berperingkat nomor 4 se kabupaten dan yang diharapkan akan meningkat menjadi peringkat nomor 1, maka besarnya tantangan yakni 1-4 (-3), kurang 3. Contoh tantangan efektivitas: dari 300 siswa yang ikut UAN, yang lulus 270 siswa, sehingga tantangannya yakni 30 siswa atau 10 persen yaitu berasal dari 30 siswa dibagi 300 siswa.
Output sekolah dikala ini sanggup dengan gampang diidentifikasi, alasannya yakni tersedia datanya. Akan tetapi bagaimanakah caranya mengidentifikasi output sekolah yang diharapkan, sehingga output yang diharapkan tersebut cukup realistis? Caranya, perlu dilakukan analisis prakiraan (forecasting) lengkap dengan asumsi-asumsinya untuk menemukan kecenderungan-kecenderungan yang diharapkan di masa depan.
Pada umumnya, tantangan sekolah bersumber dari output sekolah yang sanggup dikategorikan menjadi empat, yaitu kualitas, produktivitas, efektivitas, dan efisiensi.
Kualitas yakni citra dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa, yang memperlihatkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan, kualitas yang dimaksud yakni kualitas output sekolah yang bersifat akademik (misal: NUAN dan LKIR) dan non-akademik (misal: olah raga dan kesenian). Mutu output sekolah dipengaruhi oleh tingkat kesiapan input dan proses persekolahan.
Produktivitas yakni perbandingan antara output sekolah dibanding input sekolah. Baik output maupun input sekolah yakni dalam bentuk kuantitas. Kuantitas input sekolah, contohnya jumlah guru, modal sekolah, bahan, dan energi. Kuantitas output sekolah, contohnya jumlah siswa yang lulus sekolah setiap tahunnya. Contoh produktivitas, misalnya, kalau tahun ini sebuah sekolah lebih banyak meluluskan siswanya dari pada tahun kemudian dengan input yang sama (jumlah guru, fasilitas, dsb.), maka sanggup dikatakan bahwa tahun ini sekolah tersebut lebih produktif dari pada tahun sebelumnya.
Efektivitas yakni ukuran yang menyatakan sejauhmana tujuan (kualitas, kuantitas, dan waktu) telah dicapai. Dalam bentuk persamaan, efektivitas sama dengan hasil positif dibagi hasil yang diharapkan. Misalnya, NUAN idealnya berjumlah 60, namun NUAN yang diperoleh siswa hanya 45, maka efektivitasnya yakni 45:60 = 75%.
Efisiensi sanggup diklasifikasikan menjadi dua yaitu efisiensi internal dan efisiensi eksternal. Efisiensi internal menunjuk kepada hubungan antara output sekolah (pencapaian prestasi belajar) dan input (sumberdaya) yang dipakai untuk memproses/menghasilkan output sekolah. Efisiensi internal sekolah biasanya diukur dengan biaya-efektivitas. Setiap penilaian biaya-efektivitas selalu memerlukan dua hal, yaitu penilaian ekonomik untuk mengukur biaya masukan (input) dan penilaian hasil pembelajaran (prestasi belajar, usang belajar, angka putus sekolah). Misalnya, kalau dengan biaya yang sama, tetapi NUAN tahun ini lebih baik dari pada NUAN tahun lalu, maka sanggup dikatakan bahwa tahun ini sekolah yang bersangkutan lebih efisien secara internal dari pada tahun lalu. Efisiensi eksternal yakni hubungan antara biaya yang dipakai untuk menghasilkan tamatan dan laba kumulatif (individual, sosial, ekonomik, dan non-ekonomik) yang didapat sehabis pada kurun waktu yang panjang diluar sekolah. Analisis biaya-manfaat merupakan alat utama untuk mengukur efisiensi eksternal. Misalnya, dua sekolah Sekolah Menengah Pertama 1 dan Sekolah Menengah Pertama 2 dengan memakai biaya yang sama setiap tahunnya. Akan tetapi, lulusan Sekolah Menengah Pertama 1 mendapatkan upah yang lebih besar dari pada lulusan Sekolah Menengah Pertama 2 sehabis mereka bekerja. Oleh alasannya yakni itu sanggup dikatakan bahwa Sekolah Menengah Pertama 1 lebih efisien secara eksternal dari pada Sekolah Menengah Pertama 2.
4. Merumuskan Sasaran (Tujuan Situasional)
Berdasarkan tantangan positif yang dihadapi sekolah, maka dirumuskanlah sasaran/tujuan situasional yang akan dicapai oleh sekolah. Meskipun sasaran dirumuskan berdasarkan atas tantangan positif yang dihadapi oleh sekolah, namun perumusan sasaran tersebut harus tetap mengacu pada visi, misi, dan tujuan sekolah, alasannya yakni visi, misi, dan tujuan sekolah merupakan sumber pengertian (sumber referensi) bagi perumusan sasaran sekolah. Karena itu, sebelum merumuskan sasaran sekolah yang akan dicapai, setiap sekolah harus mempunyai visi, misi, dan tujuan sekolah.
