A. Ketimpangan Penelitian Sastra
Penelitian sastra hingga ketika ini memang cenderung masih berat sebelah. Maksudnya di beberapa forum penelitian dan perguruan tinggi sastra orientasi penelitian masih terbatas pada teks sastra. Akibatnya, hasil penelitian sastra cenderung bersifat deskriptif belaka. Di beberapa sentral penelitian, hasil penelitian pada umumnya masih berkutat pada hal-hal teoritik sastra. Yakni, sebuah wilayah penelitian sastra untuk sastra. Orientasi semacam ini sering dianggap kurang lengkap, lantaran karya sastra bahu-membahu merupakan materi komunikasi antara pengarang dengan pembaca.
Kepincangan penelitian sastra yang terasa hingga ketika ini yakni masih jarang peneliti yang berani menerapkan metode eksperimen. Padahal, penelitian yang satu ini sedikit banyak akan melengkapi makna yang selama ini terabaikan. Pemakaian metode ini sekurang-kurangnya akan bisa mengungkap seberapa jauh tanggapan pembaca sastra, alasannya pembaca merupakan kepingan penting dalam rangka pengembangan sastra ke depan. Tanpa memperhatikan aspek pembaca, tentunya penelitian sastra akan semakin kurang bermakna.
B. Kemiskinan Teori dan Ilmu Sastra
Banyak pihak mensinyalir bahwa penelitian sastra kita masih tergolong “ringan” kadar keilmiahanya. Ini ditandai adanya seminar penelitian sastra di banyak sekali tempat, yang ternyata, tidak atau belum dan kurang mempunyai bobot karakteristik penelitian ilmiah. Ini menimbulkan kondisi penelitian sastra sukar dibedakan dari komentar sastra dan atau kritik sastra. Penelitian sastra menjadi sukar dibedakan dari timbangan buku atau karya yang masih ringan bobotnya.
Minimnya teori penelitian sastra, sering berakibat “comot sana-sini” dan memungut teori absurd yang kurang mengakar pada si pemakai teori. Adopsi teori barat tersebut umumnya disadap mentah-mentah, bahkan kadang kala kurang relevan dengan keberadaan sastra kita. Jarang sekali, teori sastra barat yang dikombinasi dengan “teori dalam negeri” yang lebih membumi. Akibatnya, ada “pemaksaan” teori sastra absurd yang kurang siap untuk memasuki sastra di Indonesia. Meskipun mengambil teori absurd itu sah-sah saja dan tak haram, namun tanpa kecerdasan si pemakai hanya akan “mengotori” penelitian sastra kita.
C. Kerancuan Istilah Penelitian Sastra
Penelitian sastra sering disejajarkan dengan kajian, telaah, studi dan kritik akademis. Hanya saja yang sedikit berbeda yakni kritik sastra. Sedangkan kajian, telaah dan studi kurang lebih mempunyai tujuan yang sama yaitu memahami karya sastra. Beberapa istilah tersebut selalu berusaha mendalami karya sastra menggunakan paradigma pemikiran tertentu.
Istilah-istilah di atas akan dilalui melalui “pintu masuk” yang dinamakan memahami sastra. Membaca sastra di banyak sekali tingkat, ruang, umur, akan berbeda satu sama lain. Karenanya, membaca sastra di Perguruan Tinggi otomatis akan mempunyai tekanan yang berbeda dengan membaca sastra di sekolah sebelumnya. Tingkat kecermatan membaca sastra (prosa, puisi, dan drama) di Perguruan Tinggi telah ke arah pemahaman sebagai studi (kritik dan penelitian), sedangkan di sekolah bawahnya lebih cenderung ke apresiasi biasa untuk kenikmatan.
D. Persoalan Metode, Teknik, dan Pendekatan
Karya sastra yakni fenomena unik. Ia juga fenomena organik. Di dalamnya penuh serangkaian makna dan fngsi. Makna dan fungsi ini sering kabur dan tak jelas. Oleh karena, karya sastra memang syarat dengan imajinasi. Itulah sebabnya, peneliti sastra mempunyai kiprah untuk mengungkap kekaburan itu menjadi jelas. Peneliti sastra akan mengungkap elemen-elemen dasar pembentuk sastra dan menafsirkan sesuai paradigma dan atau teori yang digunakan.
Tugas demikian, akan menjadi bagus apabila peneliti memulai kerjanya atas dasar masalah. Tanpa kasus yang terang dari karya sastra yang dihadapi tentu kerja penelitian juga akan menjadi kabur. Manakala penelitian kabur dan karya sastra itu sendiri sebagai fenomena yang kabur, tentu hasilnya tidak akan optimal. Itulah sebabnya kepekaan peneliti sastra untuk mengangkat sebuah problem menjadi penting.
Pendekatan penelitian ada bermacam-macam, tergantung sisi pandang peneliti. Semakin rinci jenis pendekatan yang dipilih, tentu penelitian akan semakin sempit dan detail. Tentang nama-nama pendekatan itupun masing-masing mahir sepertinya bebas memberikan pendapat. Masing-masing pendekatan juga mempunyai arah dan target penelitian yang berbeda-beda. Secara garis besar, Tanaka (1976:9) mengenalkan dua pendekatan yaitu : (1) mikro sastra dan karya sastra sanggup berdiri sendiri tanpa pinjaman aspek lain disekitarnya. Sebaliknya, makro sastra yakni pemahaman sastra dengan pinjaman unsur lain di luar sastra. Dua tawaran pendekatan tyersebut bahu-membahu sejajar dengan pendekatan Wellek dan Warren (1989), yaitu pendekatan intrisik dan ekstrisik. Pendekatan intrisik yakni penelitian sastra yang bersumber pada teks sastra itu sendiri secara otonom. Sedangkan pendekatan ekstrinsik yakni penelitian unsur-unsur luar karya sastra. Yakni pengkajian konteks karya sastra diluar teks.
MANAJEMEN SASTRA
A. Peranan Penelitian Sastra
Penelitian sastra mempunyai peranan penting dalam banyak sekali aspek kehiduypan manusia, di samping juga berpenrgaruh positif terhadap training dan pengembangn sastra itu sendiri (Tutoli, 1990:902). Peranan semacam ini nakan mencapi optimal apabila penelitian sastra tersebut dilakukan sunghguh-sungguh. Pencapaian sastra yang sekedar asl-asalan, hanya akan melahirkan sampah saja, dan mungkin justru merongrong keberadaan sastra itu sendiri.
Lebih khusus lagi, tujuan dan peranan penelitian sastra yakni nuntuk memahami makna karya sastra sedalam-dalamnya (Pradopo, 1990:942). Berarti penelitian sastra sanggup berfungsi bagi kepentingan di luar sastra dan kemajuan sastra itu sendiri. Kepentingan di luar sastra, antara lain, kalau penelitian tersebut bekerjasama dengan aspek-aspek di luar sastra, menyerupai agama, filsafat, moral, dan sebagaqinya. Sedangkan kepentingan bagi sastra yakni untuk meningkatkan kualitas cipta sastra.
Peranan penelitian sastra bagi aspek di luar sastra dipengasruhi oleh kandungan sastra sebagai dokumen zaman. Di dalamnya, karya sastra akan menjadi saksi “sejarah” yang sanggup berbagi ilmu lain begitu juga sebaliknya. Peranan semacam ini boleh dikatakan sebagai aspek pragmatika penelitian sastra. Hal ini akan membuka kerjasama yang baik antar disiplin ilmu, antara sastra dengan bidang lain. Lebih jauh lagi, penelitian sastra juga akan membantu penmgembangan teori sastra, penulisan sejarah sastra, dan meperluas apresiasi pembaca.
B. Penelitian Sastra Yang Kreatif
Penelitin sastra, akan mengikuti sistem berpikir ilmiah, menggunakan metode, teori, mlogis, analitis dan kreatif. Syarat kreatif ini, merupakan upaya interpretasi dan penilaian teks sastra. Jika penelitian sastra masih sebatas kajian unsur-unsur belum sanggup dikatakan kreatif, lantaran kerja semacam itu belum secara suntuk menggunakan intuisi dan wawasan yang tajam.
Kemampuan penelitian sastra yang kreatif, cukup penting lantaran karya sastra sendiri sebuah fenomena kreatif (Atmazakli, 1993:114-115). Sebagai karya kreatif, tentu perlu ditanggapi secara kreatif pula. Penelitian sastra yang kreatif juga akan meninggalkan kejenuhan. Jika penelitian sastra hanya statis, mungkin sekali akan membosankan bagi peneliti dan pembaca hasil penelitian. Penelitian sastra yang tak kreatif, hanya kemungkinan akan melahirkan potongan-potongan dan komentar teks sastra.
C. Kemitraan Penelitian Sastra
Selama ini, diakui atau tidak, kemitraan penelitian sastra masih sangat lemah. Kemitraan antar forum penelitin dan individu masih sangat “tertutup” atau terbatas. Jika ada kemitraan, kemungkinan masih dalam komunitas kecil (intern) saja. Padahal bahu-membahu penelitian sastra sangat terbuka kesempatan kerjasama dan interdisipliner, sehingga akan dihasilkan karya penelitian yang handal.
