Makalah: Karya Sastra Dalam Kajian Filsafat Ilmu

BAB I  PENDAHULUAN
Seluruh ilmu hakikatnya berasal dari filsafat. Darinyalah seluruh ilmu berasal, darinya pula seluruh ilmu dan pengetahuan insan dilahirkan. Sikap dasar selalu bertanya menjadi ciri filsafat, menurun pada banyak sekali cabang ilmu yang semula berinduk padanya. Karenanya, dalam semua ilmu terdapat kecenderungan dasar itu. Manakala ilmu mengalami kasus yang sulit dipecahkan, ia akan kembali pada filsafat dan memulainya dengan perilaku dasar untuk bertanya. Dalam filsafat, insan mempertanyakan apa saja dari banyak sekali sudut, secara totalitas menyeluruh, menyangkut hakikat inti, lantaran dari segala sebab, mancari jauh ke akar, sampai ke dasar.

Apakah karya sastra yang pada hakekatnya ialah goresan pena termasuk katagori ilmu? Sebuah goresan pena mempunyai sifat pragmatis dan paradoksial. Di satu sisi menawarkan sebuah keniscahyaan terhadap perkembangan peradaban umat manusia, namun di sisi lain sanggup menjadi alat yang ampuh untuk  menggantikan sebuah ingatan kolektif sebuah masyarakat dengan cara menggantikan tulisan-tulisan usang dengan tulisan-tulisan gres yang bertujuan untuk menegasi ingatan masa kemudian dan masa kini. Sehingga sebuah realitas gres tercipta untuk tujuan tertentu, biasanya pola-pola tersebut dipraktekkan oleh rezim-rezim totaliter untuk melanggengkan kekuasaannya. Hal tersebut memang terjadi, dan benar-benar terjadi, dan jikalau hal tersebut terjadi, maka akan lahir sebuah realitas tandingan berupa goresan pena pula yang tidak tersurat namun tersirat.
Tulisan melahirkan banyak sekali macam bentuknya, salah satunya ialah yang disebut sebagai sastra. “Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa dipakai untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis goresan pena yang mempunyai arti atau keindahan tertentu” (http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra). Dalam sebuah karya sastra yang merupakan sebuah bentuk imajinasi insan yang terlahir melalui sebuah tulisan—makna-makna untuk membidani sebuah realitas tandingan selalu tersirat di dalamnya dalam diksi yang mempunyai daya pikat estetis. Sastra ialah perwujudan pikiran dalam bentuk tulisan. Tulisan sendiri ialah sebuah media daerah tercurahnya ide-ide abnormal yang mempunyai subtansi filosofis.  Dengan demikian dalam sebuah karya sarta sebuah kenyataan akan kebenaran menjulang diantara belantara metafora dan diksi yang mempunyai nilai estetis yang tinggi.
Dalam makalah ini penulis membahas mengenai “Tulisan atau Karya Sastra dalam Kajian Filsafat Ilmu (Epitemologi. Ontologis dan Aksiologi)”


BAB II  PERMASALAHAN

Tulisan bisa menjadi suatu pengait, pengikat, dan jembatan antara masa kemudian dengan masa sekarang bahkan dengan masa depan. Seperti halnya risalah-risalah kenabian atau risalah perihal nihilism global yang termaktub dalam karya-karya filsuf godam dari Jerman, Friedrich Nietzsche. Namun secara umum, insan selalu alfa akan sejarahnya, ibarat halnya pernyataan Hegel dalam Filsafat Modern, Sejarah mengambarkan kepada kita bahwa insan tidak pernah berguru dari sejarahnya”. Bahkan dalam kitab suci, Tuhan berulangkali memberi peringatan kepada insan biar tidak memalsukan kelakuan jelek atau kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh umat sebelumnya, dan ironisnya selalu saja di ulangi kembali oleh insan yang telah membaca dan mengetahui kesalahan-kesalahan tersebut.
Tulisan pada dasarnya ialah tafsiran sang penulis atas dunia ini. Bisa dikatakan bahwa penulis ialah seniman, lantaran pada intinya, penulis mengekspresikan bunyi hatinya melalui kata-kata yang bertautan menyulam hal-ikhwal menjadi sebuah makna dengan tingkat estetikanya tersendiri. Dunia dalam mata penulis ialah sebuah teks yang terbuka lebar di mana ia dan insan lainnya hidup bersamaan serta terlibat dalam mentafsirkan segala sesuatunya. Penulis bukan membenarkan sesuatu melainkan menyuguhkan keadaan yang tidak tersirat dalam kenyataan. Kebenaran dan keberartian pada dasarnya bukan kasus fakta melainkan permasalahan dunia makna. Berdasarkan proposisi- proposisi di atas, goresan pena ini merupakan sebuah pembuktian secara keilmuan bahwa goresan pena ialah anak kandung dari penulis dan penulis bisa dikatakan sebagai seorang seniman yang bertolak dari titik filosofis akan pemaknaannya terhadap dunia.
Dalam makalah ini, penulis akan mencoba mengkaji Karya Sastra  didinjau dari filsafat ilmu. Adapun permasalahan dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana Karya Sastra Ditinjau Secara Ontologi?
2.      Bagaimana Karya Sastra Ditinjau Secara epistemologis?
3.      Bagaimana Karya Sastra Ditinjau Secara aksiologis ?