Sasaran sebaiknya hanya untuk waktu yang relatif pendek, contohnya untuk satu tahun ajaran. Dengan demikian sasaran (misalnya untuk 1 tahun) pada dasarnya merupakan tahapan untuk mencapai tujuan jangka menengah (misalnya untuk jangka 3 tahun). Ketika menentukan sasaran, prioritas harus dipertimbangkan sungguh-sungguh. Jika tujuan yang telah dicanangkan meliputi 5 aspek, apakah kelimanya akan digarap pada tahun pertama, atau hanya beberapa saja. Hal itu sangat tergantung kondisi sekolah.
5. Mengidentifikasi Fungsi-Fungsi yang Diperlukan untuk Mencapai Sasaran
Setelah sasaran dipilih, maka langkah berikutnya yakni mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai sasaran dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud, misalnya, fungsi proses berguru mengajar beserta fungsi-fungsi pendukungnya yaitu fungsi pengembangan kurikulum, fungsi perencanaan dan evaluasi, fungsi ketenagaan, fungsi keuangan, fungsi pelayanan kesiswaan, fungsi pengembangan iklim akademik sekolah, fungsi hubungan sekolah-masyarakat, dan fungsi pengembangan fasilitas.
6. Melakukan Analisis SWOT
Setelah fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai sasaran diidentifikasi, maka langkah berikutnya yakni menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat).
Analisis SWOT dilakukan dengan maksud untuk mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi sekolah yang diharapkan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Untuk mengetahui tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya dicapai melalui membandingkan faktor dalam kondisi positif dengan faktor dalam kriteria kesiapan. Yang dimaksud dengan kriteria kesiapan faktor yakni faktor yang memenuhi kriteria/standar untuk mencapai sasaran/tujuan situasional. Faktor yang memenuhi kriteria/standar ini ditemukan melalui perhitungan-perhitungan atau pertimbangan-pertimbangan yang bersumber pada pencapaian sasaran.
Berhubung tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan masing-masing faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal. Faktor internal yakni faktor-faktor pada setiap fungsi yang berada didalam kewenangan sekolah. Sedangkan yang dimaksud faktor eksternal yakni faktor-faktor pada setiap fungsi yang berada diluar kewenangan sekolah. Misalnya, fungsi proses berguru mengajar terdiri dari banyak faktor, satu diantaranya sikap mengajar guru (faktor internal) dan satu lainnya kondisi lingkungan sosial masyarakat (faktor eksternal). Perilaku mengajar guru digolongkan faktor internal alasannya yakni sekiranya sikap tersebut perlu diubah, masih dalam kewenangan sekolah. Sebaliknya, kondisi lingkungan sosial masyarakat digolongkan sebagai faktor eksternal alasannya yakni sekiranya kondisi tersebut ingin diubah, diluar kewenangan sekolah.
Tingkat kesiapan harus memadai, artinya, minimal memenuhi ukuran/kriteria kesiapan yang diharapkan untuk mencapai sasaran, yang dinyatakan sebagai: kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal; peluang, bagi faktor yang tergolong eksternal. Sedang tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya tidak memenuhi ukuran kesiapan, dinyatakan bermakna: kelemahan, bagi faktor yang tergolong internal; dan ancaman, bagi faktor yang tergolong eksternal. Baik kelemahan maupun ancaman, sebagai faktor yang mempunyai tingkat kesiapan kurang memadai, disebut persoalan.
Alternatif Langkah Pemecahan Persoalan
Dari hasil analisis SWOT, maka langkah berikutnya yakni menentukan langkah-langkah pemecahan masalah (peniadaan) persoalan, yakni tindakan yang diharapkan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan, yang sama artinya dengan ada ketidaksiapan fungsi, maka sasaran yang telah ditetapkan tidak akan tercapai. Oleh alasannya yakni itu, semoga sasaran tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah ketidaksiapan menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut langkah-langkah pemecahan persoalan, yang hakekatnya merupakan tindakan mengatasi makna kelemahan dan/atau ancaman, semoga menjadi kekuatan dan/atau peluang, yakni dengan memanfaatkan adanya satu/lebih faktor yang bermakna kekuatan dan/atau peluang.
7. Menyusun Rencana dan Program Peningkatan Mutu
Berdasarkan langkah-langkah pemecahan masalah tersebut, sekolah bahu-membahu dengan semua unsur-unsurnya menciptakan planning untuk jangka pendek, menengah, dan panjang, beserta program-programnya untuk merealisasikan planning tersebut. Sekolah tidak selalu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan bagi pelaksanaan MBS, sehingga perlu dibentuk skala prioritas untuk jangka pendek, menengah, dan panjang.