Kemitraan penelitian dalam lingkup kecil, biasanya lebih bersifat personal atau antar peneliti saja. Di antara peneliti dari dua atau lebih forum yang berbeda, yang nrimo memang seringkali tukar-menukar hasil penelitian. Dengan cara tukar barang hasil penelitian ini, diperlukan akan memberi wawasan gres penelitian sastra. Hal ini penting, kalau dilakukan secara rutin. Apalagi, kalau kemitraan personal itu terjadi dalam skrup wilayah jangkuan yang luas. Misalkan antar sobat peneliti di luar propinsi atau kota, dan bahkan lebih hebat lagi antar negara. Paling tidak setiap peneliti akan sedikit tahu peerkembangan penelitian pada wilayah lain.
D. Diseminasi Penelitian Sastra
Tanpa diseminasi, hasil penelitian akan sia-sia. Penelitian sastra hanya akan tertumpuk di rak atau meja. Artinya, penelitian tersebut belum atau tidak memberikan sumbangan berharga bagi pertumbuhan sastra. Padahal dari aspek kuantitas, penelitian sastra di Indonesia terang cukup melimpah. Di banyak sekali perguruan tinggi yang membuka jurusan sastra, telah menumpuk skripsi, tesis, disertasi, dan sejumlah penelitian sastra. Sayangnya, lantaran tak dikelola secara optimal, penyebaran karya penelitian tersebut ke banyak sekali wilayah yang mungkin ingin membaca, kurang terpercaya.
Kalau penelitian sendiri atau forum yang bersangkutan akan mengirimkan hasil penelitian ke banyak sekali instansi, masalahnya terletak pada keterbatasan dana. Hal ini terang memerlukan perhatian para pemerhati sastra. Kalau skripsi dan tesis yang berkualitas dan menarik, mungkin akan sedikit menolong diseminasi penelitian sastra. Namun perlu diingat, penerbitan buku terang mengutamakan tema-tema yang marketable, bukan aspek keilmiahan semata. Padahal hasil penelitian sastra kadang kala ada yang sangat teknis, memuat istilah-istilah kering, dan jargon-jargon penelitian yang mungkin kurang menarik bagi penerbit. Karenanya, hal ini membutuhkan kelihaian peneliti untuk menyiasati biar bisa menyajikan hasil penelitian ke dalam bentuk buku-buku yang yummy dibaca.
EPISTEMOLOGI PANELITIAN SASTRA
A. Seluk beluk Epistemologi
Epistemologi bersal dari bahasa Yunani, episteme, artinya pengetahuan dan logos artinya ilmu. Epistomologi yakni dasar-dasar filosofi ilmu pengetahuan. Menurut Foucault (Kurniawan, 2001:36-37) Episteme yakni sistem apriori historis tertentu dalam suatu zaman yang tidak disadari oleh orang-orang pada zxaman itu, tetapi secara tersembunyi memilih pemikiran, pengamatan, dan pembicaraan mereka. Episteme bahu-membahu merupakan sekumpulan hubungan yang menyatukan, pada periode tertentu, praktek-praktek diskursif yang memberi kemunculan bentuk-bentuk epistemologi, ilmu-ilmu dan kemungkinan sistem-siste yang diformulasikan, suatu cara yang setiap formulasi-formulasi diskursif ini transisi-transisi ke pengepistemologian, keilmiahan, dan formula disituasikan dan dioperasikan.
Dari pendapat demikian, epistomologi sesungguhnya merupakan system pengetahuan yang tertata, teratur dan logis. Epistomologi yakni ilmu ihwal metodologi dan dasar-dasar pengetahuan dengan keterbatasan dan kekuasaannya. Dari sini akan diperoleh pemahaman epistomolog sastra berarti juga hal ihwal yang menyangkut aspek hakikat metodologis penelitian sastra. Aspek ini mestinya bisa mengemukakan hal-hal mana yang sanggup dikategorikan sastra dan non sastra, mana yang menjadi obyek penelitian dan mana yang bukan, serta bagaimana kajian yang lebih sistematis.
B. Penelitian sastra Sebagai Ilmu
Ada sebuah artikel kecil yang mempertanyakan keberadaan penelitian sastra, yaitu “ dapatkah karya sastra diteliti ?. Pertanyaan yang bahu-membahu tidak harus dijawab dengan kusir ini, bahu-membahu mengarahkan biar peneliti sastra perlu bersikap hati-hati. Peneliti yang berhadapan dengan sastra, berarti akan terkait dengan sejumlah fakta yang “luar biasa” dan unik. Artinya di dalam karya sastra akan mencerminkan banyak sekali fakta yang kemungkinan membutuhkan kecermatan dalam penelitian.
Sastra, intinya akan mengungkapkan kejadian. Namun kejadian tersebut bukanlah “fakta sesungguhnya” melainkan sebuah fakta mental pencipta. Pencipta sastra telah mengolah halus fakta obyektif menggunakan daya imajinasi, sehingga tercipta fakta mental imajinatif. Dari sini kalau peneliti hendak mengungkap fakta tersebut tentu memerlukan kejelian. Tantangannya tak lain, penliti harus tepat dalam menerapkan metode penelitian sastra. Jika tidak, kemungkinan besar akan menghasilkan penelitian yang bisa data.
C. Antara Subyektivitas dan Obyektivitas
Peneliti sastra kadang kala dianggap latah dan sisa-sia. Maksudnya, peranan penelitian yang eksklusif sanggup dipetik darinya, tetap diragukan oleh banyak pihak. Karena, ada banyak sekali hal yang tetap dianggap misteri dalam konteks penelitian tersebut. Setidaknya, dari sisi keilmiahan penelitian sastra sering dianggap rendah. Oleh karena, karya sastra sebagai fenomena imajinatif yang sulit dideteksi dan diukur validitasnya. Itulah sebabnya kejanggalan dalam penelitian sastra selalu muncul.
Jik penelitian sastra tadi benar-benar telah dilakukan, seringkali juga dianggap terlalu akademis. Bahkan seringkali ada perlakuan”mati” terhadap karya sastra oleh si peneliti. Maksudnya peneliti sekedar bertindak menyerupai seorang dokter bedah jenazah yang ada di rumah sakit. Akibatrnya, sisi-sisi kemanusiaan yang lekat dalam karya sastra sulit tertangkap. Jika yang terakhir ini pun sulit terhindarkan. Akhirnya, ilmuwan dan peneliti sastra selalu menjadi hamba yang tak pernah hingga dalam memahami karya sastra.
D. Positivisme dan Konstruk Penelitian Sastra
Positivisme yakni paham filosofi yang mendasari peneliti melaksanakan kajian. Mereka meyakini bahwa karya sastra sebagai ungkapan pandangan hidup atau iklim perasaan dalam masyarkat. Kaum positivistic beranggapan bahwa : (a) ada hubungan kasualitas antara kehidupan dengan karya seorang pengarang, (b) sesuatu sanggup diterangkan apabila sebabnya sanggup dilacak kembali(orientasi sejarah), (c) sastra sanggup diterangkan secara tuntas dengan menelusuri kembali sejarah terjadinya, contohnya fakta hidup pengarang, kejadian geografik dan historis.
Dari tiga ciri tersebut, tampak bahwa kaum positivistic lebih mengedepankan regularitas penelitian. Fenomenba sastra dengan sendirinya dianggap mempunyai regularitas menyerupai halnya ilmu alam. Kepastian makna menjadi cirri paham ini, maka mereka mempercayai bahwa setiap sastra dianggap mempunyai nilai didik yang positif. Karya sastra akan memberikan tujuan tertentu yang mengikuti hubungan kausal. Hal ini berarti bahwa prinsip keajegan selalu dipegang oleh paham positivistic.
ALIRAN PENELITIAN
A. Ciri Aliran Penelitian Klasik
Aliran penelitian sastra yakni sebuah kecenderungan yang tampil pada suatu zaman. Setiap kurun kadang-kaddang mempunyai tedensi yang berbeda-beda, sehgingga melahgirkan aliran tertentu pula. Berbagai aliran sastra memang cukup banyak jumlahnya. Setiap aliran sastra, disadari atrau tidak juga telah mewarnaai lahirnya banyak sekali model atau pendekatan penelitian sastra. Oleh karena, setiap peneliti kadang kala terbawa arus dan secara sadar mengikuti aliran tersebut.
Aliran yang tergolong klasik dan modern juga seringkali mewarnai arah penelitian sastra. Seorang peneliti yang dihadapkan pada suatru aliran, secara otomatis akan mengkuti aliran tersebut dalam penelitiannya. Karenanya, seorang penelitri kemudian membuat sisi pandang tertentu dalam pemahaman karya sastra. Cara pandang inilah yang kelak sering dinamakan pendekatan.
Pendekatan klasik penelitian sastra, pada awanya berasal dari Yunani dan Romawi Kuno. Namun penelitian klasik selanjutnya tidak selalu demikian. Pelitian sastra yang selalu mengandalkan logika, akal, dan menekankan bahwa karya sastra harus memenuhi fungsinya, termasuk penelitian klasik. Penelitian klasik, yang sering dinamakan pendekatan tradisional, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
(1). Hasil penelitian sastra harus sejalan dengan tujuan yang disampaikan penulisnya.
(2). Penelitian sastra mmenggunakan pendekatan klasik biasanya menekankan pada aliran moral karya sastra.
