Ganbareba dekiru
Cerita ini mungkin bisa menjadi motivasi bagi pembaca agar gak kenal lelah mengejar impiannya. Saya ceritakan kembali sesuai pengalaman orangnya...Sambil menunggu meeting di mulai, saya menyempatkan untuk sarapan di Kantin Humber Collage, Toronto. Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi tetapi matahari masih malu menunjukkan dirinya. Selain karena malam sebelumnya, Toronto diguyur hujan dan subuh hari suhu udara sampai -80 C, dimusim dingin memang matahari selalu terlambat memunculkan sinarnya. Sambil makan french toast dan secangkir kopi, saya menelpon anak perempuan saya di Makassar dengan fasilitas Whatsapp audio karena yakin jam 20.00 malam, anak saya belum tidur. Seperti biasa kami berbicara dalam bahasa Jepang (penulisnya adalah Doktor lulusan Jepang-red).
Tanpa saya sadari seorang mahasiswi memperhatikan percakapan saya dengan Vanya. Pas selesai bicara si mahasiswi ini menegur dan bertanya “Nihonggo saberemasuka” (bisa berbicara bahasa Jepang yah?). Saya menjawab “hai, saberemasu” (iya saya bisa). Akhirnya kami berkenalan, dia mengenalkan dirinya berasal dari Tanegashima, sebuah pulau kecil di Provinsi Kagoshima, Jepang bagian selatan yang berbatasan dengan Taiwan. Saya bisa membayangkan pulau kecil ini hanya berpenduduk kurang lebih 20.000 orang. Satu-satunya yang terkenal dari tempat ini karena di Tanegashima terdapat Tanegashima Space Centre, semacam NASA nya Amerika. Semua satelit komunikasi Jepang diluncurkan dari tempat ini.
Yang menarik adalah ketika si Osumi Keiko, nama si mahasiswi ini bercerita perjalanannya sampai ke Toronto. Osumi san memang dari pulau kecil jauh dari Tokyo, tetapi sejak Osumi masih di kelas 2 SMA, dia telah bertekad untuk sekolah di Humber Collage, sebuah Collage di Kanada yang sangat terkenal di bidang bisnis dan kewirausahaan. Dia mengenal Collage ini dari seorang turis Kanada yang wisata ke Tanegashima. Untuk mencapai mimpinya ternyata tidak mudah, karena kedua orang tuanya tidak berani untuk melepaskan anak gadisnya ke luar Jepang. Walaupun begitu si orang tua membolehkan dengan syarat Osumi san berangkat dengan uang sendiri.
Selama kurang lebih 2 tahun Osumi san bekerja “arubaito” (bekerja paruh waktu) di Stasiun pompa bensin dan 7 eleven (semacam indomart/alfamart, toko 24 jam) selepas sekolah. Osumi san menceritakan dengan antusias. Ketika saya tanya, apakah ada kendala dari penyesuain suhu udara dimana Tanegashima seperti kebanyakan daerah di Selatan Jepang yang hangat dan panas ke Toronto yang konon kabarnya suhu udaranya yang sangat ekstrim di musim gugur dan musim dingin, si Osumi san menjawab “ganbareba dekiru”, (dengan bekerja keras semestinya bisa) suatu jawaban standar yang biasa saya dengar dari orang Jepang.
Ketika saya tanya lagi, siapa yang membiayai semua biaya kuliah dan ongkos hidupnya selama di Toronto, sambil menutup mulut dan hidungnya, khas orang Jepang dia menjawab dialah yang membiayai semuanya dengan bekerja di restoran-restoran Jepang yang banyak terdapat di downtown Toronto. Saya terkesima dengan usahanya sambil berpikir bisa nggak yah anak perempuan saya seperti si Osumi san, minimal tekad nya bisa sama dengan Osumi san. Entahlah, biar waktu yang menentukan.
Selesai meeting dengan pengelola SEDS (Sulawesi Economic Development Strategy) Project yang notabene dosen-dosen dari Humber Collage, dan presentasi dari beberapa representasi SEDS sekaligus mendapat pelajaran dari pegalaman mereka, ada seorang mahasiswi mendekati saya sambil memperkenalkan bahwa dirinya juga dari Indonesia.
Awalnya saya mengira anak ini peranakan Cina Indonesia yang biasanya banyak belajar di luar negeri khususnya Amerika Utara. Dugaan saya diperkuat dengan melihat wajah dan kulitnya yang putih bersih. Bahasa Inggrisnya sangat fasih dan terkadang dicampur dengan aksen Indonesia English. Dia memperkenalkan diri, namanya Aci. Saya langsung bertanya ke Aci, kenapa belajar di Humber Collage, jawabannya mirip dengan si Osumi san, dia kenal Humber Collage dari seorang Kanada yang berkunjung ke Sulawesi Selatan.
Saya semakin kaget waktu di Aci cerita kalau dia tamat dari SMA 1 Maros, sebuah kota kabupaten di Sulawesi Selatan. Saya awalnya menduga pasti bapaknya orang kaya dan salah seorang pemilik toko di Maros. Tidak seperti kebanyakan peranakan Cina Indonesia yang sekolah di Utara Amerika, si Aci ini ramah dan menawarkan dirinya untuk menjadi guide ke downtown Toronto.