Rencana yang dibentuk harus menjelaskan secara detail dan lugas tentang: aspek-aspek mutu yang ingin dicapai, kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan, siapa yang harus melaksanakan, kapan dan dimana dilaksanakan, dan berapa biaya yang diharapkan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut. Hal ini diharapkan untuk memudahkan sekolah dalam menjelaskan dan memperoleh derma dari pemerintah maupun dari orangtua siswa, baik derma pemikiran, moral, material maupun finansial untuk melaksanakan planning peningkatan mutu pendidikan tersebut. Rencana yang dimaksud harus juga memuat planning anggaran biaya (rencana biaya) yang diharapkan untuk merealisasikan planning sekolah.
Hal pokok yang perlu diperhatikan oleh sekolah dalam penyusunan planning yakni keterbukaan kepada semua pihak yang menjadi stakeholder pendidikan, khususnya orangtua siswa dan masyarakat (BP3/Komite Sekolah) pada umumnya. Dengan cara demikian akan diperoleh kejelasan, berapa kemampuan sekolah dan pemerintah untuk menanggung biaya planning ini, dan berapa sisanya yang harus ditanggung oleh orangtua penerima didik dan masyarakat sekitar. Dengan keterbukaan planning ini, maka kemungkinan kesulitan memperoleh sumberdana untuk melaksanakan planning ini bisa dihindari.
Jika planning yakni merupakan deskripsi hasil yang diharapkan dan sanggup dipakai untuk keperluan penyelenggaraan kegiatan sekolah, maka kegiatan yakni alokasi sumberdaya (sumberdaya insan dan sumberdaya selebihnya, misalnya, uang, bahan, peralatan, perlengkapan, perbekalan, dsb.) kedalam kegiatan-kegiatan, berdasarkan jadwal waktu dan memperlihatkan tatalaksana yang sinkron. Dengan kata lain, kegiatan yakni bentuk dokumen untuk menggambarkan langkah mewujudkan sinkronisasi dalam ketatalaksanaan.
8. Melaksanakan Rencana Peningkatan Mutu
Dalam melaksanakan planning peningkatan mutu pendidikan yang telah disetujui bersama antara sekolah, orangtua siswa, dan masyarakat, maka sekolah perlu mengambil langkah proaktif untuk mewujudkan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Kepala sekolah dan guru hendaknya mendayagunakan sumberdaya pendidikan yang tersedia semaksimal mungkin, memakai pengalaman-pengalaman masa kemudian yang dianggap efektif, dan memakai teori-teori yang terbukti bisa meningkatkan kualitas pembelajaran. Kepala sekolah dan guru bebas mengambil inisiatif dan kreatif dalam menjalankan program-program yang diproyeksikan sanggup mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Karena itu, sekolah harus sanggup membebaskan diri dari keterikatan-keterikatan birokratis yang biasanya banyak menghambat penyelenggaraan pendidikan.
Dalam melaksanakan proses pembelajaran, sekolah hendaknya menerapkan konsep berguru tuntas (mastery learning). Konsep ini menekankan pentingnya siswa menguasai materi pelajaran secara utuh dan sedikit demi sedikit sebelum melanjutkan ke pembelajaran topik-topik yang lain. Dengan demikian siswa sanggup menguasai suatu materi pelajaran secara tuntas sebagai prasyarat dan dasar yang besar lengan berkuasa untuk mempelajari tahapan pelajaran berikutnya yang lebih luas dan mendalam.
Untuk menghindari aneka macam penyimpangan, kepala sekolah perlu melaksanakan supervisi dan monitoring terhadap kegiatan-kegiatan peningkatan mutu yang dilakukan di sekolah. Kepala sekolah sebagai manajer dan pemimpin pendidikan di sekolahnya berhak dan perlu mengatakan arahan, bimbingan, dukungan, dan teguran kepada guru dan tenaga lainnya kalau ada kegiatan yang tidak sesuai dengan jalur-jalur yang telah ditetapkan. Namun demikian, bimbingan dan instruksi jangan hingga menciptakan guru dan tenaga lainnya menjadi amat terkekang dalam melaksanakan kegiatan, sehingga kegiatan tidak mencapai sasaran.
9. Melakukan Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program, sekolah perlu mengadakan penilaian pelaksanaan program, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Evaluasi jangka pendek dilakukan setiap selesai catur wulan untuk mengetahui keberhasilan kegiatan secara bertahap. Bilamana pada satu catur wulan dinilai adanya faktor-faktor yang tidak mendukung, maka sekolah harus sanggup memperbaiki pelaksanaan kegiatan peningkatan mutu pada catur wulan berikutnya. Evaluasi jangka menengah dilakukan pada setiap selesai tahun, untuk mengetahui seberapa jauh kegiatan peningkatan mutu telah mencapai sasaran-sasaran mutu yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan penilaian ini akan diketahui kekuatan dan kelemahan kegiatan untuk diperbaiki pada tahun-tahun berikutnya.