B. Penelitian Beraliran Ekspresivisme
1. Munculnya ekspresivisme
Penelitian ekspresivisme sastra yakni model penelitian yang jarang dilakukan oleh peneliti sastra. Penelitian yang berupa kajian semi-psikologis ini mungkin kurang menarik dan atau dipandang kurang menguntungkan bagi penelitinya. Mungkin sekjali, pengarangnya telah tiada, atau jauh dari pembaca. Karenanya kalau penelitian ekspresivisme sekadar bersumber pada teks sering dianggap kurang lengkap.
Penelitian ekspresivisme lebih memandang karya sastra sebagai eskpresi dunia batin pengarangnya. Karya diasumsikan sebagai curahan gagasan, angan-angan, cita-cita, pikiran, kehendak, dan pengalaman batin pengarang. Tentu saja, pengalaman itu telah dimasak dan diendapkan dalam waktu yang relatif panjang, sehingga bukan berupa pengalaman mentah yang terputus-putus. Pengalaman batin itu akan menjadi pendorong berpengaruh bagi lahirnya karya sastra. Pengalaman tersebut lebih individual dan bersifat imajinasi yang disintesiskan dalam sebuah karya sastra.
2. Kritik Ekpresivisme
Kehadiran penelitian eskpresivisme memang banyak diragukan oleh ilmuwan sastra. Penelitian ini dianggao kurang memenuhi kode-kode ilmiah, lantaran sering dilanda subjektivita pencipta ketika di diwawancarai. Kecuali itu pencipta sendiri seringkali telah lupa terhadap karya-karya yang dihasilkan. Hanya karya tertentu saja yang sering teringat pada diri pencita, contohnya saja karya yang pernah menerima penghargaan. Sedangkan karya yang mengorbit lewat media masa, seringkali asalkan telah terbit dilupakan oleh penciptanya. Pencipta tidak lagi teringat seratus persen ihwal penciptaan.
Dari problem itu, sering seorang pencipta melaksanakan kebohongan tertentu. Pencipta lebih cerdik memanipulasi alasan penciptaan. Manipulasi itu bahu-membahu sanggup menjadi penelitian tersendiri. Disamping itu, ketika karya telah lolos dari tangan pencipta, biasanya pengarang “lepas tangan”, kurang bertanggung jawab atas dampak karya tersebut. Hal ini sering menimbulkan ungkapan impulsif pencipta pada ketika wawancara menjadi bias. Itulah sebabnya cukup beralasan kalau Wimsatt dan Beardsley ( Tahun 1997 : 26) menaruh keberatan atas kehadian ekspresivisme.
3. Aspek yang diungkap
Penelitian ekspresivisme bahu-membahu tidak terlalu sulit asalkan penulis masih hidup dan tinggal tidak terlalu jauh jaraknya dengan peneliti. Karenanya, jaringan komunikasi peneliti dengan penulis perlu ditekankan biar proses penelitian berjalan lancar. Berbagai hal yang seharusnya diungkap dalam penelitian ekspresivisme yakni :
(1). Memahami lebih mendalam bahwa pengarang yakni orang yang cerdas dan cerdik bermain estetika.
(2). Bagaimana penguasaan bahasa sastrawan sehingga bisa memikat pembaca.
(3). Seberapa jauh pengarang mempunyai kepekaan terhadap problem kehidupan, baik yang menyangkut dunia mungkin maupun dunia lain.
C. Penelitian Beraliran Romantisme.
Penelitian sastra aliran romantisme selalu berprinsip bahwa karya sastra merupakan cermin kehidupan realitik. Karya sastra yakni kisah kehidupan insan yang penuh liku-liku. Pengungkapan realitas kehidupan tersebut menggunakan bahasa yang indah, sehingga sanggup menyentuh emosi pembaca. Keindahan menjadi fokus penting dalam kajian romantisme. Misalkan, citra gadis manis atau jejaka tampan, dilukiskan sesempurna mungkin. Pelukisan itu seringkali menggiurkan pembaca.
Penelitian romantisme biasanya terfokus pada karya-karya yang melukiskan kehidupan seksual secara detail. Lukisan kehidupan seks yang penuh birahi ini, justru menarik perhatian. Oleh lantaran itu peneliti telah mengasumsikan bahwa karya sastra yang bermutu yakni karya yang bisa melukiskan kehidupan sedetail mungkin.
D. Penelitian beraliran Simbolisme dan Mistisisme
Aliran simbolik biasanya berupa karya yang mengungkapkan pikiran dan perasaan menggunakan simbol tertentu. Simbol-simbol itu diabstrasikan biar pembaca semakin tertarik dan penasaran. Simbol yang biasa digunakan yakni benda-benda dan mahkluk di luar manusia. Pemakaian tokoh-tokoh hewan atau tumbuhan yang sanggup berbicara menyerupai manusia, yakni contoh aliran ini.
Melalui aliran simbolik itu, kemudian banyak muncul dongeng-dongeng, legenda dan mite. Cerita semacam ini merupakan citra hidup manusia, meskipun tokoh-tokohnya sebagian besar yakni binatang. Di Indonesia, aliran simbolik pernah mengemuka ketika muncul dongeng-dongeng binatang. Misalkan saja Dongeng Sato Kewan karya Prijana Winduwinata. Dongeng ini bertokohkan binatang, terutama si Kancil, padahal isinya bahu-membahu berbau politik pada ketika itu. Ini berarti, aliran simbolik banyak diikuti pengarang-pengarang yang ingin membungkus karyanya. Pembukusan itu dimaksudkan biar tidak terlalu kentara kalau berisi pesan ataupun kritik pedas.
MODEL BARU PENELITIAN SASTRA
A. Grounded Research
Penelitian sastra selalu berkaitan dengan teori sastra pula. Teori itu kadang kala kita impor dari negara lain. Kita sering tergila-gila pada teori yang berasal dari barat, menyerupai teori Abrams, Teeuw, Barthes, Eagleton, Taine, dan sebagainya. Ini memperlihatkan bahwa peneliti sastra kita dipaksakan untuk membedah karya sastra kita.
Pemaksaan teori tersebut juga telah membingkai peneliti sastra kita ke arah positivisme. Padahal, peneliti positivistik ini belum tentu sejalan dengan kondisi sastra kita. Pemahaman positivistik ini seringkali juga membelenggu lahirnya teori-teori gres di negeri kita. Lebih tegas lagi, kita sering kekeringan teori pemnelitian sastra yang benar-benar membumi. Karena adopsi teori sastra barat tersebut belum sepenuhnya bisa membingkai kondisi sastra kita. Ke-khasan sastra kita kadang kala tidak terwadahi oleh teori asing.
B. Kajian Fenomenologi Sastra
1. Titik Tolak fenomenologi Sastra
Fenomenologi yakni tataran berpikir secara filosofi terhadap obyek yang diteliti. Kecenderungan filsafat yang dipelopori Husserl ini menekankan peranan pemahaman terhadap arti. Dalam penelitian sastra, fenomenologi tidak mendorong keterlibatan subyektif murni, melainkan ada upaya memasuki teks sastra sesuai kesadaran peneliti. Dalan kaitan ini Gadamer (Selden, 1991 : 117) menjelaskan bahwa sebuah karya sastra tidak muncul ke dunia sebagai seberkas arti yang selesai dan terbungkus rapi. Arti tergantung pada situasi kesejarahan penafsir. Dari klarifikasi ini berarti otoritas peneliti sebagai pemberi makna mempunyai peranan penting.
Wawasan ini menghendaki biar pengungkapan sebuah tanda-tanda didasarkan pada “penjelasan dan pengertian tanda-tanda itu sendiri”. Penangkapan tanda-tanda tersebut, dalam fenomenologi sastra memang lahir dari banyak sekali macam fenomenologi. Jika pengenalan tanda-tanda berusaha mengungkap pengertian murni obyek sastra, biasanya disebut fenomenologi eidetik. Fenomenologi ini didasarkan pada kajian bahasa, yang mencakup kajian makna dari fenomena dari tanda-tanda utama, kemudian dipilahkan, disaring dan ditemukan citra pengertian murni,. Jika penangkapan fenomena mendasarkan pada kesadaran aktif (cigitto) peneliti, maka ia dinamakan fenomenologi transendental. Berbeda dengan fenomenologi eksistensial, bahwa penentuan tanda-tanda semata-mata bersifat individual. Refleksi individual menjadi guru bagi individu sendiri untuk menemukan kebenaran. Pengaruh personal sangat memilih makna karya sastra.
2. Ruang Lingkup Pembahasan
Dalam pandangan Iser (1988:212) fenomenologi sastra yakni pendekatan yang menekankan pada aspek idea. Dalam mempertimbangkian makna karya sastra, seharusnya tak hanya didasarkan pada teks saja, melainkan perlu adanya tanggapan terhadap teks tersebut. Dalam kaitan ini, Roman Ingarden mengenalkan adanya proses konkretisasi teks sehabis dibaca. Tindakan konkretisasi ini hadir dari tanggapan pembaca.
Itulah sebabnya pemahaman karya sastra secara fenomenologi perlu mencermati tingkat-tingkat makna. Sebuah karya sastra tidak satu makna, melainkian memuat sejumlah makna yang berlapis. Tugas fenomenolog yakni menyingkap lapis-lapis makna itu. Senada dengan hal demikian, Roman Ingarden menyebutan bahwa karya sastra intinya mempunyai sejumlah lapisan atau strata makna. Lapisan tersebut mencakup : (a) lapis bunyi, yaitu wujud paparan bahasa sebagai artefak yang berbagi makna tertentu, (b) dunia obyektif yang diciptakan pengarang, (c) dunia yang dipandang dari titik perpektif tertentu oleh pengarang dan (d) lapis arti yang bersifat metafisis. Keseluruhan unsur tersebut secara potensial telah ada dalam karya sastra itu sendiri. Penanggaplah yang harus berupaya mengkonkretkan melalui pelibatan kesadaran dalam membaca teks sastra.