Saya masih penasaran, bagaimana Aci bisa sampai ke Toronto. Ternyata sampai ke Toronto bukan hal yang mudah. Dari pembicaraan saya menduga bahwa orang tuanya bekerja keras untuk mewujudkan mimpi anaknya, sampai-sampai harus berkorban menjual barang milik demi untuk anaknya. Dugaan saya bahwa Aci orang kaya ternyata salah, keluarga besar Aci tinggal di Kajang, suatu daerah yang tidak tahu kenapa masih sering dihubungkan dengan hal-hal yang mistik dan terkenal akan kehidupan suku terasing (Kajang, adalah salah satu daerah di Kab. Bulukumba, Sulawesi Selatan yang gaya hidupnya masih tradisional, mirip suku Badui di Jawa Barat-red).
Saya tanya siapa orang tua Aci karena ibu saya juga lahir dan di Kajang, Aci menyebut nama Kakek neneknya, yang saya tidak kenal. Bagaimana bisa mengenal, ibu saya walaupun asli Kajang, saya bersaudara tidak pernah di perlihatkan bagaimana daerah Kajang itu. Kedua orang tuanya sekarang tinggal dan berusaha di Tanete, Kabupaten Bulukumba. Saya masih berasumsi bahwa Aci adalah peranakan Cina yang tinggal di Kajang sampai dia minta ijin untuk menunaikan shalat Ashar.
Hari ini saya seperti diperlihatkan sesuatu yang tidak biasa saya lihat. Tidak pernah terlintas di kepala saya bahwa ada seorang anak Kajang sekolah nun jauh di Utara Kanada yang udaranya sangat ekstrim untuk ukuran orang-orang dari negara tropis seperti kita ini. Selesai shalat saya ajak dia untuk minum di Tim Horton Café yang cukup terkenal di kalangan masyarakat Toronto. Saya bertanya lagi, siapa yang membiayai semua biaya selama kuliah di Toronto. Aci cerita bahwa orang tuanya lah yang membiayai 6 bulan pertama dia di Toronto. Karena biaya yang minim waktu pertama kali datang ke Toronto, dia tinggal di rumah peranakan Indonesia yang rumahnya sangat jauh dari kampus, kira-kira 2 jam naik kereta sekali jalan untuk menghemat biaya perumahan. Aci diperkenalkan dengan peranakan Indonesia ini oleh orang Kanada yang ditemui di Indonesia sebelum berangkat ke Toronto. Sekarang, sambil mengajar matematika buat anak SMP, Aci juga bekerja paruh waktu sebagai clerk di sebuah bank Swasta. Ketika saya tanya apakah tidak sulit mengajarkan matematika ke anak-anak Kanada, sambil tersenyum dia menjawab bahwa tingkat kesulitan pelajaran matematika anak Indonesia dua tingkat lebih sulit di banding pelajaran matematika anak Kanada. Jadi pelajaran matematika anak kelas 3 SMP di Kanada setara dengan pelajaran matematika anak kelas 1 SMP di Indonesia.
Aci tinggal di downtown dan jauh dari kampus Humber. Dia harus menghabiskan waktunya di subway dan bus setiap harinya sekitar 1,5 jam PP ke kampus. Tetapi itu dilakukannya demi sebuah cita-cita yang mulia dan Aci bertekad setelah kuliahnya selesai, dia akan bekerja sambil menabung selama 2 tahun di Toronto sebelum kembali ke Indonesia untuk membuka suatu usaha. Sekali lagi dada saya terasa tersentak dan seharusnya belajar dari anak-anak muda seperti Osumi san dan Aci. Mereka bukan dari keluarga yang diguyur dengan materi berlebihan tetapi mereka telah membuktikan bahwa “ganbareba dekiru” membawa mereka pada impian.
Rezeki juga begitu.. Meskipun rezeki itu sudah dijamin Allah, tapi kita tetap wajib berusaha dan berikhtiar karena rezeki itu misteri, hanya Allah yang tahu. Kita hanya berusaha tapi apakah kita dapat rezeki atau tidak, sesuai yang kita inginkan atau tidak, Allah yang menentukan. Tekad yang kuat akan ditolong oleh Allah sebagaimana firmanNya dalam surah Al Imran berikut ini :
Ganbareba dekiru ternyata sesuatu yang universal dimana Osumi san dan Aci mempraktekannya layaknya filosofi Jepang, Bushido, suatu prinsip ini digunakan orang-orang Jepang sebagai semangat kerja keras. Saya teringat ucapan almarhumah nenek saya yang mengajarkan filosofi orang-orang Kajang dan bisa jadi lagi dilakonkan oleh Aci selama ini. Filosofi itu tentang kesederhanaan dan kerja keras.
A`mmentengko nu kamase mase (berdirilah dengan sederhana)
A`ccidongko nu kamase mase (duduklah dengan sederhana)
A`dakkako nu kamase mase (berjalanlah dengan sederhana)
A`bicarako nu kamase mase (berbicaralah dengan sederhana)
Baca juga : usaha gak nambah rezeki lho !
Wallahu alam..
0 Komentar untuk "Jika Berusaha Pasti Bisa "