Dalam melaksanakan evaluasi, kepala sekolah harus mengikutsertakan setiap unsur yang terlibat dalam program, khususnya guru dan tenaga lainnya semoga mereka sanggup menjiwai setiap penilaian yang dilakukan dan mengatakan alternatif pemecahan. Demikian pula, orangtua penerima didik dan masyarakat sebagai pihak eksternal harus dilibatkan untuk menilai keberhasilan kegiatan yang telah dilaksanakan. Dengan demikian, sekolah mengetahui bagaimana sudut pandang pihak luar bila dibandingkan dengan hasil penilaian internal. Suatu hal yang bisa terjadi bahwa orangtua penerima didik dan masyarakat menilai suatu kegiatan gagal atau kurang berhasil, walaupun pihak sekolah menganggapnya cukup berhasil. Yang perlu disepakati yakni indikator apa saja yang perlu ditetapkan sebelum penilaian dilakukan. Untuk lebih detailnya wacana monitoring dan penilaian MBS.
Hasil penilaian pelaksanaan MBS perlu dibentuk laporan yang terdiri dari laporan teknis dan keuangan. Laporan teknis menyangkut kegiatan pelaksanaan dan hasil MBS, sedang laporan keuangan meliputi penggunaan uang serta pertanggungjawabannya. Jika sekolah melaksanakan upaya-upaya penambahan pendapatan (income generating activities), maka pendapatan komplemen tersebut harus juga dilaporkan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban (akuntabilitas), maka laporan harus dikirim kepada Pengawas, Dinas Pendidikan Kabupaten, Komite Sekolah, Orang Tua Siswa dan Yayasan (bagi sekolah swasta).
10. Merumuskan Sasaran Mutu Baru
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, hasil penilaian berkhasiat untuk dijadikan alat bagi perbaikan kinerja kegiatan yang akan datang. Namun yang tidak kalah pentingnya, hasil penilaian merupakan masukan bagi sekolah dan orangtua penerima didik untuk merumuskan sasaran mutu gres untuk tahun yang akan datang. Jika dianggap berhasil, sasaran mutu sanggup ditingkatkan sesuai dengan kemampuan sumberdaya yang tersedia. Jika tidak, bisa saja sasaran mutu tetap menyerupai sediakala, namun dilakukan perbaikan seni administrasi dan prosedur pelaksanaan kegiatan. Namun tidak tertutup kemungkinan, bahwa sasaran mutu diturunkan, alasannya yakni dianggap terlalu berat atau tidak sepadan dengan sumberdaya pendidikan yang ada (tenaga, sarana dan prasarana, dana) yang tersedia.
Setelah sasaran gres ditetapkan, kemudian dilakukan analisis SWOT untuk mengetahui tingkat kesiapan masing-masing fungsi dalam sekolah, sehingga sanggup diketahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Dengan informasi ini, maka langkah-langkah pemecahan masalah segera dipilih untuk mengatasi faktor-faktor yang mengandung persoalan. Setelah ini, planning peningkatan mutu gres sanggup dibuat. Demikian seterusnya, caranya menyerupai urut-urutan nomor 2 s/d nomor 8 diatas.
E. Pengambilan Keputusan Partisipatif
Pengambilan keputusan partisipatif merupakan salah satu konsep dasar dari Manajemen Berbasis sekolah. Adapun yang dimaksud Pengambilan keputusan partisipatif berdasarkan David (Slamet PH: 2000) yakni suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan, orang bau tanah siswa, tokoh masyarakat) didorong untuk terlibat secara eksklusif dalam proses pengambilan keputusan yang akan sanggup berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa kalau seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam pengambilan keputusan, maka yang bersangkutan akan ada "rasa memiliki" terhadap keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah.
Esensi proses pengambilan keputusan partisipatif (Cangemi, 1985) yakni untuk mencari "wilayah kesamaan" antara kelompok-kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah (stakehorder) yaitu kepala sekolah, guru, siswa, orangtua siswa, dan pemerintah/yayasan). Wilayah kesamaan inilah yang menjadi modal dasar untuk menumbuhkan "rasa memiliki" bagi semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah dan ini sanggup dilakukan secara efektif melalui pelibatan semua kelompok kepentingan dalam proses pengambilan keputusan.