BAB III PEMBAHASAN

A.           KARYA SASTRA DITINJAU SECARA ONTOLOGIS
Cabang utama metafisika ialah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan korelasi antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran insan mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, korelasi lantaran akibat, dan kemungkinan.
Cabang Ontologi, yaitu berada dalam wilayah ada. Kata Ontologi berasal dari Yunani, yaitu onto yang artinya ada dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, ontologi sanggup diartikan sebagai ilmu perihal keberadaan. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: apakah objek yang ditelaah ilmu? Bagaimanakah hakikat dari objek itu? Bagaimanakah korelasi antara objek tadi dengan daya tangkap insan yang membuahkan pengetahuan dan ilmu?
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang mempunyai pandangan yang bersifat ontologis ialah ibarat Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Dan pendekatan ontologi dalam filsafat mencullah beberapa paham, yaitu: (1) Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme; (2) Paham dualisme, dan (3) pluralisme dengan banyak sekali nuansanya, merupakan paham ontologik.
Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang bisa dipikirkan insan secara rasional dan yang bisa diamati melalui panca indera manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas pada jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Sementara kajian objek penelaahan yang berada dalam batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pascapengalaman (seperti nirwana dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar iimu. Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme.
Secara ontologis, goresan pena baik itu puisi, prosa, cerpen, essay, novel dan lainya bertolak dari titik berangkat pengalaman personal penulisnya. Tulisan mempunyai bentuk sebagai sebuah teks yang penuh dengan banyak sekali macam kompleksitas dari sebuah pemaknaan personal penulisnya. Tulisan yang pada kesannya mempunyai bentuk sebagai sebuah karya sastra ialah salah satu bentuk seni dari seorang penulis yang bermaksud memberikan seperangkat pesan kepada pembacanya dengan bertolak dari titik berangkat ontologis. Semua karya sastra yang berbentuk teks pada dasarnya sanggup dikaji pada tingkat tanda, struktur, gaya, sampai maknanya. Gejala penggunaan tanda dan atau lambang dalam karya sastra dikaji melalui semiotika. Gejala struktur dalam karya sastra dikaji melalui analisis alur ataupun analisis struktur. Gejala gaya bahasa dalam sastra dikaji melalui Stilistika, sedangkan tanda-tanda makna dalam karya sastra dikaji melalui Hermeneutika dan analisis teks. Telaah tersebut sanggup dijadikan sebagai sebuah landasan yang membuktikan fakta keilmuan sebuah goresan pena atau karya sastra lantaran sanggup dikaji secara ilmiah.
Secara ontology, sastra berdasarkan S. Brahmana dalam (http://brahmanamedan.wordpress.com/2009/11/22/48/), mempunyai lima dasar yang sanggup dikaji dalam banyak sekali perspektif. Di antaranya ialah sebagai berikut:
1.    Sastra sebagai bahasa
2.    Sastra sebagai seni
3.    Sastra sebagai komunikasi
4.    Sastra sebagai simbol
5.    Sastra sebagai hiburan
Sastra atau goresan pena ialah sebuah ilmu yang sanggup dipertanggungjawabkan.

