Analisis Cerpen : Keluarga Pejuang Karya Tri Budhi Sastrio

ANALISIS CERPEN :  KELUARGA PEJUANG KARYA TRI BUDHI SASTRIO

Cerpen yaitu cerita pendek, jenis karya sastra yang memaparkan kisah ataupun dongeng perihal insan beserta seluk beluknya lewat goresan pena pendek. Atau definisi cerpen yang lainnya yaitu merupakan karangan fiktif yang isinya sebagian kehidupan seseorang atau juga kehidupan yang diceritakan secara ringkas yang berfokus pada suatu tokoh saja.

Adapaun Unsur intrinsik cerpen
A. Tema
Gagasan pokok yang mendasari dari sebuah cerita. Tema-tema pada umumnya yang terdapat dalam sebuah dongeng biasanya sanggup eksklusif terlihat terperinci di dalam dongeng (tersurat) dan tidak langsung, dimana si pembaca harus bisa menyimpulkan sendiri (tersirat).
B. Alur (Plot)
Jalan dari dongeng sebuah karya sastra. Secara garis besarnya urutan tahapan alur dalam sebuah dongeng antara antara lain: perkenalan > mucul konflik atau permasalahan > peningkatan konflik – puncak konflik atau titik puncak > penurunan konflik > penyelesaian.
C. Setting atau latar
Kalau setting sangat berkaitan dengan tempat, waktu, dan suasana dalam sebuah dongeng tersebut.
D. Tokoh Atau Pelaku
Yaitu pelaku pada sebuah cerita. Setiap tokoh biasanya memiliki tabiat , sikap, sifat dan juga kondisi fisik yang disebut dengan perwatakan atau karakter. Dalam dongeng terdapat tokoh protagonis (tokoh utama dalam sebuah cerita), antagonis (lawan dari tokoh utama atau protagonis) dan tokoh figuran  (tokoh pendukung untuk cerita).
E. Penokohan (perwatakan)
Pemberian sifat pada tokoh atau pelaku cerita. Sifat yang telah diberikan akan tercermin pada pikiran, ucapan, serta pandangan tokoh terhadap sesuatu. Metode penokohan ada 2 (dua) macam diantaranya:
Metode analitik yaitu metode penokohan yang memaparkan ataupun menyebutkan sifat tokoh secara langsung, contohnya seperti: penakut, sombong, pemalu, pemarah, keras kepala, dll.
Metode dramatik yaitu suatu metode penokohan secara tidak eksklusif memaparkan atau menggambarkan sifat tokoh melalui: Penggambaran fisik (Misalnya berpakaian, postur tubuh, bentuk rambut, warna kulit, dll), penggambaran melalui percakapan yang dilakukan oleh tokoh lain, Teknik reaksi tokoh lain (berupa pandangan, pendapat, sikap, dsb).
F. Sudut Pandang (Point of View)
Adalah visi pengarang dalam memandang suatu insiden di dalam cerita. Ada beberapa macam sudut pandang, diantaranya yaitu sudut pandang orang pertama (gaya bahasa dengan sudut pandang  “aku”), sudut pandang peninjau (orang ke-3), dan sudut pandang campuran. Sudut pandang sama juga dengan kata ganti orang. Secara umum, sudut pandang atau kata ganti orang dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
1. Kata ganti orang pertama (orang yang berbicara):
Tunggal, yaitu ditandai oleh kata “aku , saya” dll.
Jamak, yaitu ditandai oleh “kata kami dan kita”.
2. Kata ganti orang kedua (orang yang dibicarakan)
Tunggal, yaitu ditandai oleh kata “kamu, engkau, saudara, ada, bapak,” dll.
Jamak, yaitu ditandai oleh kata “kalian”.
3. Kata ganti orang ketiga (orang yang dibicarakan)
Tunggal, yaitu ditandai oleh kata “Ia, dia, beliau,” dll.
Jamak, taitu ditandai oleh kata “mereka”.
G. Amanat atau pesan
Yaitu amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya kepada pembaca atau pendengar. Pesan bisa berupa harapan, nasehat, dan sebagainya.