BAB III PEMBAHASAN
Esensi konsep MBS yakni otonomi. Otonomi sanggup diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung. Makara otonomi sekolah yakni kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah berdasarkan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Untuk mencapai otonomi sekolah, diharapkan suatu proses yang disebut "desentralisasi". Desentralisasi yakni penyerahan wewenang pemerintahan pendidikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dari pemeritah Dati I ke Dati II, dari Dati II ke sekolah, dan bahkan dari sekolah ke guru, tetapi harus tetap dalam kerangka pendidikan nasional. Pengalaman selama ini memperlihatkan bahwa pendidikan yang diatur secara "sentralistik" menghasilkan fenomena-fenomena menyerupai berikut: lamban berubah/beradaptasi, bersifat kaku, normatif sekali orientasinya alasannya yakni terlalu banyaknya lapis-lapis birokrasi, tidak jarang birokrasi mengendalikan fungsi dan bukan sebaliknya, uniformitas telah memasung kreativitas, dan tradisi serta serimoni yang penuh kepalsuan sudah menjadi kebiasaan. Kecil itu indah, yakni merupakan esensi desentralisasi. Menurut Bailey (1991), organisasi yang cakupan, pemerintahan, manajemen, dan ukurannya kecil, gampang beradaptasi. Karena itu, desentralisasi bukan lagi merupakan hal penting untuk diterapkan, tetapi sudah merupakan keharusan. Dengan desentralisasi, maka: (1) fleksibilitas pengambilan keputusan sekolah akan tumbuh dan berkembang dengan subur, sehingga keputusan sanggup dibentuk "sedekat" mungkin dengan kebutuhan sekolah; (2) akuntabilitas/pertanggunggugatan terhadap masyarakat (majelis sekolah, orangtua penerima didik, publik) dan pemerintah meningkat; dan (3) kinerja sekolah akan meningkat (efektivitasnya, kualitasnya, efisiensinya, produktivitasnya, inovasinya, provitabilitasnya, kualitas kehidupan kerjanya, dan moralnya).
A. Strategi Pelaksanaan MBS yang Tepat Guna Mewujudkan Keterlaksanaan MBS yang Bermutu
Dalam penerapan Manajemen Berbasis Sekolah perlu adanya seni administrasi yang tepat. Strategi yang sanggup ditempuh dalam melaksanakan administrasi berbasis sekolah dengan baik berdasarkan Slamet PH, (2000) adalah:
Mensosialiasikan konsep administrasi berbasis sekolah keseluruh warga sekolah, yaitu guru,siswa, wakil-wakil kepala sekolah, konselor, karyawan dan unsur-unsur terkait lainnya (orangtua murid, pengawas, wakil kandep, wakil kanwil, dsb.) melalui seminar, diskusi, lembaga ilmiah, dan media masa. Hendaknya dalam sosialisasi ini juga dibaca dan dipahami sistem, budaya, dan sumber daya sekolah yang ada secermat-cermatnya dan direfleksikan kecocokannya dengan sistem, budaya, dan sumber daya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan administrasi berbasis sekolah.
Melakukan analisis situasi sekolah dan luar sekolah yang akhirnya berupa tantangan positif yang harus dihadapi oleh sekolah dalam rangka mengubah administrasi berbasis pusat menjadi administrasi berbasis sekolah. Tantangan yakni selisih (ketidaksesuaian) antara keadaan kini (manajemen berbasis pusat) dan keadaan yang diharapkan (manajemen berbasis sekolah). Karena itu, besar kecilnya ketidaksesuaian antara keadaan kini (kenyataan) dan keadaan yang diharapkan (idealnya) memberitahukan besar kecilnya tantangan (loncatan).
Merumuskan tujuan situasional yang akan dicapai dari pelaksanaan administrasi berbasis sekolah berdasarkan tantangan positif yang dihadapi (butir 2). Segera sehabis tujuan situasional ditetapkan, kriteria kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya ditetapkan. Kriteria inilah yang akan dipakai sebagai standar atau kriteria untuk mengukur tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya.
Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan, maka perlu diidentifikasi fungsi-fungsi mana yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud meliputi antara lain: pengembangan kurikulum, pengembangan tenaga kependidikan dan nonkependidikan, pengembangan siswa, pengembangan iklim akademik sekolah, pengembangan hubungan sekolah-masyarakat, pengembangan fasilitas, dan fungsi-fungsi lain.
Menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity, and Threat). Analisis SWOT dilakukan dengan maksud mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi yang diharapkan untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan. Berhubung tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan masing-masing faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal. Tingkat kesiapan harus memadai, artinya, minimal memenuhi ukuran kesiapan yang diharapkan untuk mencapai tujuan situasional, yang dinyatakan sebagai: kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal; peluang, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal. Sedang tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya tidak memenuhi ukuran kesiapan, dinyatakan bermakna: kelemahan, bagi faktor yang tergolong faktor internal; dan ancaman, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal.
Memilih langkah-langkah pemecahan (peniadaan) persoalan, yakni tindakan yang diharapkan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan, yang sama artinya dengan ada ketidaksiapan fungsi, maka tujuan situasional yang telah ditetapkan tidak akan tercapai. Oleh alasannya yakni itu, semoga tujuan situasional tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah ketidaksiapan menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut langkah-langkah pemecahan persoalan, yang hakekatnya merupakan tindakan mengatasi makna kelemahan dan/atau ancaman, semoga menjadi kekuatan dan/atau peluang, yakni dengan memanfaatkan adanya satu/lebih faktor yang bermakna kekuatan dan/atau peluang.
