ARTIKEL KE 849
Rahasia Sukses Konglomerat T.P. Rachmat
Rupiah terus melemah, harga barang-barang impor pun melonjak...
Apakah ekonomi kita sedang sulit?
Konglomerat Theodore Permadi Rachmat, yang telah melewati masa-masa ekonomi sulit, mengatakan jangan melihat ekonomi dari devaluasi nilai tukar semata. Menurut dia, inflasi tinggi lebih mengerikan karena membuat masyarakat bawah tak sanggup membeli kebutuhan pokok.
Saat kebanyakan pelaku usaha kelimpungan melihat rupiah yang limbung, Theodore Permadi Rachmat, 74 tahun, adem-ayem saja. Pengalamannya berbisnis selama lima puluh tahun membuatnya yakin bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kondisi ekonomi Indonesia sekarang. “Di masa Presiden Soeharto, devaluasi sering sekali. Enggak ada masalah. Ini mah kecil,” ujar pendiri Triputra Group itu.
Dia telah melewati masa-masa ekonomi sulit, dari 1997-1998, 2005, 2008, hingga terakhir tahun ini. Ia meminta kondisi ekonomi tidak dilihat dari penurunan nilai tukar semata. Rupiah yang melemah, kata dia, hanya berdampak hebat terhadap importir. Selama konsumen tidak menggunakan barang impor, tidak ada pengaruhnya. Beras produksi di Indonesia, cabai diproduksi di Indonesia. Tidak impor. So, why worry? “Inflasi tinggi lebih mengerikan karena membuat masyarakat bawah tidak sanggup membeli barang kebutuhan pokok.
Pendiri Astra perusahaan multinasional yang kini mempekerjakan lebih dari 200 ribu karyawan di 200-an anak perusahaan ini menjadi orang nomor 19 terkaya di Indonesia versi majalah Forbes. Ketiika ditanya. "Apakah pengusaha memandang pelemahan rupiah sekarang sudah pada tahap mengkhawatirkan?"
Dia jawab, "Saya enggak bisa bilang atas nama pengusaha, karena tiap bisnis berbeda. Bisnis saya kebanyakan di ekspor. Jadi, saat rupiah melemah, saya lebih senang, ha-ha-ha…. Saya berusaha mulai akhir 1970. Di masa Presiden Soeharto, devaluasi sering sekali. Enggak ada masalah. Ini mah kecil.
Perusahaan Anda untung banyak?
Buat saya, rupiah turun, ya, happy-happy saja, ha-ha-ha…. Misalnya bisnis kantor ini, PT Kirana Megatara, hampir 100 persen ekspor karet.
Tapi pengusaha impor rugi besar....
Pengusaha impor pasti marah-marah. Misalnya importir Lamborghini, yang produknya kini dipajaki tinggi oleh Menteri Keuangan, pasti kesal. Tapi buat apa mobil mewah seperti itu? Saya melihat orang pakai Lamborghini di Indonesia, ngelus dada. Kijang saja cukup.
Ketika ditanya dia pake mobil apa?
Jawabnya Lexus yang usianya sudah tujuh tahun. Ada juga Toyota Alphard. Dipakainya bergantian sesuai dengan tanggal ganjil-genap, he-he-he…. Setiap kali melihat Lamborghini, dia langsung terbayang harganya, Rp 5 miliar. Berapa ton minyak sawit mentah yang harus dia ekspor untuk mengimbangi transaksi berjalan dari masuknya mobil itu? Begitu juga kalau melihat orang yang pakai handbag Hermes. Rasanya kok nggak pantas.
Untuk menahan pelemahan rupiah, apakah eksportir mau menyimpan devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri?
Asalkan dikasih insentif. Misalnya mendapat bunga yang sesuai. Aturannya belum keluar. Kami lihat dulu aturan mainnya seperti apa. Tapi, saat ini, DHE saya sudah di bank nasional.
Peluang apa yang pengusaha bisa ambil dalam kondisi rupiah yang lemah?
Kalau rupiah kuat, orang berpikir impor saja. Dengan rupiah melemah, ekspor jadi lebih lancar dan konten lokal lebih besar. Jadi low currency itu bisa melindungi industri lokal.
Berapa kurs rupiah yang ideal?
Enggak ada angka ideal. Buat saya, mending Rp 16 ribu per dolar Amerika Serikat. Tapi, buat importir, mending Rp 14 ribu. Siapa yang benar? Mau Rp 14 ribu, mau Rp 15 ribu, mau Rp 16 ribu per dolar, enggak jadi masalah. Yang penting jangan bergejolak, karena gejolak memberi ketidakpastian.
Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Anwar Nasution, mengatakan fundamental ekonomi Indonesia lemah. Anda merasakannya?
Waktu saya mulai kerja di Astra, 50 tahun lalu, satu rupiah hampir sama dengan satu yen. Waktu itu nilai dolar Amerika Serikat sekitar Rp 300. Sekarang yen menguat ke Rp 132 dan dolar Amerika hampir Rp 15 ribu. Kenapa? Karena fundamen ekonomi Indonesia lemah.
Apa sebabnya?
Indonesia tidak punya ekosistem industri yang kuat. Indonesia tidak punya basis manufaktur seperti Jepang, Cina, Taiwan, Korea Selatan, dan yang terbaru, Vietnam. Sebab, dibanding negara-negara tersebut, investor menilai Indonesia paling tidak nyaman. Hingga dua tahun lalu, sedikit-sedikit buruh berdemonstrasi, menutup jalan, dan sebagainya. Mana mau investor masuk? Di Vietnam, buruh kerja 48 jam dalam sepekan. Di Indonesia, 40 jam. Di Karawang (sentra industri manufaktur di Jawa Barat), upah minimum Rp 4,2 juta per bulan. Lima tahun lalu cuma Rp 2 jutaan. Masak, naik 200 persen? Siapa yang mau invest?
Bukankah upah minimum merupakan kesepakatan bersama?
Itu karena pemilihan kepala daerah. Biar terpilih, menjanjikan sesuatu yang berat untuk dilaksanakan. Ibarat menembak ke kaki sendiri. Baru ada kepastian setelah Presiden Joko Widodo menetapkan kenaikan gaji didapat dari penghitungan pertumbuhan ekonomi plus inflasi.
Bagaimana rasanya jadi salah satu orang terkaya di Indonesia?
Siapa yang diberi Tuhan berkah lebih banyak, tanggung jawabnya lebih banyak. Sebagai pengusaha, kami diberi keberuntungan dapat hidup lebih dari cukup. Maka selayaknya juga berpikir, bagaimana dengan yang lain? Yang penting, setiap orang harus punya misi dalam hidupnya.
Apa misi Anda?
Saya ingin tidak ada lagi kemiskinan di Indonesia. Rumah yang saya tinggali merupakan bagian dari rumah besar kita. Percuma rumah saya sangat berada kalau rumah besarnya berantakan. Semua jadi tidak bisa langgeng. Rumah besar itu Indonesia.
Caranya?
Lewat pendidikan. Pada 1999, saya mendirikan Yayasan Pelayanan Kasih A&A Rachmat. Diambil dari nama orang tua saya, Adi Rachmat dan Agustine. Hingga sekarang, telah tersalurkan 19.500 beasiswa jenjang D-3 dan S-1 bagi siswa kurang mampu di seluruh Indonesia. Kami juga membantu banyak panti asuhan.
baca : takkan habis rezeki kita
Pernah berpikir menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia?
Sewaktu mulai bekerja, 50 tahun lalu, saya tidak punya apa-apa. Pak William Soeryadjaya—pendiri Astra—memberi tempat kerja di Jalan Juanda III Nomor 11, Jakarta Pusat, di garasinya. Pagi buat ngantor, malam buat tidur. Sebagai salesman, penjualan pertama saya adalah ekskavator ke Kementerian Pekerjaan Umum. Waktu itu, tidak mikir apa-apa. Kerja keras saja cari duit. Digaji Rp 30 ribu sebulan, dua minggu sudah habis. Istri saya jual koran bekas buat menutup pengeluaran, he-he-he….
Forbes menyebutkan kekayaan Anda turun dari US$ 1,7 miliar pada Maret lalu menjadi US$ 1,4 miliar bulan ini. Mengapa turun?
Wah, itu enggak pentinglah. Mau berapa juga enggak habis-habis, ha-ha-ha.... Forbes bilang US$ 1,7 miliar, yang lain bilang lain lagi. Mana yang benar juga kita enggak tahu.
Menurut hitungan Anda berapa?
(Menggeleng-gelengkan kepala) Not important, ha-ha-ha…. Yang penting bukan berapa yang kamu punya, tapi berapa yang kamu kasih. Yang saya rasakan, makin banyak saya memberi, makin banyak saya menerima.
Wallahu alam
0 Komentar untuk "Makin Banyak Memberi, Makin Kaya"