Berikut ini referensi Cerita Pendek Atau Cerpen
KELUARGA PEJUANG
Oleh :
Tri Budhi Sastrio
Antara takut dan berani adakala sulit dibedakan. Apalagi  kalau takut dan berani hanya dianalogikan dengan peran. Tak ada kiprah yang takut tak ada kiprah yang berani. Yang  ada  adalah  semua  kiprah sama mulianya sama beraninya!
"Kalau engkau perempuan saya masih bisa memakluminya, tetap engkau laki-laki! Engkau bisa berbuat lebih banyak kalau bergabung  dengan kesatuanku!"
Yang berbicara sambil berjalan bolak-balik itu yaitu Subroto. Lencana kain di lengan kirinya, bergambar burung elang, menunjukkan siapa dirinya. Subroto yaitu anggota Laskar Elang yang selama ini selalu menciptakan tentara Jepang kelabakan. Sedangkan pria kurus kecil yang duduk di dingklik membelakanginya yaitu Kartono, adik kandung satu-satunva. Ayah dan ibu mereka telah tiada. Cuma tinggal Subroto dan Kartono. Ketika ketegangan semakin memuncak, Subroto jarang sekal berada di rumah besar warisan orang renta mereka. Cuma Kartono yang membisu di rumah itu mencoba merawat warisan orang tuanya sebisa mungkin
Malam itu tiba-tiba Subroto muncul. Di samping membutuhkan dana, dia juga ditugaskan mencari tenaga-tenaga baru. Laskar Elang akhir-akhir ini  kehilangan berbagai anggota. Aksi mereka yang berani bahkan kadang-kadang nekad memang sangat merepotkan pihak Jepang. Berkali-kali mereka berhasil menyusup ke daerah pertahanan lawan. Berkali-kali pula mereka berhasil menciptakan banyak kerusakan, meskipun tidak sanggup disangkal bahwa setiap keberhasilan agresi selalu disertai hilangnya anggota terbaik mereka.
Nama Laskar Elang selama ini menjadi buah bibir penduduk tempat itu. Kalau ada gudang masakan milik Jepang kena rampok, orang segera yakin bahwa pelakunya yaitu Laskar Elang. Kalau ada gudang mesiu tiba-tiba meledak, siapa lagi pelakunya kalau bukan Laskar Elang.
"Aku ingin menjual beberapa komplemen peninggalan ayah dan ibu!" begitu kata Subroto ketika tadi dia datang. "Kesatuanku memerlukan banyak dana untuk membeli masakan dan obat-obatan."
Kartono yang terkejut tapi besar hati melihat kedatangan abang yang cuma satu-satunya ini eksklusif mengganguk setuju.
"Kalau untuk usaha semua barang-barang dalam rumah ini boleh abang jual, begitu pesan ayah padaku dulu!" jawab Kartono.
Ketika ayah mereka meninggal, Subroto memang sedang tidak ada di rumah. Cuma Kartono yang berada di samping orang renta mereka. Segala pesan untuk mereka berdua, Kartono-lah yang tahu.
Setelah selesai mengumpulkan komplemen secukupnya, Subroto mengutarakan maksud kedatanganya meminta Kartono bergabung dengan kesatuannya, yang waktu itu sedang kekurangan anggota.
"Engkau dilarang berdiam terus tanpa melaksanakan apa-apa, adikku," katanya membujuk. "Rumah ini bisa engkau tinggalkan, toh, tidak akan hilang. Perjuangan semakin memuncak sekarang. Seluruh rakyat diminta untuk menyumbangkan tenaga, pikiran maupun harta bendanya. Begitu juga dengan engkau adikku. Tenagamu sangat diperlukan. Ayo, bergabunglah dengan kakakmu!"
"Tetapi ...."
"Kalau seandainya ayah masih hidup, dia niscaya sudah semenjak dulu-dulu meminta engkau bergabung denganku. Tetapi, engkau sepertinya segan berjuang. Mengapa adikku? Ingatlah, kakek, ayah dan saya semuanya turun eksklusif dalam perjuangan. Mengapa engkau tidak? Keluarga kami yaitu keluarga pejuang yang rela mengorbankan segala yang dimilikinya untuk usaha suci ini!"
Kartono tertunduk.
"Aku bukannya segan untuk berjuang atau tidak berani!" alhasil pria kurus kecil itu menjawab sambil mengangkat kepalanya. "Aku ingin ikut berjuang dengan  dirimu, kak! "Tetapi saya teringat akan pesan ayah.
Jagalah rumah ini, nak!" begitu kata ayah padaku.