Berdasarkan langkah-langkah pemecahan masalah tersebut, sekolah bahu-membahu dengan semua unsur-unsurnya menciptakan planning untuk jangka pendek, menengah, dan panjang, beserta program-programnya untuk merealisasikan planning tersebut. Sekolah tidak selalu mempunyai sumber daya yang cukup untuk melaksanakan administrasi berbasis sekolah idealnya, sehingga perlu dibentuk sekala prioritas untuk planning jangka pendek, menengah, dan panjang.
Melaksanakan program-program untuk merealisasikan planning jangka pendek administrasi berbasis sekolah. Dalam pelaksanaan, semua input yang diharapkan untuk berlangsungnya proses (pelaksanaan) administrasi berbasis sekolah harus siap. Jika input tidak siap/tidak memadai, maka tujuan situasional tidak akan tercapai. Yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan yakni pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, dan pengelolaan proses berguru mengajar.
Pemantauan terhadap proses dan penilaian terhadap hasil administrasi berbasis sekolah perlu dilakukan. Hasil pantauan proses sanggup dipakai sebagai umpan balik bagi perbaikan penyelenggaraan dan hasil penilaian sanggup dipakai untuk mengukur tingkat ketercapaian tujuan situasional yang telah dirumuskan. Demikian kegiatan ini dilakukan secara terus-menerus, sehingga proses dan hasil administrasi berbasis sekolah sanggup dioptimalkan.
Sembilan seni administrasi pelaksanaan MBS tersebut di atas akan sanggup berjalan dengan baik apabila kepala sekolah dalam kepemimpinannya bisa melaksanakan budaya pengambilan keputusan partisipatif.
B. Penerapan Budaya Pengambilan Keputusan Partisipatif untuk Mewujudkan MBS yang Bermutu
Sebagaimana dikemukakan pada Landasan Teori bahwa pengambilan keputusan partisipatif merupakan suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan, orang bau tanah siswa, tokoh masyarakat) didorong untuk terlibat secara eksklusif dalam proses pengambilan keputusan yang akan sanggup berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.
Teknik pengambilan keputusan menyerupai ini dilandasi oleh keyakinan bahwa kalau seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam pengambilan keputusan, maka yang bersangkutan akan ada "rasa memiliki" terhadap keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya: makin besar tingkat pertisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula dedikasinya. Tentu saja pelibatan warga sekolah dalam pengambilan keputusan harus mempertimbangkan keahlian, yurisdiksi, dan relevansinya dengan tujuan pengambilan keputusan sekolah.
Bagaimana menerapkan pengambilan keputusan partisipatif? Menurut Cangemi (dalam Slamet PH: 2000), paling tidak ada tiga pertanyaan yang harus dijawab oleh kepala sekolah sewaktu akan menerapkan pengambilan keputusan partisipatif: (1) bagaimana cara menentukan, dalam setiap kasus, apakah cocok dan produktif kalau pengambilan keputusan melibatkan kelompok-kelompok kepentingan?; (2) kemudian, kalau proses pengambilan keputusan perlu melibatkan kelompok-kelompok kepentingan, pertanyaan kedua adalah: serpihan yang mana dari proses pengambilan keputusan yang perlu melibatkan kelompok-kelompok kepentingan?; (3) pertanyaan ketiga yakni cara yang mana (apa) yang paling efektif untuk melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan?
Tentunya tidak semua wilayah (zona) pengambilan keputusan harus melibatkan semua kelompok kepentingan. Ada wilayah-wilayah yang memang merupakan hak prerogatif pimpinan untuk diputuskan secara sendirian dan bawahan harus menerimanya tanpa syarat. Kalaupun pimpinan melibatkan kelompok-kelompok kepentingan, maka hal ini harus dipikirkan secara mendalam dan terkontrol pelaksanaannya.
Ada empat petunjuk untuk mengidentifikasi pengambilan keputusan yang harus melibatkan para kelompok kepentingan, yaitu relevansi, kompetensi, yurisdiksi, dan kompatibilitas tujuan. Relevansi yakni tingkat relevansinya. Sekiranya keputusan yang akan diambil relevan dengan kebutuhan kelompok kepentingan tertentu (kelompok yang bakal terkena dampak keputusan), maka pengambilan keputusan sebaiknya melibatkan kelompok kepentingan tersebut. Kompetensi, yakni uji keahlian. Artinya, kelompok kepentingan yang akan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, harus mempunyai sesuatu untuk dikontribusikan. Mereka harus mempunyai kompetensi untuk ikut serta dalam memecahkan persoalan-persoalan yang terkait dengan kepentingannya. Yurisdiksi mengandung pengertian bahwa sekolah didirikan untuk menjalankan fungsinya melalui struktur-herarkis. Oleh alasannya yakni itu, ada batas-batas yurisdiksi yang memang tidak semua kelompok kepentingan harus terlibat dalam pengambilan keputusan. Pelibatan yang tidak proporsional secara yurisdiksi akan cenderung menciptakan putus asa dan kemarahan yang tidak berdasar. Keempat, uji kompatibilitas tujuan. Apabila kompatibilitas tujuan dari semua kelompok kepentingan diinginkan, maka pelibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan sangat diperlukan.