B.            KARYA SASTRA DITINJAU SECARA EPISTEMOLOGI
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan insan (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods and limits of human knowledge). Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). berasal dari kata Yunani episteme, yang berarti “pengetahuan”, “pengetahuan yang benar”, “pengetahuan ilrniah”, dan logos = teori. Epistemologi sanggup didefmisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitas) pengetahuan.
Epistemologi, yaitu berada dalam wilayah pengetahuan. Kata Epistemologi berasal dari Yunani, yaitu episteme yang artinya cara dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, epistemologi sanggup diartikan sebagai ilmu perihal bagaimana seorang ilmuwan akan membangun ilmunya. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: bagaimanakah proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu? Bagaimanakah prosedurnya? Untuk hal ini, kita akan mengarah ke cabang fisafat metodologi.
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah: 1) Apakah pengetahuan itu?; 2) Bagaimanakah insan sanggup mengetahui sesuatu?; 3) Darimana pengetahuan itu sanggup diperoleh ?; 4) Bagaimanakah validitas pengetahuan itu sanggup dinitai ?; 5) Apa perbedaan antara pengetahuan a priori (pengetahuan pra-pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan puma pengalaman)?; 6) Apa perbedaan di antara: kepercayaan, pengetahuan, pendapat, fakta, kenyataan, kesalahan, bayangan, gagasan, kebenaran, kebolehjadian, kepastian ?
Langkah dalam epistemologi ilmu antara lain berpikir deduktif dan induk-tif. Berpikir deduktif menawarkan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikurnpuikan sebelumnya.  Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan ilnuah disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang gres berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Secara konsisten dan koheren maka ilmu mencoba menawarkan klarifikasi yang rasional kepada objek yang berada dalam fokus penelaahan.
Sastra atau goresan pena ialah produk kebudayaan yang memegang peranan penting dalam peradaban umat manusia, sehingga sastra dalam konteks ini menjadi terlibat pribadi dalam kebudayaan—bahkan membentuk kebudayaan itu sendiri. Hakikat sebuah goresan pena atau hakikat sebuah karya sastra dan kebudayaan ialah hakikat fiksi dan fakta. Karya sastra dibangun atas dasar oleh imajinasi yang pribadi bersumber dari keadaan yang senyatanya ada baik itu yang tersirat maupun yang tersurat, sehingga sanggup mengelaborasikan kenyataan-kenyataan pada ruang dan waktu pada dikala sebuah goresan pena itu terlahir.
Berdasarkan pada pemaknaan di atas, sebuah goresan pena atau karya sastra sebagai sebuah fakta epistemologis ialah berdasarkan pemaknaan personal penulisnya secara keilmuan. Sebuah goresan pena atau karya sastra mendapat keabsahaan keilmuannya dari pengertian penulisannya terhadap sesuatu hal secara sadar. Dan hal tersebut mengimplikasikan bahwa sebuah goresan pena dan karya sastra dibangun atas atau melalui dasar epistimologis yang kentara.
Epistemologi suatu karya sastra itu sangat bergantung dari ontologi yang kita pahami. Bila kita menganggap sastra sebagai bahasa, maka epistemologinya ialah ilmu-ilmu kebahasaaan. Bila kita menganggap sastra sebagai seni, maka epistemologinya ialah ilmu-ilmu kesenian. Bila kita menganggap sastra sebagai komunikasi, maka epistemologinya ialah ilmu komunikasi. Bila kita menganggap sastra sebagai simbol, maka epistemologinya ialah ilmu-ilmu perihal simbol. Bila kita menganggap sastra sebagai hiburan, maka epistemologinya ialah ilmu-ilmu kebudayaan populer.
Dari segi epistemolgi melahirkan banyak metode pengkajian sastra. Misalnya, strukturalisme, semiotik, hermeneutika, sosiosastra (sosiologi sastra), intertektualitas, psikologi sastra, dekonstruksi, simbolisme, postrukturalis, posmoderenis, analisis wacana, realisme, mimesis, pragmatik, ekspresi, obyektif, parafrastis, emotif, analitis, historis, sosiopsikologis, didaktis, semantik, tradisional, intensional, eksistensional, general, partikular, komparatif, doktrin, sekuensi, tematik, evaluatif, judisial, induktif,impresionistik, sosiokultural, mitopeik, relativistik, tekstual, lingusitik, elusidatori, politik/ideologi, dan sebagainya (S. Brahmana, “Sastra Sebagai Sebuah Disiplin Ilmu”).