"Kalau cuma ditinggalkan untuk sementara dan dikunci baik-baik, siapa yang akan berani merampok rumah ini? Seluruh tempat ini saya kenal baik, begitu juga dengan mereka. Mereka tahu kalau rumah besar ini rumah keluargaku. Seandainya tidak ibarat itu, kaupikir mengapa selama ini rumah kita seialu luput dari gangguan para penjarah harta? Karena kebetulan saja?' Tidak Kartono! Aku bersusah payah menghubungi mereka untuk tidak mengganggu rumah dan adikku ini!"
"Siapa yang kau maksud dengan mereka itu?" tanya Kartono
Subroto tersenyum. Adiknya memang jarang bepergian ke luar rumah. Kerjanya kalau tidak belajar, ya, membaca buku.
"Mereka perampok-perampok dan penggarong-penggarong!"
Baru kali ini nama dua profesi itu masuk ke telinganya. Sebelumnya tentu saja dia sudah pernah mendengar, cuma lewat buku-buku. Sekarang dia mendengar dari verbal kakaknya sendiri. Jadi, mereka memang benar-benar ada!
"Tetapi mereka kan seharusnya tidak merampok bangsanya sendiri? Mereka kan bisa merampok serdadu Jepang saja!"
"Mereka akan merampok siapa saja yang bisa dirampok!" kata Subroto. "Untung namaku sedikit kuat di tempat ini. Kalau tidak, bagaimana mungkin rumah sebesar ini sama sekali tidak diganggu? 'Tinggalkan saja rumah ini, saya jamin tidak ada yang berani mengganggunya! Tenagamu kami perlukan, Dik!"
"Aku mau membantu, kak! "Tetapi tidak dengan ikut bersama-samamu. Aku ingin mambantumu dari sini, dari rumah ini! Aku bisa merawat teman-temanmu yang luka. Aku sedikit-sedikit bisa kalau cuma merawat dan mengobati orang yang luka tertembak, umpamanya!"
Jawaban Subroto persis ibarat dipermulaan tadi.
"Kalau engkau perempuan, saya masih bisa memakluminya, tetapi engkau seorang laki-laki."
"Laki-laki juga boleh merawat pejuang-pejuang yang terluka, kak!"jawab Kartono lirih." Kalau mereka berhasil disembuhkan, bukankah tenaga mereka bisa berkhasiat lagi?"
Subroto menghela nafas. Adiknya ini meskipun kelihatan kurus dan kecil, tetapi dia tahu sifatnya. Lunak di luar, tetapi keras di dalam. Pernah ketika masih kecil, mereka berebut kelereng. Kartono mati-matian mempertahankan kelereng miliknya. Dia hingga menampar dan menempelengnya. Tetapi, Kartono tidak gentar. Kelereng itu tetap digenggamnya erat-erat. Matanya memang merah waktu itu, tetapi Kartono tidak pernah menangis. Seingatnya, Kartono memang tidak pernah dilihatnya menangis. Entah waktu maut ayah dulu!
"Sudah banyak perempuan merawat mereka yang luka, dik!" kata Subroto. "Yang kini kurang justru anggota laskar garis depan."
Kartono menatap kakaknya. Dengan lencana Burung Elang berwarna kuning di lengan kirinya, kakaknya tampak gagah. Sepatunya ternoda oleh lumpur di sana-sini, tetapi ini semua justru menambah keangkeran kakaknya. Kakaknya bertubuh kekar dan kuat, beda dengan dirinya, kurus kecil dan kegemarannya cuma membaca buku!
"Tetapi saya tidak sekuat engkau, kak! Bagaimana saya bisa membantumu di garis depan rnenghadapi serdadu-serdadu Jepang?"
Subroto kini tersenyum lebar. Ha ... ternyata adiknya menolak alasannya yaitu alasan ini. Apakah seorang pejuang harus bertubuh kuat? Atau apakah orang harus bertubuh kuat dulu gres boleh menjadi pejuang? Orang paling lemah sekali pun, asal semangatnya bergelora, dialah pejuang sejati.
"Seorang pejuang tidak ditentukan oleh keadaan tubuhnya, dik!" kata Subroto. "Seseorang boleh bertubuh kuat sekuat banteng, tetapi kalau jiwanya sekecil jiwa tikus, ya segera lari begitu mendengar langkah kucing, dia tidak bisa menjadi pejuang. Menjadi pengkhianat bisa. Tetapi orang dengan semangat baja, sanggup menjadi pejuang sejati. Sedangkan engkau ini, meskipun tubuhmu tidak sekuat tubuhku, tetapi siapa yang berani menyampaikan jiwamu lebih lemah dari aku? Tidak ada orang yang berani menyampaikan demikian! Jiwamu sekuat jiwaku, keberanianmu tidak kalah dengan keberanianku! Kau pejuang, dik!"