C. Kajian Hermeneutik Sastra
1. Pentingnya Hermeneutik
Secara sederhana, hermeneutik berarti tafsir. Studi sastra juga mengenal hermeneutik sebagai tafsir sastra. Dalam penelitian sastra, memang hermeneutik mempunyai paradigma tersendiri. Kata Ricoeur (Sumaryono, 1999:106), hermeneutik berusaha memahami makna sastra yang ada di balik struktur. Permahaman makna, tak hanya pada simbol, melainkan memandang sastra sebagai teks. Di dalam teks ada konteks yang bersifat polisemi. Maka, penliti harus menukik ke arah teks dan konteks hermeneutik sehingga ditemukan makna utuh.
Pada dasarnya paradigma hermeneutik telah memperlihatkan dua metode tafsir sastra. Pertama, metode dialektik antara masa kemudian dengan masa kini dan Kedua, metode yang memperhatikan problem antara kepingan dengan keseluruhan. Kedua metode itu memaksa peneliti untuk melaksanakan tafsir berdasarkan kesadarannya sendiri atas konteks historis-kultural., Dengan demikian ada sumbangan penting kehadiran hermeneutik.
2. Langkah Kerja dan Aspek Kajian
Dalam kaitan dengan interpretasi, Smith (Luxemburg, 1989:51) mensugestikan bahwa “ our interpretation of a work and our experience of its value are mutually dependent, and each depend upon wahat might be called the psychological ‘set’ our encounter with it”. Dari sugesti ini, berarti intrerpretasi teks sastra sangat tergantung pada pengalaman di peneliti. Semakin remaja si peneliti, tentu kematangan psikologisnya dalam menafsirkan semakin bisa diandalkan pula. Pengalaman peneliti juga amat penting dalam menggali makna sebuah teks sastra.
Penafsiran teks sastra setidaknya akan mengikuti salah satu atau lebih dari enam pokok rambu-rambu yaitu :
(1). Penafsiran yang bertitik tolak dari pendapat, bahwa teks sendiri sudah jelas.
(2). Penafsiran yang berusaha menyusun kembali arti historik. Dalam pendekatan ini si juru tafsir sanggup berpedoman pada maksud si pengarang menyerupai nampak pada teks sendiri atau diluar teks.
(3). Penafsiran hermeneutik gres yang terutama diwakili oleh Gadamer berusaha memadukan masa silam dan masa kini.
(4). Penafsiran yang bertolak pada pandangannya sendiri mengenai sastra.
(5). Penafsiran yang berpangkal; pada suatu problematik tertentu, misalkan dari aspek politik, psikologis, sosiologis, moral dan sebagainya.
(6). Tafsiran yang tak eksklusif berusaha biar memadahi sebuah teks diartikan, melainkan hanya ingin mmenunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang tercantum dalam teks, sehingga pembaca sendiri sanggup menafsirkannya.
PENELITIAN FORMALITAS DAN STRUKTURALISME MURNI
A. Prinsip Strukturalisme
Strukturalisme merupakan cabang penelitian sastra yang tak bisa lepas dari apek-aspek linguistik. Sejak jaman Yunani, Aristoteles telah mengenalkan strukturalisme dengan konsep wholeness, unit, complexity dan coherence. Hal ini merepresentasikan bahwa keutuham makna bergantung pada koherensi keseluruhan unsur sastra. Keseluruhan sangat berharga dibandingkan unsur yang berdiri sendiri. Karena masing-masing unsur mempunyai pertautan dibandingkan unsur yang berdiri sendiri. Karena masing-masing unsur mempunyai pertautan yang membentuk sistem makna. Setiap unit struktur teks sastra hanya akan bermakna kalau dikaitkan hubungannya dengan struktur lainnya. Hubungan tersebut sanggup berupa pararelisme, pertentangan, inversi dan kesetaraan. Yang terpenting yakni bagaimana fungsi hubungan tersebut menghadirkan makna secara keseluruhan. Sebagi contoh, kata manis gres bermakna lengkap ketika dipertentangkan dengan kata pahit. Ini berarti bahwa struktur sastra mempunyai fungsi.
Menurut Jean Peaget (Hawkes, 1978:16) Strukturalisme mengandung tiga hal pokok. Pertama, gagasan keseluruhan (wholness), dalam arti bahwa bagian-bagian atau unsurnya beradaptasi dengan seperangkat kaidah intrisik yang memilih baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya.
Kedua, gagasan transformasi (transformation), struktur itu menyanggupi mekanisme transformasi yang terus menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, keteraturan yang berdikari (self regulation) yaitu tidak memerlukan hal-hal diluar dirinya untuk mempertahankan mekanisme trransformasinya, struktur itu otonom terhadap acuan sistem lain.
Pahan strukturalis, secara eksklusif maupun tidak eksklusif bahu-membahu telah menganut paham penulis Paris yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure. Paham ini mencuatkan konsep sign dan meaning (bentuk dan makna/isi) atau menyerupai yang dikemukakan Luxemburg (1989) ihwal signifiant-signifie dan paradigma-syntagma. Kedua unsur itru selalu bekerjasama dan merajut makna secara keseluruhan. Karenanya, kedua unsur penting ini tak sanggup dipisahkan dalam penafsiran sastra.
B. Kelebihan Dan Kelemahan Strukturalisme
Dalam penelitian struktural, pengutamaan pada hubungan antar unsur pembangun teks sastra. Unsur teks secara sendiri-sendiri tidak penting. Unsur teks itu hanya memperoleh arti penuh melalui hubungan oposisi maupun hubungan asosiasi. Relasi oposisi biasanya lebih berkembang pada dunia antropologi, sedangkan dunia sastra banyak menggunakan hubungan asosiasi. Melalui Barthes dan Kristeva di Perancis, strukturalismme mulai berkembang luas. Keduanya mengenalkan penafsiran struktural teks sastra berdasarkan kode bahasa teks sastra. Melalui kode bahasa itu, diungkapkan retorika, psikoanalisis dan sosiokultural.
Penekanan strukturalis yakni memandang karya sastra sebagai teks mandiri. Penelitian dilakukan secara obyektif yaitu menekankan aspek intrisik karya sastra. Keindahan teks sastra bergantung penggunaan bahasa yang khas dan hubungan antar unsur yang mapan. Unsur-unsur itu tidak jauh berbeda dengan sebuah “ artefak”(benda seni) yang bermakna. Artefak tersebut terdiri dari unsur teks menyerupai ide, tema, plot, latar, watak, tokoh, gata bahasa dan sebagainya yang jalin-menjalin rapi. Jalinan antar unsur tersebut akan membentuk makna yang utuh pada sebuah teks. Itulah sebabnya, Smith (Aminuddin, 1990:62) mengungkapkan penelitian dtruktur internal karya sastra merupakan the ontological structure of the work of art. Dari sini tampak bahwa karya sastra merupakan organised whole has various constituente, unsur-unsur pemadu dalam totalitas itu mempunyai interrelations and mutual dependencies, dan antara unsur pembangun totalitas itu mempunyai stratifikasi hubungan tertentu.
Sebagai sebuah model penelitian, strukturalisme bukan tanpa kelemahan. Ada beberapa kelemahan yang perlu direnungkan bagi peneliti struktural, yaitu melalui struktural karya sastra seolah-olah diasingkan dari konteks fungsinya sehingga sanggup kehilangan relevansi sosial, tercerabut dari sejarah dan terpisah dari aspek kemanusiaan.
Analisis strukturalisme biasanya mengandalkan paham positivistik, yaitu berdasarkan tekstual. Peneliti membangun teori analisis struktural yang handal, kemudian diterapkan untuk menganalisis teks. Metode positive ini biasanya juga sering digunakan kaum formalis, yang mempercayai teks sebagai studi utama. Yang menjadi problem analisis strukturalisme, antara lain pada pemilihan data teks. Seringkali peneliti terpengaruhi untuk meneliti karya-karya dari pengarang ternama saja. Padahal sesungguhnya pengarang lain perlu dikaji secara struktural. Paling tidak kalau ada perbedaan struktur antara karya yang bersifat subjektif ini, seringkali juga menimbulkan penelitian strukturalisme kurang berkembang di beberapa pusat penelitian.
C. Langkah Kerja Strukturalisme
Langkah yang perlu dilakukan seorang peneliti struktural yakni sebagai berikut :
1. Membangun teori struktur sastra sesuai dengan genre yang diteliti.
2. Peneliti melaksanakan pembacaan secara cermat, mencatat unsur-unsur struktur yang terkandung dalam bacaan itu.
3. Unsur tema sebaiknya dilakukan terlebih dahulu sebelum membahas unsur lainm lantaran tema akan selalu terkait eksklusif secara komprehensif dengan unsur lain.