C.            KARYA SASTRA DITINJAU SECARA AKSIOLOGI
Aksiologi berasal dari kata axios yakni dari bahasa Yunani yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Dengan demikian maka aksiologi ialah “teori perihal nilai” (Amsal Bakhtiar, 2004: 162). Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Jujun S. Suriasumantri, 2000: 105). Menurut Bramel dalam Amsal Bakhtiar (2004: 163) aksiologi terbagi dalam tiga bagian: Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral yang melahirkan etika; Keduei,- esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan, Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio-politik.
Aksiologi, yaitu berada dalam wilayah nilai. Kata Aksiologi berasal dari Yunani, yaitu axion yang artinya nilai dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, aksiologi sanggup diartikan sebagai ilmu perihal nilai-nilai etika seorang ilmuwan. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: untuk apa pengetahuan ilmu itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan metode ilmiah yang dipakai dengan norma-norma moral dan profesional? Dengan begitu , kita akan mengarah ke cabang fisafat Etika.
Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan value dan valuation. Ada tiga bentuk value dan valuation, yaitu: 1) Nilai, sebagai suatu kata benda abstrak; 2) Nilai sebagai kata benda konkret; 3) Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai.
Aksiologi dipahami sebagai teori nilai dalam perkembangannya melahirkan sebuah polemik perihal kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa disebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya, ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal sebagai value bound. Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai.
Netralitas ilmu hanya terletak pada dasar epistemologi raja: Jika hitam katakan hitam, jikalau ternyata putih katakan putih; tanpa berpihak kepada siapapun juga selain kepada kebenaratt yang nyata. Sedangkan secara ontologi dan aksiologis, ilmuwan harus bisa menilai antara yang baik dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan ia memilih perilaku (Jujun S. Suriasumantri, 2000:36).
Dilihat dari sudut aksiologi, sastra harus mempunyai nilai-nilai etis sebagai berikut:
1)    Karya Sastra harus mencerminkan dan memupuk rasa keindahan.
2)    Karya Sastra harus membimbing peradapan dan keutuhan bangsa.
3)    Karya Sastra harus menuntun ke arah pembangunan rohani bangsa.
4)    Karya Sastra harus menawarkan penerangan bagi persoalan-persoalan dalam masyarakat.
5)    Karya Sastra harus membuat ide-ide dan gagasan-gagasan baru.
6)    Karya Sastra harus bisa menawarkan hiburan bagi rakyat (penikmatnya). Maka yang menjadi aksiologi sastra ialah keenam unsur di atas.
Soal apakah keenam unsur ini terdapat di dalam sebuah karya sastra atau tidak, menjadi kasus lain.
Secara aksiologis sebuah goresan pena atau karya sastra mempunyai nilai-nilai etis bagi penulisnya sendiri sebagi penciptanya yang memang secara sadar menempatkan nilai-nilai etis dalam nilai-nilai estetika yang termaktub di dalam sebuah goresan pena atau karya sastra tersebut. Hal tersebut secara aksiologis telah mengesahkan sebuah goresan pena atau karya sastra sebagai salah satu karya yang sanggup dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
Sistematis ialah salah satu karakteristik dari ilmu pengetahuan. Secara umum yang ilmu pengetahuan haruslah sanggup dipertanggungjawabkan keabsahannya secara objektif. Secara garis besar, berdasarkan Ilmu Jujun S. Suriasumantri, pengetahuan ialah hasil pengamatan yang bersifat tetap, lantaran tidak menawarkan daerah bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh orang lain, dengan demikian tidak bersifat sistematik dan tidak objektif serta tidak universal. Sedangkan Ilmu pengetahuan merupakan kerangka konseptual atau teori uang saling berkaitan yang memberi daerah pengkajian dan pengujian secara kritis dengan metode ilmiah oleh ahli-ahli lain dalam bidang yang sama, dengan demikian bersifat sistematik, objektif, dan universal.
Sebuah goresan pena atau karya sastra sanggup dibuktikan sebagai sebuah ilmu lantaran sanggup dibuktikan melalui fakta-fakta ontologis, epistimologis, dan aksiologis. Karena berdasarkan S. Brahmana (http://brahmanamedan.wordpress.com/2009/11/22/48/), sastra ialah sebagai disiplin ilmu, berdiri dan sejajar dengan disiplin ilmu lain. Sedangkan kemandirian sastra sebagai ilmu-sastra, bergantung kepada dinamika yang terdapat di dalam karya sastra tersebut, lantaran (karya) sastra itu sanggup dilihat, didekati, dibicarakan dari banyak sekali sudut dan kepentingan.