Subroto berhenti. Ingatannya terarah pada mendiang ayah dan ibunya. Kedua orang ini, sepanjang pengetahuannya, tidak segan-segan mengeluarkan harta membantu para perjaka yang harus berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain menghindari pengejaran Kumpeni Belanda. Mereka juga pejuang, kata Subroto pada dirinya. Sudah tepatkah dirinya memaksa adiknya mengikuti  jejaknya? Langsung terjun ke garis depan menghadapi peluru-peluru panas yang beterbangan mencari mangsa? Bagaimana kalau adiknya tewas di medan juang? Setiap usaha memang membutuhkan pengorbanan, tetapi bukankah usaha tidak cuma ada di garis depan? Ketika Kartono menolak ajakannya dia berusaha sekuat tenaga membujuknya. Tetapi sekarang, ketika Kartono mulai goyah pendiriannya, eh .., dia ragu-ragu.
Berbagai bayangan jelek melintas di benak Subroto! Ketika dia menyampaikan seandainya ayahnya masih hidup tentu orang renta itu akan mendorong Kartono untuk ikut dengan dirinya, itu bohong. Atau paling tidak, kurang tepat. Ayahnya niscaya tidak akan pernah mendorong Kartono berjuang eksklusif ke garis depan.
Bagi orang renta itu, tidak semua orang harus pergi ke garis depan untuk berjuang. Perjuangan di garis belakang, tidak kalah sulit dan pentingnya dibandingkan dengan usaha di garis depan. Siapa berani, menyampaikan mencari beras atau materi masakan lain yang sulit didapat, lebih gampang dibandingkan dengan menghadapi eksklusif peluru-peluru musuh? Siapa bilang menyediakan ransum untuk para pemuda, lebih gampang dibandingkan dengan penyusupan ke daerah musuh?
Segala bentuk gerakan itu memiliki kesulitan dan akomodasi masing-masing. Tanpa dukungan yang sempurna dari pejuang-pejuang di garis belakang, pejuang-pejuang di garis depan mungkin cuma bersinar sesaat untuk kemudian padam tak berguna. Perut lapar tak berisi, mustahil menciptakan seseorang bisa mengejar musuhnya, betapa pun besar semangat orang itu! Subroto tahu ini alasannya yaitu pernah mengalaminya. Tanpa proteksi penduduk desa berkali-kali mereka sudah hancur. Berkali-kali mereka lolos dari lubang jarum semata-mata alasannya yaitu proteksi orang-orang di garis belakang , yang  tidak eksklusif bergerak bantu-membantu mereka.
"Kakak akan berangkat kini juga?" tanya Kartono tiba-tiba memotong lamunannya. Subroto gelagapan. Dia masih sibuk dengan pikirannya ketika bunyi Kartono melintas di alam pikirannya.
"Ya, dik!" katanya.
"Aku juga harus ikut engkau sekarang?" tanya Kartono lagi.
Subroto tidak menjawab. Dia malah berjalan mendekat ke jendela. Perlukah dia menyeret adiknya ke kancah pertempuran? Tidakkah lebih baik adiknya tinggal di rumah dan membantu usaha dari garis belakang ibarat katanya tadi? Merawat mereka yang luka-luka, umpamanya. Subroto bingung! Laskar Elang memang sangat membutuhkan anggota baru. Tetapi, Kartono adiknya satu-satunya. Kalau Kartono gugur apakah dirinya tidak akan menyesal seumur hidup?
Juga bagaimana dia harus mempertanggungjawabkan ini semua kalau kelak bertemu dengan ayah dan ibunya di alam sana? Dia, sebagai seorang kakak, bukannya menjaga adiknya baik-baik, tetapi malah menjerumuskan? Tetapi saya tidak menjerumuskan adikku, bantah Subroto pada dirinya sendiri. Semua orang harus ikut berjuang membebaskan tanah kelahirannya. Semua orang harus terlibat. Tidak boleh ada yang berdiam diri. Tetapi adikmu kan tidak berdiam diri? Dia mau terlibat dengan caranya sendiri! Apakah membantu merawat mereka yang luka-luka kurang mulia dibandingkan dengan mereka yang eksklusif membunuh musuh di rnedan perang? Apakah kalau adikmu tetap tinggal di rumah ini dia kemudian tidak berkhasiat pada usaha yang sedang dilakukan? Pertanyaan ini silih berganti muncul dalam benaknya.