4. Penafsiran harus dilakukan dalam kesadaran penuh akan pentingnya keterkaitan antar unsur.
PENGEMBANGAN PENELITIAN STRUKTURAL SASTRA
1. Strukturalisme Genetik
Strukturalisme genetik (genetik structuralism) yakni cabang penelitian sastra secara struktural yang tak murni. Ini merupakan bentuk penggabungan antara struktural dengan metode penelitian sebelumnya. Konvergensi penelitian struktural dengan penelitian yang memperhatikan aspek-aspek eksternal karya sastra, dimungkinkan lebih demokrat. Paling tidak, kelengkapan makna teks sastra akan semakin utuh.
Menurut Goldman, karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagi individu melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Dengan demikian, sanggup dinyatakan bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan antara struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya. Oleh lantaran itu, karya sastra tidak akan sanggup dipahami secara utuh kalau totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja. Pengabaian unsur masyarakat berarti penelitian sastra menjadi pincang.
Pandangan dunia, yang bagi Goldman selalu terbayang dalam karya sastra agung, yakni abstraksi (bukan fakta empiris yang mempunyai keberadaan obyektif). Abtraksi itu akan mencapai bentuknya yang konkret dalam sastra. Oleh lantaran pandangan dunia itu suatu bentuk kesadaran kolektif yang mewakili identitas kolektifnya, maka beliau secara sahih sanggup mewakili kelas sosialnya. Pandangan inilah yang memilih struktur suatu karya sastra. Oleh lantaran itu, karya sastra sanggup dipahami asalnya dan terjadinya (unsur genetiknya) dari latar belakang sosial tertentu. Keterikatan pandangan dunia penulis dengan ruang dan waktu tertentu tersebut, bagi Goldman merupakan hubungan genetik, karenanya disebut strukturalisme genetik. Dalam kaitan ini, karya sastra harus dipandang dari asalnya dan kejadiannya.
Teknik analisis yang digunakan dalam strukturalisme genetik yakni model dialektik. Teknik ini berbeda dengan positivistik, intuitif, biografi dan sebagainya. Model dialektik mengutamakan makna yang koheren. Prinsip dasar teknik analisis dialektik yakni adanya pengetahuan mengenai fakta-fakta kemanusiaan akan tetap absurd apabila tidak dibentuk konkret dengan mengintegrasikan ke dalam totalitas. Sehubungan dengan hal tersebut, metode dialektik berbagi dua macam konsep, yaitu “ keseluruhan-bagian’ dan “ pemahaman-penjelasan.
Goldman menyatakan bahwa sudut pandang dialektik berbeda dengan sudut pandang rasional dan sudut pandang empirik. Sudut pandang rasionalis biasanya mengansumsikan adanya gagasan yang berasal dari pembawaan dan secara eksklusif sanggup didekati, sedangkan kaum empirik menyandarkan diri pada kesan inderawi. Dua sudut pandang penelitian ini sama-sama mengharuskan biar ditemukannya pengetahuan secara pasti. Kedua sudut pandang ini memang berbeda dengan sudut pandang dialektik, yang berasumsi bahwa dalam analisis sastra tidak pernah ada titik awal yang secara mutlak valid, tidak ada problem yang secara final niscaya terpecahkan.
2. Strukturalisme Dinamik
Strukturalisme dinamik lebih merupakan pengembangan strukturalisme murni atau klasik juga. Strukturalisme dinamik mengakui kesadaran subyektif dari pengarang, mengakui kiprah sejarah serta lingkungan sosial, meski bagaimanapun sentral penelitian tetap pada karya sastra itu sendiri. Perbedaan pokok antara strukturalisme genetik dan dinamik terletak pada subyek yang diteliti. Strukturalisme dinamik lebih menekankan pada karya-karya masterpice, karya mainstream, dan karya agung.
Strukturalisme dinamik lebih fleksibel dalam menerapkan teori penelitian. Teori yang digunakan biasanya merupakan campuran sedikit-sedikit antara teori satu dengan yang lain. Penelitian ini menolak asumsi-asumsi strukturalisme murni yang sangat menolak kesadaran subyektif, takluk pada sistem, menolak historismer, mengidolakan sinkronik dan anti humanisme. Atas dasar ini, strukturalisme dinamik justru mengenalkan penelitian sastra dalam kaitannya dengan sistem tanda.
Caranya yakni menggabungkan kajian otonom karya sastra dan semiotik. Kajian otonom dilakukan secara intrisik dan kajian semiotik akan merepresentasikan teks sastra sebagai ekspresi gagasan, pemikiran, dan harapan pengarang. Gagasan tersebut dimanifestasikan dalam tanda-tanda khusus. Kepaduan antar struktur otonom dan tanda ini, merupakan wujud bahwa struktur karya sastra bersifat dinamik.
3. Strukturalisme Semiotik
Dari kodratnya, karya sastra merupakan refleksi pemikiran, perasaan dan keinginan pengarang lewat bahasa. Bahasa ini sendiri tidak sembarang bahasa, melainkan bahasa khas. Yakni bahasa yang memuat tanda-tanda satu semiotik. Bahasa itu akan membentuk sistem ketandaan yang dinamakan semiotik dam ilmu yang mempelajari kasus ini, yakni semiologi. Semiologi juga sering dinamakan semiotika, artinya ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam karya sastra.
Model struktural semiotik muncul sebagai jawaban ketidakpuasan terhadap kajian struktur. Jika struktural sekadar menitikberatkan aspek intrisik, semiotik yang demikan halnya, lantaran paham semiotik mempercayai bahwa karya sastra mempunyai sistem tersendiri. Itulah sebabnya muncul kajian struktural semiotik, artinya penelitian yang menghubungkan aspek-aspek struktural dengan tanda-tanda. Tanda sekecil apapun dalam pandangan semiotik tetap diperhatikan.
Kajian struktural semiotik akan mengungkap karya sastra sebagai sistem tanda. Tanda tersebut merupakan sarana komunikasi yang bersifat elastis. Karenanya setiap tanda membutuhkan pemaknaan (Segers, 2000:6), membagi tiga jenis sarana komunikasi, yaitu signal dan symbol. Signal yakni tanda-tanda yang merupakan elemen terendah, menyerupai halnya sebuah stimulus pada sebuah bintang. Sign yakni tanda-tanda. Symbol yakni lambang yang bermakna. Ketiganya seringkali digunakan tidak secara terpisah dalam dunia sastra. Karena itu, kiprah peneliti sastra yakni meberikan rincian ketiganya, sehingga makna sastra itu menjadi jelas.
Sistem kerja penelitian semiotik sanggup menggunakan dua model pembacan, yaitu heuristik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik yakni telaah dari kata-kata, bait-bait (line), dan term-term karya sastra. Sedangkan pembacaan hermeneutik merupakan penafsiran atas totalistas karya sastra.
Fokkema dan Kunne-Ibsch (1977:166) memberikan pola bahwa penelitian semiotik sekurang-kurangnya perlu memperhatikan tiga aspek utama, yaitu (a) the construction of abstract scientific models, (b) explanatory model, (c) schematic simplication. Sedangkan berdasarkan Riffaterre (1978:1-2) penelitian semiotik perlu memperhatikan tiga hal juga, yaitu (1)displacing of meaning (penciptaan arti), (2) distorting of meaning (penyimpangan arti), (3) creating of meaning (penciptaan arti). Meskipun konsep analitik itu banyak digunakan dalam penelitian puisi, tidak berarti tidak sanggup diterapkan pada genre lain. Genre drama dan prosa pun sanggup memanfaatkan hal ini.
PENELITIAN SOSIOLOGI SASTRA
A. Sosiologi Sastra
1. Rasionalisasi Sosiologi Sastra
Rasionalisasi penelitian sosiologi sastra hadir dari Glickberg (1967:75), bahwa “all literature, however, fantastic or mystical in concent is animated by a profound social concern, and this is true of even the most flagrant nihilistic work. Pendapat ini terang merepresentasikan bahwa menyerupai apa bentuk karya sastra (fantastis dan mistis) pun akan besar perhatiannya terhadap fenomena sosial. Karya tersebut boleh dikatakan akan tetap menampilkan kejadian-kejadian yang ada di masyarakat. Memang pencipta sastra akan dengan sendiri mendistorsi fakta sosial sesuai dengan idealisme mereka.
Dalam pandangan Wolf (Faruk, 1994:3) sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan banyak sekali percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat. Ia juga memperlihatkan studi sosiologi yang lebih verstehen atau fenomenologis yang sasarannya yakni level “makna” dari karya sastra.
2. Prespektif Sosiologi Sastra
Perspektif sosiologi sastra yang patut diperhatikan yakni pernyataan Levin (Elizabeth dan Burns, 1973:31) “ literature is not only the effect of social causes but also the cause of social effect”. Sugesti ini memberikan arah bahwa penelitian sosiologi sastra sanggup kearah hubungan dampak timbale balik antara sosiologi dan sastra. Keduanya akan saling mempengaruhi dalam hal-hal tertentu yang pada gilirannya menarik perhatian peneliti.
Pada prinsipnya, berdasarkan Laurenson dan Swingewood (1971) terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen social yang didalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi kejadian sejarah dan keadaan sosial budaya.
B. Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra
1. Fungsi Sosial Sastra
Fungsi sosial sastra berdasarkan Watt (Damono, 1978:70-71) akan berkaitan dengan pertanyaan seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan hingga berapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial. Dalam kaitan ini ada tiga hal yang perlu diungkap : (a) sudut pandang kaum romantik yang menganggap sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau Nabi, dalam pandangan ini tercakup wawasan biar sastra berfungsi sebagai pembaharu atau perombak; (b) sudut pandang bahwa karya sastra bertugas sebagai penghibur belaka; dalam hal ini gagasan “seni untuk seni” tak ada bedanya dengan praktik melariskan dagangan untuk mencapai best seller, dan (c) semacam kompromi sanggup dicapai dengan meminjam slogan klasik sastra harus mengajarkan sesuatu dengan jalan menghjibur.