BAB IV SIMPULAN

1)    .Ontologi ialah hakekat, inti atau esensi. Ontologi membahas perihal hakekat, inti atau esensi dari yang disebut pengetahuan atau dengan kata lain ontologi mengkaji perihal ‘realitas sejati’ dari pengetahuan. Maka yang dipertanyakan dalam ontologi ini apakah hakekat atau inti atau esensi dari pengethuan tersebut. Misalnya apakah hakekat, esensi dari sastra, apakah hakekat, esensi dari komunikasi dan sebagainya
2)    Secara ontologis, semua karya sastra yang berbentuk teks pada dasarnya sanggup dikaji pada tingkat tanda, struktur, gaya, sampai maknanya. Gejala penggunaan tanda dan atau lambang dalam karya sastra dikaji melalui semiotika. Gejala struktur dalam karya sastra dikaji melalui analisis alur ataupun analisis struktur. Gejala gaya bahasa dalam sastra dikaji melalui Stilistika, sedangkan tanda-tanda makna dalam karya sastra dikaji melalui Hermeneutika dan analisis teks. Telaah tersebut sanggup dijadikan sebagai sebuah landasan yang membuktikan fakta keilmuan sebuah goresan pena atau karya sastra lantaran sanggup dikaji secara ilmiah
3)    Epistemologi ialah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan (A.M.W Pranarka, 1987:3). Epistemologi mengkaji perihal validitas (keabsahan) dan batas-batas ilmu pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan didapatkan melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode keilmuan ini ada dua pertama metode deduksi dan kedua metode deduksi.
4)    Karya sastra sanggup dipandang sebagai sebuah fakta epistemologis berdasarkan pemaknaan personal penulisnya secara keilmuan. Bila kita menganggap sastra sebagai bahasa, maka epistemologinya ialah ilmu-ilmu kebahasaaan. Bila kita menganggap sastra sebagai seni, maka epistemologinya ialah ilmu-ilmu kesenian. Bila kita menganggap sastra sebagai komunikasi, maka epistemologinya ialah ilmu komunikasi. Bila kita menganggap sastra sebagai simbol, maka epistemologinya ialah ilmu-ilmu perihal simbol. Bila kita menganggap sastra sebagai hiburan, maka epistemologinya ialah ilmu-ilmu kebudayaan populer.
5)    Aksiologi atau deontologi ialah tinjauan filsafat mengenai hal-hal yang normatif. Misalnya kegunaan ilmu. Manfaat atau kegunaan apakah sanggup pribadi dirasakan, apakah tidak, sejauh mana dampak atau pengaruhnya terhadap insan dan sebagainya.
6)    Secara aksiologis sebuah goresan pena atau karya sastra mempunyai nilai-nilai etis bagi penulisnya sendiri sebagi penciptanya yang memang secara sadar menempatkan nilai-nilai etis dalam nilai-nilai estetika yang termaktub di dalam sebuah goresan pena atau karya sastra tersebut. Hal tersebut secara aksiologis telah mengesahkan sebuah goresan pena atau karya sastra sebagai salah satu karya yang sanggup dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
7)    Sebuah goresan pena atau karya sastra sanggup dibuktikan sebagai sebuah ilmu lantaran sanggup dibuktikan melalui fakta-fakta ontologis, epistimologis, dan aksiologis. Karena berdasarkan S. Brahmana (http://brahmanamedan.wordpress.com/2009/11/22/48/), sastra ialah sebagai disiplin ilmu, berdiri dan sejajar dengan disiplin ilmu lain. Sedangkan kemandirian sastra sebagai ilmu-sastra, bergantung kepada dinamika yang terdapat di dalam karya sastra tersebut, lantaran (karya) sastra itu sanggup dilihat, didekati, dibicarakan dari banyak sekali sudut dan kepentingan.



DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu (edisi revisi). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Cangara, Hafied. 2008. Pengantar Ilmu Komunikasi. Edisi Revisi. Jakarta. Raja Grafindo Persada.

Effendy, Onong Uchyana. 1994. Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. Bandung. Remaja Rosdakarya.

Effendy., Onong Uchjana, 2000, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi,  Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung. Remaja Rosdakarya..

Suhartono, Suparlan. 2005. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Ar Ruzz..

Suriasumantri, Jujun S, 1985, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,  Penerbit Sinar Harapan, Jakarta

http://brahmanamedan.wordpress.com/2009/11/22/48/, diunduh tanggal 10 Nopember 2013, Pkl 21.00

http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra diunduh tanggal 10 Nopember 2013, Pkl 21.30

Related : Makalah: Karya Sastra Dalam Kajian Filsafat Ilmu

0 Komentar untuk "Makalah: Karya Sastra Dalam Kajian Filsafat Ilmu"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)