Subroto memegang kepalanya. Dia bingung. Justru kebingungan muncul sehabis dia hampir berhasil membujuk adiknya.
"Ada yang menyusahkanmu, kak?" tanya Kartono. Subroto berbalik.
"Kupikir sebaiknya engkau ikut membantu usaha ibarat yang kau katakan tadi!" kata Subroto.
"Kau tetap di rumah ini. Sambil tetap menjaga rumah ini kau bisa membantu merawat mereka yang luka. Akan kuberi tahu bab seksi kesehatan Laskar Elang untuk membawa sebagian mereka yang perlu dirawat ke rumah ini."
Sekarang Kartono yang heran. Mengapa kakaknya berubah begini cepat? Tadi dia yang mendesak-desak, kini malah berbalik menganjurkan hal yang lain.
"Tetapi saya sudah terlanjur membayangkan berjuang di garis depan, kak!" kata Kartono kekanak-kanakan."Aku sudah membayangkan, bagaimana saya merangkak dengan senapan di tangan, sementara peluru-peluru Jepang berseliweran di atasku. Aku kini jadi ingin sekali mencicipi itu. Aku ingin ibarat engkau, kak!"
Subroto berhalik lagi. Memandang jauh ke luar jendela. Semuanya sudah terlanjur begini, mengapa dia harus terus ragu-ragu. Mati hidup insan toh tidak ditentukan oleh kita sendiri. Di rumah ini pun, kalau Tuhan menghendaki Kartono mati, hal itu bisa terjadi kapan saja. Sebuah pesawat terbang Jepang nyasar dan menjatuhkan bomnya di rumah ini, umpamanya. Bukankah hal itu bisa terjadi?
"Kau benar-benar ingin berangkat bersamaku?" tanya Subroto pelan.
"Ya, kak!" jawab Kartono cepat, penuh gairah.
"Baiklah, kita berangkat sekarang!" kata Subroto.
Sedangkan dalam hati, Subroto memohon pada Ayah dan Ibunya. Maafkan saya Ayah! Maafkan saya Ibu! Kartono kuajak pergi ke garis depan sekarang! Perjuangan selalu menuntut pengorbanan!
Ketika perang usai, seorang perjaka kurus kecil kembali ke desa itu. Dialah Kartono. Tubuhnya tetap kurus kecil, tetapi rona mukanya berubah banyak. Keras dan penuh keyakinan diri. Tidak banyak yang dibawa perjaka itu. Baju yang di bawanya juga bukan bajunya. Baju kakaknya. Berlencana Elang Kuning di lengan kirinya. Sementara di dada baju itu, terlihat sebuah lubang besar. Hangus!
Kartono kembali ke rumah warisan orang tuanya. Dia sendirian sekarang! Ya, Letnan Kartono, anggota laskar Elang, pejuang paling berani dalam kesatuannya untuk sementara telah menuntaskan kiprah perjuangannya. Sedangkan Subroto, kakaknya, menerima anugerah pangkat Mayor Anumerta. Subroto menghembuskan nafasnya justru dipangkuan adiknya, yang dulu dikhawatirkan nasibnya. Takdir memilih lain.
"Kau teruskan perjuanganku, dik" begitu Subroto berpesan terbata-bata ketika itu. Tiga butir peluru bersamaan menembus dada sebelah kiri perjaka bersemangat besar itu. "Keluarga kita yaitu keluarga pejuang! Kau harus kawin dan punya anak. Jangan kau putus rantai keluarga kita. Aku ... saya ... ingin melihat anakmu kelak ...!"
Kartono tidak menangis. Cuma dada perjaka kurus kecil itu berombak-ombak cepat. Dia seorang diri sekarang. Kakaknya cuma mewarisi pesan. Pesan suci biar dirinya meneruskan kelanjutan garis keturunan keluarga ini!
Sumber:  Tri Budhi Sastrio . 2002. Planet Di Laut Kita Jaya (Seri I Kumpulan 15 Cerpen Perjuangan).

TUGAS
Tuliskan  
1.Tema Cerpen di atas?
2. Latar Cerpen tersebut
3. Nama-nama tokoh dalam Cerpen tersebut
4. Watak dari tokoh-tokoh dalam Cerpen tersebut

5. Analisis cara yang dipakai Pengarang untuk menggambarkan tokoh tersebut


= Baca Juga =



Related : Analisis Cerpen : Keluarga Pejuang Karya Tri Budhi Sastrio

0 Komentar untuk "Analisis Cerpen : Keluarga Pejuang Karya Tri Budhi Sastrio"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)