2. Produksi dan Pemasaran Sastra
Penelitian ihwal produksi dan pemasaran sastra memang jarang dilakukan. Karena, kasus ini seolah-olah menjadi tanggung jawab penerbit. Padahal, bahu-membahu tidak demikian, artinya pengembangan karya sastra juga menjadi tanggung jawab bersama. Sekurang-kurangnya studi semacam ini akan menghubungkan tiga kutup sastra yaitu penerbit, pembaca, dan pengarang.
Perhatian peneliti semacam itu, memang sedikit mengesampingkan sosiologi sastra sebagi teori, melainkan berupaya memperhitungkan banyak sekali hal yang terkait dengan factor-faktor sosial yang menyangkut sastra. Factor-faktor tersebut antara lain : tipe dan taraf ekonomi masyarakat kawasan berkarya, kelas atau kelompok sosial yang bekerjasama dengan karya, sifat pembaca, system sponsor, pengayom, tradisi sastra dan sebagainya.
PENELITIAN PSIKOLOGI SASTRA
A. Landasan Pijak Psikologi Sastra
Asumsi dasar penelitian psikologis sastra antara lain dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, adanya anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar atau subconcius sehabis terang gres dituangkan kle dalam bentuk secara sadar (conscious). Antara sadar dan tak sadar selalu mewarnai dalam proses imajinasi poengarang. Kekuatan karya sastra sanggup dilihat seberapa jauh pengarang bisa mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta sastra.
Kedua, kajian psikologis sastra di smping meneliti perwatakan tokoh secara psikologi juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptrakan karya tersebut. Seberapa jauh pengarang bisa menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya menjadi semakin hidup. Sentuhan-sentuhan emosi melalui obrolan ataupun pemilihan kata, bahu-membahu merupakan citra kekalutan dan kejernihan batin pencipta. Kejujuran batin itulah yang akan menimbulkan orisinalitas karya.
B. Pendekatan Psikologi Sastra
1. Beberapa Kemungkinan Kajian
Pada dasarnya psikologi sastra akan ditopang oleh tiga pendekatan sekaligus. Pertama, pendekatan tektual, yang mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra. Kedua pendekatan reseptik-reseptik yang mengkaji aspek psikologis pembaca sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari dampak karya sastra yang dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra. Ketiga, pendekatan ekspresif yang mengkaji aspek psikologi sang penulis ketika melaksanakan proses kreatif yang terproyeksi lewat karyanya, baik penulis sebagai pribadi maupuin wakil masyarakat (Roekhan, 1990:88)
Penelitian psikologis sastra dari aspek tekstual, semula memang tak bisa lepas dari prinsip-prinsip Freud ihwal psikologis dalam. Buku Freud ihwal interpretasi mimpi dalam teks sastra, telah banyak mengilhami para peneliti psikologi teks. Apalagi buku ini belakangan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tentu lebih gampang dipahami oleh ilmuwan kita.
2. Kajian Estetika Eksperimental
Penelitian psikologi sastra lebih menitikberatkan pada aspek functioning humand mind “pikiran manusia”( Segers, 2000:73). Fungsi termaksud akan bekerjasama dengan istilah Berlyne ihwal experimental esthetics. Yakni peneliti akan menggunakan respoinden kurang lebih 25-an, jauh lebih kecil dari penelitian sosiologi sastra resepsi. Peneliti akan mengaitkan estetika eksperimental sebagai studi dampak efek-efek motivasional dari teks sastra pada penerimanya. Efek motivasional ini akan tampak melalui aspek kolatif, yaitu sebuah stimulus yang muncul dalam teks sastra. Aspek kolatif merupkan kepingan teks yang sanggup membangkitkan perasaan, contohnya kebaruan (novelty), surprising(keterkejutan), complexity (kemajemukan), ambiguity (ambiguitas) dan puzzlingnes (ketertekatekian).
C. Psikoanalisa
1. Hubungan Sastra Dan Psikoanalisa
Psikoanalisa yakni wilayah kajian psikologi sastra. Model kajian ini pertama kali dimunculkan oleh Sigmund Freud (Milner, 1992:43), seorang dokter muda dari Wina. Ia mengemukakan gagasannya bahwa kesadarannya merupakan sebagian kecil dari kehidupan mental sedangkan kepingan besarnya yakni ketaksadaran atau tak sadar. Ketaksadaran ini sanggup menyublim ke dalam proses kreatif pengarang. Ketika pengarang membuat tokoh, kadang “bermimpi” menyerupai halnya realitas. Semakin jauh lagi, pengarang juga sering “gila” sehingga yang diekspresikan seolah-olah lahir bukan dari kesadarannya.
Dalam kajian psikologi sastra, akan berusaha mengungkap psikoanalisa kepribadian yang dipandang mencakup tiga unsur kejiwaan, yaitu : id, ego dan suuper ego. Ketiga system kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk totalitas, dan tingkah laku insan yang tak lain merupakan produk interaksi ketiganya. Id (das es) yakni system kepribadian insan yang paling dasar. Dalam pandangan Atmaja (1988:231) Id merupakan pola penting untuk memahami mengapa seniman / sastrawan menjdi kreatif. Melalui Id pula sastrawan bisa mnenciptakan symbol-simbol tertentu dalam karyanya. Makara apa yang kemudian dinamakan novel psikologis contohnya ternyata merupakan karya yang dikerjakan berdasarkan interpretasi posikologis yang sebelumnya telah mendapatkan perkembangan tabiat untuk kepentingan struktur plot.
2. Alam Bawah Sadar
Penerapan penelitian psikologi sastra dalam kajian pernah dilakukan oleh M.S. Hutagalung dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis dan Zainuddin Fananie (2001) dalam novel NByali karya Putu Wijayta. Keduia penelitian tersebut menggunakan teori psikoanalisis Freud untuk membedah novel. Makara keduanya terang penelitian psikologi sastra yang berpijak pada teks sastra. Asumsi peneliti bahwa pencipta kedua novel tersebut menerapkan teori psikoanalisis ke dalam karya.
Dari penelitian tersebut, ternyata MS. Hutagalung bisa mengungkapkan bahwa tokoh Isa pada novel Jalan Ada Ujung mempunyai sikap yang terpengaruh pandangan Freud ihwal lapisan tak sadar dari jiwa manusia. Misalkan Mochtar Lubis bercerita ihwal Guru Isa : “ia menutup mukanya dengan kedua tangannya dan mengerang perlahan-lahan. Dia tidak tahu. Tapi yang dirasakannya kini ialah reaksi yang lambat yang kini timbul dan perasaan yang tertekan tadi.
C. Langkah dan Proses Analisis
Langkah yang perlu dilakukan oleh peneliti psikologi sastra tidak akan lepas dari target penelitian. Apakah peneliti sekedar menitikberatkan pada psikologi tokoh dan atau hingga proses kreativitas pengarang. Yang penting harus dilakukan dari target penelitian ihwal psikologi tokoh ada beberapa proses, yaitu : Pertama, pendekatan psikologi sastra menekankan kajian keseluruhan baik berupa unsur intrisik maupun ekstrinsik. Namun tekanan pada unsur intrisik, yaitu ihwal penokohan dan perwatakannya.
Kedua, disamping tokoh dan watak, perlu dikaji pula kasus tema karya. Analisis tokoh seharusnya ditekankan pada budi sikap rokoh. Tokoh yang disoroti tak hanya terfokus pada tokoh utama, baik protagonis maupun antagonis. Tokoh-tokoh bawahan yang dianggap tak penting pun harus diungkap. Yang lebih penting, peneliti harus mempunyai alasan yang masuk budi ihwal tabiat tokoh, mengapa oleh pengarang diberi perwatakan demikian.
Ketiga, konflik perwatakan tokoh perlu dikitkan dengan alur cerita. Misalkan saja, ada tokoh yang phobi, neurosis, halusinasi, gila dan sebagainya. Jika yang terkahir ini hingga terjadi, berarti ini menjadi wilayah penelitian psikologi sastra.
PENELITIAN ANTROPOLOGI SASTRA
A. Ruang Lingkup Antropologi Sastra
Penelitian antropologi sastra yakni celah gres penelitian sastra. Penelitian yang mencoba menggabungkan dua disiplin ilmu inim sepertinya masih jarang diminati. Padahal sesungguhnya banyak hal yang menarik dan sanggup digali dari model ini. Maksudnya, peneliti sastra sanggup mengungkap banyak sekali hal yang bekerjasama dengan kiasan-kiasan antropologis. Peneliti juga sanggup leluasa memadukan kedua bidang itu secara interdisipliner, lantaran baik sastra maupun antropologi sama-sama berbicara ihwal manusia.
Penelitian saemacam itu perlu dilakukanm tidak berarti peneliti sastra tergolong serakah. Namun, banyak hal dalam karya sastra yang memuat aspek-aspek etnografi kehidupan insan dan sebaliknya tidak sedikit karya etnografi yang memuat kiasan-kiasan sastra. Makara penelitian antropologi sastra sanggup menitikberatkan pada dua hal. Pertama, meneliti karya sastra dari sisi pandang etnografi, yaitu untuk melihat aspek-aspek budaya masyarakat.