Untuk sanggup menerapkan pengambilan keputusan partispatif, ada beberapa model yang sanggup digunakan, di antaranya:
1) Pemberitahuan
Di sini kepala sekolah mengambil keputusan secara sendirin. Dia tidak mencari informasi dan tidak mencari nasehat dari orang lain. Dia mempercayakan pada pengalamannya sendiri dan penelitiannya sendiri, dan semata-mata mengumumkan keputusannya. Gaya ini cocok untuk keputusan-keputusan yang terletak diluar zona kepedulian karyawan.
(2) Pengumpulan Informasi
Disini kepala sekolah memakai kelompok kepentingan tertentu hanya untuk tujuan pengumpulan informasi (penelitian masalah). Partisipan tidak diundang untuk tiba bahu-membahu dan bahkan tidak tahu siapa saja yang dimintai informasi. Melalui pembicaraan telpon atau laporan tertulis, kepala sekolah mencoba menarik donasi dari kelompok kepentingan tertentu semoga supaya sanggup mengambil keputusan oleh dirinya sendiri. Gaya semacam ini hanya berlaku secara terbatas untuk keputusan-keputusan marjinal diluar zona kepedulian karyawan.
(3) Pengumpulan Informasi dan Pembahasan
Di sini kepala sekolah berusaha mengumpulkan informasi dan memferifikasinya dengan mengundang secara bahu-membahu para kelompok kepentingan yang sanggup berkontribusi terhadap informasi awal yang telah dikumpulkan. Sewaktu informasi ini dicek-silang dan diklarifikasi, kolegialitas antar kelompok kepentingan tidak terlalu didorong/dimunculkan. Dari informasi cek-silang ini, kemudian Kepala Sekolah akan menggunakannya untuk masukan bagi pengambilan keputusan yang akan dilakukan oleh dirinya sendiri.
4) Pengumpulan Pendapat dan Pembahasan
Di sini kepala sekolah meminta bawahannya untuk menginterpretasi informasi yang telah dibagi-bagikan kepada mereka. Dia memanfaatkan mereka untuk menjelaskan makna data-data yang telah dibagi-bagikan keseluruh kelompok. Pendapat-pendapat yang diusulkan mungkin bermacam-macam dan tidak bisa menghasilkan saran-saran umum terhadap Kepala Sekolah untuk memecahkan persoalan. Lagi-lagi, sepala sekolah mengambil keputusan oleh dirinya sendiri tetapi dalam hal ini beliau telah mendorong pertukaran pendapat secara bebas sewaktu dilakukan cek-silang antar kelompok kepentingan. Kondisi ini cocok kalau setiap kelompok kepentingan sanggup mendapatkan amanah untuk bagi-bagi pendapat dan mempunyai keahlian yang sesuai dengan keputusan yang akan diambil.
5) Debat, Dialog, dan Proteksi Ekuitas/Kesamaan
Dalam model ini, kepala sekolah tidak hanya mendorong pertukaran pendapat secara bebas, tetapi juga untuk meyakinkan bahwa individu-individu yang memperlihatkan pendapat harus berdebat untuk mempertahankan pendapatnya. Melalui interaksi ini kemudian dilakukan penilaian terhadap pendapat-pendapat tersebut sehingga ditemukan pendapat yang relatif lebih baik. Karena semua pendapat harus dilontarkan, maka kiprah kepala sekolah yakni melindungi pendapat-pendapat dari kelompok minoritas dan memberhentikan mereka yang telah habis waktunya dalam curah/debat pendapat. Dalam kiprah ini, kepala sekolah tetap akan mengambil keputusan oleh dirinya sendiri, namun beliau akan dipengaruhi secara signifikan oleh argumen-argumen yang disampaikan oleh para partisipan.
(6) Demokrasi
Model pengambilan keputusan semacam ini pada dasarnya memakai sistem "voting". Kepala sekolah menyerahkan sebagian besar wewenang pengambilan keputusannya, sehingga beliau akan berpartisipasi dalam diskusi tersebut dan beliau akan mengatakan suaranya melalui "voting", dan oleh alasannya yakni itu keputusan final akan ditentukan oleh bunyi mayoritas. Teknik ini cocok untuk pengambilan keputusan yang kontroversial, dimana konsensus sukar dicapai.