B. Fokus dan Proses Analisis Antropologi Sastra
Antropologi sastra termasuk ke dalam pendekatan arkepital, yaitu kajian karya sastra yang menekankan pada warisan budaya masa lalu. Warisan budaya tersebut sanggup terpantul dalam karya-karya sastra klasik dan modern. Karenanya, peneliti antropologi sastra sanggup mengkaji keduanya dalm bentuk paparan etnografi.
C. Analisis Mitos Model Levi-Strauss
1. Keunikan Mitos Sebagai Bahan Kajian
Mitos yang dimaksud Levi-Strauss tak selalu sama dengan konsep mitos pada umumnya. Levi-Strauss beropini bahwa mitos tidak selalu relevan dengan sejarah dan kenyataan. Mitos jiuga tidak selalu bersifat sakral atau wingit (suci). Oleh karena, mitos yang suci pada suatu tempat, di kawasan lain hanya dianggap khayalan. Makara mitos dalam kajian Levi-Strauss, tak lebih sebagai dongeng.
Dongeng merupakan sebuah kisah atau dongeng yang lahir dari hasil imajinasi manusia, dari imajinasi manusia, walaupun kehidupan insan sehari-hari. Melalui dongeng tersebut, imajinasi insan memperoleh kebebasan mutlak, lantaran insan bebas membuat apa saja. Hal-hal yang tak masuk budi boleh terjadi dalam dongeng. Misalkan saja, dongeng Kancil dan Gajah yang menokohkan seekor kancil yang bisa memperdaya gajah.
2. Sistem Oposisi
Paham penelitian Levi-Strauss, selain terilhami de Saussure, juga terpengaruh Jakobson dan Troubetzkov. Dalam membahas mitor, Levi-Strauss menyatakan bahwa mitos intinya menyerupai dengan bahasa. Jika dalam bahasa ada konsep la language, yaitu keseluruhan sistem tanda yang dimiliki kelompok orang yang menggunakan bahasa dan la parole yakni perwujudan dari sistem tanda itu, yaitu tindak bicara konkrit seorang individu yang pada ketika tertentu menggunakan sistem tanda itu untuk memberikan pesan kepada orang lain, ada aspek diaronik dan sinkronik, paradigmatik dan sintagmtik yang di dalamnya ada relasi-relasi dalam mitos pun demikian juga. Aspek sinkronik yakni mitos yang diyakini sebagai kejadian masa lampau namun masih relevan untuk masa kini dan aspek diakronik yakni mitos yang berasal dari masa lampau tetapi tetap ada hingga sekarang.
3. Langkah Analisis
Analisis mitos model Levi-Strauss sanggup berupa kajian struktural. Kajian yang dilakukan bisa berupa satu atau lebih mitos. Jika materi kajian hanya satu mitos, peneliti akan mencari struktur perjalanan cerita, tokoh, ideologi tokoh, dan sebagainya. Unsur-unsur struktur intrisik dongeng itu selanjutnya distrukturkan.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam analisis mitos yakni sebagai berikut :
(1). Merekam, mentransfer dan mendokumentasikan mitos kalau belum berupa tulisan.
(2). Membaca mitos satu demi satu, kemudian diidentifikasi mitem-mitemnya.
(3). Pencarian mitem, sanggup menggunakan sistem kerja trial and error hingga peneliti menemukan struktur yang sulit tergioyahkan.
(4). Kata atau kalimat yang menjadi mitem tadi dicatat dalam kartu data sesuai dengan perkembangan cerita.
(5). Menyusun mitem-mitem tersebut dalam struktur sintagmatis dan paradigmatis.
PENELITIAN PRAGMATIK DAN RESEPSI SASTRA
A. Antara Penelitian Pragmatik dan Resepsi
Pragmatik sastra yakni cabang penelitian yang ke arah aspek kegunaan sastra. Penelitian ini muncul atas dasar ketiudakpuasan terhadap penelitian struktural murni yang memandang karya sastra sebagai teks itu saja. Kajian struktural dianggap hanya bisa menjelaskan makna sastra dari aspek permukaan saja. Maksudnya, kajian struktur sering melupakan aspek pembaca permukaan saja. Maksudnya, kajian struktur sering melupakan aspek pembaca sebagai peserta makna atau pemberi makna. Karena itu, muncul penelitian pragmatik, yakni kajian sastra yang berorientasi pada kegunaan karya sastra bagi pembaca. Aspek kegunaan sastra ini sanggup diungkap melalui penelitian resepsi pembaca terhadap cipta sastra.
Penelitian resepsi bahu-membahu wilayah telaah pragmatik sastra. termasuk di dalamnya yakni bagaimana kegiatan pembaca sebagai penikmat dan penyelamat karya sastra lama. Sebagai penikmat, pembaca akan meresepsi dan sekaligus memberikan tanggapan tertentu terhadap karya sastra. Sebagai penyelamat, pembaca yang mau mendapatkan kehadiran sastra, juga akan meresepsi dan selanjutnya melestarikan dengan cara mentransformasikan.
B. Dasar Penelitian Sastra
Penelitian sastra tergolong ilmu geistewissenschafen, artinya telaah ilmu kemanusiaan. Penelitian serupa sering disebut juga telaah humaniora. Hanya saja, subyeknya sanggup berupa teks sastra dan ihwal sastra. Penelitian teeks sastra selalu dikaitkan dengan hidup manusia, maka telaah ihwal sastra , berkaitan dengannihwal yangb menyangkut di luar teks sastra, menyerupai pembaca dan pengarang. Baik penelitian teks sastra maupun ihwal aspek di luar sastra, keduanya sama-sama penting dan saling melengkapi. Karena itu peneliti sastra perlu mempertimbangkan aspek pembaca dalam pemaknaan teks. Salah satunya bidang yang relevan diteliti yakni kasus resepsi sastra. Dari sini akan terungkap terang bagaimana tanggapan pembaca terhadap teks sastra.
C. Aspek Penelitian Resepsi Sastra
Penelitian resepsi sastra intinya merupakan penyelidikan reaksi pembaca terhadap teks. Reaksi termaksud sanggup positif dan juga negatif. Resepsi yang bersifat positif, mungkin pembaca akan senang, gembira, tertawa, dan segera mereaksi dengan perasannya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Mukarovsky (Fokkema, 1977:1347) bahwa peranan pembaca amat penting yaitu sebagai pemberi makna teks sastra. Karya sastra hanya artefak yang harus dihidupkan kembali dan diberi makna oleh pembaca sehingga menjadi obyek estetik. Reaksi terhdap teks sastra tersebut sanggup berupa sikap dan tindakan untuk memproduksi kembali, membuat hal yang baru, menyalin, meringkas, dan sebagainya. Sebaliknya, reaksi yang bersifat negatif mungkin pembaca akan sedih, akan jengkel, bahkan antipati terhadap teks sastra.
D. Analisis Resepsi sastra
1. Pendekatan Yang Digunakan
Pendekatan yang sering digunakan oleh peneliti resepsi yakni fenomenologi. Fenomenologi berasal dari kata Yunani phaenomenon yang berarti tanda-tanda yng tampak. Maksudnya, peneliti resepsi sanggup mencermati tanda-tanda yang tampak pada si pembaca teks sastra. Mungkin pembaca akan merasa tergila-gila, senang, msedih dan atau tertawa terbahak-bahak. Hal semacam ini telah dilakukan Roman Ingarden (Iser, 1978:170) secara fenomenologis ia mngungkapkan keberterimaan karya sastra. Menurut Ingarden, setiap karya sastra secara prinsip belum dikatakan lengkap lantaran hanya menghadirkan bentuk skematik dan sejumlah “tempat tanpa batas” yangb perlu dilengkapi secara individual berdasarkan penghalamannya akan karya-karya lain. Namun demikian, sejauh menyangkut teks lain (yang dikenal dengan model sastra perbandingan) dianggap belum sempurna. Yang sanggup dilakukan untuk melengkapi struktur karya sastra itu yakni melaksanakan konkretasi (penyelarasan atau pengisian makna oleh pembacanya). Maka, pembaca akan berusaha menafsirkan atau menggunakan sejauh pengalaman yang dimilikinya.
2. Horison Pembaca Dan Kategori Pembaca
Dalam pandangan Jauss, horison pembaca (horizon of expectation) memungkinkan terjadinya penerimaan dan pegolahan dalam batin pembaca terhadap teks sastra. Horison harapan pembaca terbagi menjadi dua, yaitu (1) yang bersifat estetis dan (2) tak estetik (diluar tekls sastra). Yang bersifat estetik berupa penerimaan unsur-unsur strukjtur pembangun karya sastra, menyerupai tema, alur, gaya bahasa, dan sebagainya. Kedua sisi resepsi sastra tersebut sama-samna penting dalam pemahaman karya sastra.
Melalui penelitian resepsi serupa, Jauss ingin merombak sejarah sastra masa itu yang terkesan hanya memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra. Fokus perhatiannya yakni proses sebuah karya sastra diterima, semenjak pertyama kali ditulis hingga penerimaan selanjutnya. Bagi Jauss, karya sastra mempunyai implikasi estetik dan historis. Implikasi estetik muncul apabila sebuah teks dibandingkan dengan teks lain yang telah dibaca, dan implikasi historis muncul jawaban perbandingan historis dengan rangkaian penerimaan atua resepsi sebelumnya.
PENELITIAN SASTRA BANDINGAN
A. Konsep Sastra Bandingan
1. Hakikat Kajian Sastra Bandingan
Dua istilah yang perlu dijelaskan untuk membantu peneliti yakni sastra bandingan dan sastra perbandingan.. Dua hal ini mempunyai implikasi yang kurang lebih sama. Sastra bandingan sering disingkat sanding dan sastra perbandingan disingkat sasper. Penyingkapan semacam ini sekedar mempermudah ucapan saja, yang penting pengertiannya tidak berbeda.
Sastra bandingan yakni sebuah studi teks across cultural. Studi ini merupakan upaya interdisipliner, yakni lebih banyak memperhatikan hubungan sastra berdasarkan aspek waktu dan tempat. Dari aspek waktu, sastra bandingan sanggup membandingkan dua atau lebih periode yang berbeda. Sedangkan konteks tempat, akan mengikat sastra bandingan berdasarkan wilayah geoggrafis sastra. Konsep ini merepresentasikan bahwa sastra bandingan memang cukup luas. Bahkan pada perkembangan selanjutnya, konteks sastra bandingan tertuju pada bandingan sastra dengan bidang lain. Bandingan semacam ini, guna merunut keterkaitan aspek kehidupan.
2. Ilmu Sastra Bandingan
Ilmu sastra menjadi pijakan sastra bandingan. Oleh karena, melalui ilmu sastra tersebut akan sanggup dilihat apakah karya sastra satu dengan yang lain saling bersinggungan atau tidak. Teori-teori ihwal gaya bahasa, naratologi, estetika dan sebagainya amat bermanfaat bagi studi sastra perbandingan. Tanpa ilmu dan atau teori mendasar, seorang peneliti tak mungkin membandingkan karya sastra secara cermat. Apalagi kalau karya sastra yang dibandingkan itu sangat halus kemiripannya.
Sastra bandingan, awalnya memang berkembang di Perancis, Inggris, Jerman, dan negara-negara Eropa lainnya. Selanjutnya, sastra bandingan juga melebarkan sayap ke Amerika dan Asia pada umumnya. Sejak tahun 1970-an sastra bandingan mulai berkembang dengan mengkaji karya-karya Andre Malraug, William Somerset Maughnam dan Franz Kafka. Pada awalnya, sastra bandingan sekedar membandingkan karya sastra dengan karya sastra, untuk mencari kefavoritan dan keoriginalitasan karya sastra. Dari perbandingan ini, akan ditemukan karya-karya yang bertaraf nasional dan bahkan taraf dunia.
B. Intertekstualitas dan Sastra Bandingan
1. Orisinalitas Tes
Penelitian interteks bahu-membahu kepingan dari sastra bandingan. Interteks memang lebih sempit dibanding sastra perbandingan. Jika sebagian besar interteks merupakan gerakan peneliti filologi baik klasik maupun modern, yang selalu bekerjasama dnegan teks sastra, sastra bandingan justru lebih luas lagi. Sastra bandingan sanggup melebar ke arah bandingan antara sastra dengan bidang lain yang mungkin (diluar sastra).
Munculnya studi interteks bahu-membahu lebih banyak dipengaruhi oleh pembuatan sejarah sastra. Karena melalui pembuatan sejarah sastra, interteks akan menyumbangkan materi yang luar biasa poentingnya. Maksudnya, kalau dalam tradisi sastra terdapat pinjam-meminjam (gaduh) antara sastra satu dengan yang lain, akan terlihat pengaruhnya. Sedangkan munculnya sastra bandingan dengan bidang lain, kemungkinan besar dipengaruhi oleh penelitian lintas disiplin ilmu. Lintas disiplin ini akan memandang sebuah fenomena senada akan mempunyai sumbangan penting dan saling terpengaruh. Pengaruh tersebut akan menjadi lengkap apabila telah dibandingkan secara cermat satu sama lain.
2. Pokok Kajian Interteks
Kajian sastra bandingan, pada alhasil harus masuk ke dalam wilayah hipogram. Hipogram yakni modal utama dalam sastra yang akan melahirkan karya berikutnya (Riffarterre, 1978:23). Makara hipogram yakni karya sastra yang menjadi latar kelahiran karya berikutnya. Sedangkan karya berikutnya dinamakan karya transformasi. Hipogram dan transformasi ini akan berjalan terus menerus sejauh proses sastra itu hidup. Hipogram merupakan induk yang akan menetaskan karya-karya baru. Dalam hal ini peneliti sastra berusaha membandingkan antara karya induk dengan karya baru. Namun tidak ingin mencari keaslian sehingga menganggap bahwa yang lebih bau tanah yang hebat, menyerupai halnya studi filologi. Studi interteks justru ingin melihat seberapa jauh tingkat kreativitas pengarang.
C. Sastra Bandingan, Sastra Nasional, dan Sastra Dunia
Kajian sastra bandingan tidak sanggup mengabaikan peranan sastra nasional yang lama-kelamaan akan menjadi sastra dunia. Sastra nasional yakni sastra yang secara umum menjadi milik bangsa. Pengertian nasional ini yakni batas wilayah politik suatu negara. Jadi, karya sastra Amerika, Serikat, dan Inggris, meskipun sama-sama menggunakan bahasa Inggris, yakni dua hal yang berbeda.
Istilah yang sering terkait dengan sastra bandingan yakni sastra dunia (world literature). Ada juga yang menyebut sastra universal. Sastra dunia yakni sastra yang memuat pandangan-pandangan universal atau mendunia. Sastra tersbut diakui oleh seluruh orang di dunia. Biasanya, karya-karya senacam ini tergolong masterpiece (karya sastra agung). Karya sastra demikian banyak diterjemahkan ke dalam banyak sekali bahasa ke seluruh dunia. Tentu saja untuk menjadi sastra dunia tidak hanya memakan waktu pendek. Meskipun ukuran waktu ini sangat lentur, namun sekurang-kurangnya bila karya tersebut sangat digemari oleh siapapun di dunia, boleh dikatakan sebagai sastra dunia.
D. Ruang Lingkup Sastra Bandingan
Sastra bandingan merupakan kajian sastra di luar batas sebuah negara dan ihwal hubungan di antara sastra dengan bidang ilmu serta kepercayaan lain. Pada dasarnya, baik studi interteks maupun sastra bandingan akan mencari dua hal, yaitu: (1) affinity (pertalian, kesamaan) dan atau paralelisme serta varian teks satu dengan yang lain; (2) dampak karya sastra satu kepada karya sastra lain atu dampak sastra pada bidang lain dan sebaliknya....
Dua hal tersebut masih bisa dikembangkan lagi menjadi beberapa lingkup studi, antara lain : (a) perbandingan antara karya pengarang satu dengan lainnya, pengarang yang sezaman, antar generasi, pengarang yang senada, dan sebagainya; (b) membandingkan karya sastra dengan bidang lain, menyerupai arsitektur, pengobatan tradisional, takhayul, dan seterusnya; (c) kajian bandingan yang bersifat teoritik, untuk melihat sejarah, teori dan kritik sastra.
E. Konsep Pengaruh dalam Sastra Bandingan
Kajian konsep pengaruh, merupakan titik terpenting bagi studi sastra bandingan. Karya yang terpengaruh dengan karya sebelumnya, tentu akan mempunyai identitas tersendiri. Dari proses pengaruh-mempengaruhi itu akan terdapat banyak sekali aspek bandingan yang disebut varian. Dalam konteks ini, memang karya sebelumnya dianggap karya “super”, artinya bisa mempengaruhi karya berikutnya. Seberapa jauh keterpengaruhan tersebut, tergantung kemampuan pengarang. Keterpengaruhan ini terang akan dipengaruhi oleh banyak sekali hal, antara lain : (a) perkembangan karir pengarang, (b) proses penciptaan pengarang, (c) tradisi atau budaya pengarang. Dari tiga hal ini, manakala pengarang berikutnya bersikap ceroboh, tentu akan terdapat dampak yang eksklusif atau semakin jelas. Berbeda dengan pengarang yang kreatif, tentu dampak tersebut semakin halus dan hampir tersembunyi. Pengarang yang banyak membaca karya lain dan sering bermigrasi ke mana-mana, seringkali terpengaruh sumber.
F. Metode Sastra Bandingan
Metode sastra bandingan tidak jauh berbeda dengan metode kritik sastra, yang obyeknya lebih darti satu karya. Penekanan sastra bandingan yakni pada aspek kesejarahan teks. Itulah ebabnya, berdasarkan Yaapar (Santosa, 2003:99) sastra bandingan bersifat positivistik. Kajiannya bercorak binari (duaan) dan bertumpu pada rapport defaits, artinya perhubungan faktual antara dua buah teks yang diteliti secara pasti. Kegiatan yang dilakukan juga menganalisis, menafsirkan dan menilai. Karena obyeknya lebih dari satu, setiap obyek harus ditelaah, barulah hasil telaah tersebut diperbandingkan. Bisa saja, peneliti melaksanakan analisis struktural kedua karya, gres diperbandingkan. Dengan cara ini akan mempermudah peneliti melakjukan bandingan. Setidaknya akan gampang ditemukan unsur persamaan dan perbedaan setiap karya sastra.
0 Komentar untuk "Makalah Penelitian Sastra"