7) Konsensus
Di sini kepala sekolah mendorong munculnya pendapat-pendapat yang bermacam-macam dan beliau bertindak sebagai parlementarian untuk menjamin hak-hak yang sama dari semua penerima yang terlibat dalam diskusi. Segera sehabis kelompok diskusi mengarah kepada kesepakatan, beliau meringkasnya dan mengklarifikasi isu-isu tersebut. Dia memimpin diskusi, tetapi beliau tidak menempatkan pendapatnya di atas penerima diskusi. Dia berusaha membawa kelompok diskusi kearah persetujuan terhadap alternatif terbaik, yaitu alternatif yang sanggup diterima oleh kelompok secara keseluruhan. Ini tidak berarti bahwa setiap penerima akan puas secara total terhadap keputusan, akan tetapi paling tidak setiap penerima seyogyanya puas terhadap keputusan tersebut alasannya yakni inilah keputusan terbaik yang sanggup dicapainya.
(8) Delegasi
Dalam kondisi-kondisi tertentu, suatu keputusan tidak harus ditangani oleh kepala sekolah, alasannya yakni keputusan tersebut tidak relevan baginya maupun bagi sekolahnya. Dia tidak mempunyai keahlian untuk berkontribusi dan alasannya yakni itu beliau mendelegasikan keputusan kepada bawahannya (guru, konselor, BP3, dsb.). Dia tidak berpartisipasi. Dia tidak mengganggu hasil selesai keputusan, namun bisa saja beliau merupakan salah seorang yang memperlihatkan adanya permasalahan.
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada serpihan I hingga III, sanggup ditarik beberapa simpulan, antara lain sebagai berikut:
Manajemen Berbasis Sekolah yakni model administrasi yang mengatakan otonomi lebih besar kepada sekolah, mengatakan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara eksklusif warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Langkah-langkah seni administrasi pelaksanaan MBS sempurna yakni a) mensosialisasikan konsep MBS; b) melaksanakan analisis sasaran; c) merumuskan sasaran, d) mengidentifikasi fungsi-fungsi yang diharapkan untuk mencapai sasaran, e) melaksanakan analisis SWOT, f) menyusun planning sekolah, g) mengimplementasikan planning sekolah, h) melaksanakan evaluasi, dan i) merumuskan sasaran baru.
Pengambilan keputusan partisipatif merupakan cara mengambil keputusan yang melibatkan semua kelompok atau komponen sekolah, terutama pihak-pihak yang akan melaksanakan keputusan dan yang akan terkena dampak keputusan.
Ketepatan seni administrasi pelaksanaan MBS serta penggunaan penerapan budaya pengambilan keputusan partisipatif merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan kepala sekolah dalam melaksanakan MBS.
B. Saran
Kepala sekolah yang baik sewajar untuk melibatkan seluruh komponen sekolah dalam menentukkan kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan sekolah.
Salah satu cara melibatkan seluruh komponen sekolah adalah dengan penerapan budaya pengambilan keputusan partisipatif. Artinya, dalam mengambil keputusan sebaiknya unsur-unsur sekolah terlibat di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aburizal Bakrie. 1999. Mengefektifkan Sistem Pendidikan Ganda. (Makalah Disampaikan pada Rapat Kerja Majelis Pendidikan Kejuruan Nasional, 29 Maret 1999) di Jakarta.
Bailey, William J. 1991. Schhol-Site Management Applied. Lancaster-Basel: Technomic Publishing CO.INC.
Direktorat Dikmenum. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.
Direktorat Dikmenum. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.
Dewan Perwakilan Rakyat. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 wacana Pemerintahan Daerah. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat.
Dewan Perwakilan Rakyat. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 wacana Pemerintahan Daerah. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat.
Dewan Perwakilan Rakyat. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 wacana Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonomi. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat.
Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat PLP 2005. Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Direktorat PLP.
Direktorat Pendidikan Menengah Umum. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Buku 1). Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Departemen Pendidikan Nasional.
Poernomosidi Hadjisarosa. 1997. Naskah 1: Butir-Butir untuk Memahami Pengertian Mengenali Hal Secara Utuh dan Benar (Bahan Kuliah STIE Mitra Indonesia).
Slamet PH. 2000. Menuju Pengelolaan Pendidikan Berbasis Sekolah. Makalah Disampaikann dalam Seminar Regional dengan Tema "Otonomi Pendidikan dan Implementasinya dalam EBTANAS" pada Tanggal 8 Mei 2000 di Universitas Panca Marga Probolinggo, Jawa Timur.
Slamet PH (2000). Menuju Pengelolaan Pendidikan Berbasis Sekolah. Makalah pada Acara Seminar dan Temu Alumni Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta dengan Tema "Pendidikan yang Berwawasan Pembebasan: Tantangan Masa Depan" pada Tanggal 27 Mei 2000 di Ambarukmo Palace Hotel, Yogyakarta.
Sumarno dkk. (2000). Otonomi Pendidikan. Kertas Kerja yang Dibahas di Universitas Negeri Yogyakarta dalam Rangka Memberi Masukan kepada Menteri Pendidikan Nasional (tidak dipublikasikan).
Label: Contoh Makalah Untuk Seleksi Calon Kepala Sekolah
0 Komentar untuk "Budaya Pengambilan Keputusan Partisipatif Sebagai Faktor Penentu Keterlaksanaan Mbs Yang Bermutu”"