A. Teori Koneksionisme
Edward Lee Thorndike ialah tokoh psikologi yang bisa memperlihatkan imbas besar terhadap berlangsungnya proses pembelajaran. Teorinya dikenal dengan teori Stimulus-Respons. Menurutnya, dasar mencar ilmu ialah asosiasi antara stimulus (S) de¬ngan respons (R). Stimulus akan memberi kesan ke-pada pancaindra, sedangkan respons akan mendorong seseorang untuk melaksanakan tindakan. Asosiasi menyerupai itu disebut Connection. Prinsip itulah yang kemudian disebut sebagai teori Connectionism.
Pendidikan yang dilakukan Thorndike ialah menghadapkan subjek pada situasi yang mengandung problem. Model eksperimen yang ditempuhnya sangat sederhana, yaitu dengan memakai kucing sebagai objek penelitiannya. Kucing dalam keadaan lapar dimasukkan ke dalam sangkar yang dibentuk sedemikian rupa, dengan model pintu yang dihubungkan dengan tali. Pintu tersebut akan terbuka bila tali tersentuh/tertarik. Di luar sangkar diletakkan kuliner untuk merangsang kucing biar bergerak ke-luar. Pada awalnya, reaksi kucing memperlihatkan sikap yang tidak terarah, menyerupai meloncat yang tidak menentu, hingga akhirnya suatu dikala gerakan kucing menyentuh tali yang mengakibatkan pintu terbuka.
Setelah percobaan itu diulang-ulang, ternyata tingkah laris kucing untuk keluar dari sangkar menjadi semakin efisien. Itu berarti, kucing sanggup menentukan atau menyeleksi antara respons yang mempunyai kegunaan dan yang tidak. Respons yang berhasil untuk membuka pintu, yaitu menyentuh tali akan dibentuk pembiasaan, sedangkan respons lainnya dilupakan. Eksperimen itu memperlihatkan adanya kekerabatan kuat antara stimulus dan respons.
Thorndike merumuskan hasil eksperimennya ke dalam tiga aturan dasar (Suwardi, 2005: 34-36), sebagai berikut:
a. Hukum Kesiapan (The Law of Readiness)
Hukum ini memperlihatkan keterangan mengenai kesiapan seseorang merespons (menerima atau menolak) terhadap suatu stimulan. Pertama, bila sese¬orang sudah siap melaksanakan suatu tingkah laku, pelaksanaannya akan memberi kepuasan baginya sehingga tidak akan melaksanakan tingkah laris lain. Contoh, penerima didik yang sudah benar-benar siap menempuh ujian, beliau akan puas bila ujian itu benar-benar dilaksanakan.
Kedua, bila seseorang siap melaksanakan suatu tingkah laris tetapi tidak dilaksanakan, maka akan timbul kekecewaan. Akibatnya, ia akan melaksanakan ting¬kah laris lain untuk mengurangi kekecewaan. Contoh penerima didik yang sudah mencar ilmu tekun untuk ujian, tetapi ujian dibatalkan, ia cenderung melaksanakan hal lain (misalnya: berbuat gaduh, protes) untuk melampiaskan kekecewaannya.
Ketiga, bila seseorang belum siap melaksanakan suatu perbuatan tetapi beliau harus melakukannya, maka ia akan merasa tidak puas. Akibatnya, orang tersebut akan melaksanakan tingkah laris lain untuk menghalangi terlaksananya tingkah laris tersebut. Contoh, penerima didik tiba-tiba diberi tes tanpa diberi tahu lebih dahulu, mereka pun akan bertingkah untuk menggagalkan tes.
Keempat, bila seseorang belum siap melaksanakan suatu tingkah laris dan tetap tidak melakukannya, maka ia akan puas. Contoh, penerima didik akan merasa lega bila ulangan ditunda, lantaran beliau belum belajar.
b. Hukum Latihan (The Law of Exercise)
Hukum ini dibagi menjadi dua, yaitu aturan penggunaan (the law of use), dan aturan bukan penggunaan (the law of disuse). Hukum penggunaan menyatakan bahwa dengan latihan berulang-ulang, kekerabatan stimulus dan respons akan makin kuat. Sedangkan aturan bukan penggunaan menyatakan bahwa kekerabatan antara stimulus dan respons akan semakin melemah bila latihan dihentikan.
Contoh: Bila penerima didik dalam mencar ilmu bahasa Inggris selalu menghafal perbendaharaan kata, maka dikala ada stimulus berupa pertanyaan "apa bahasa Inggrisnya kata yang berbahasa Indonesia...." maka penerima didik eksklusif bisa merespons pertanyaan itu dengan mengingat atau mencari kata yang benar. Sebaliknya, bila tidak pernah menghafal atau mencari, ia tidak akan memperlihatkan respons dengan benar.
Dengan demikian, sanggup dikatakan bahwa prinsip utama mencar ilmu ialah pengulangan. Makin sering suatu pelajaran diulang, akan semakin banyak yang dikuasainya. Sebaliknya, semakin tidak pernah diulang, pelajaran semakin sulit untuk dikuasai.
c. Hukum Akibat (The Law of Effect)
Hubungan stimulus-respons akan semakin kuat, bila jawaban yang ditimbulkan memuaskan. Sebaliknya, kekerabatan itu akan semakin lemah, bila yang dihasilkan tidak memuaskan. Maksudnya, suatu perbuatan yang diikuti dengan jawaban yang menyenangkan akan cenderung untuk diulang. Tetapi bila kesudahannya tidak menyenangkan, akan cenderung ditinggalkan atau dihentikan. Hubungan ini erat kaitannya dengan santunan hadiah (reward) dan hukuman (pun¬ishment).
Contoh: Peserta didik yang biasa menyontek kemudian dibiarkan saja atau justru diberi nilai baik, anak didik itu akan cenderung mengulangnya, alasannya ialah ia merasa diuntungkan dengan kondisi menyerupai itu. Tetapi, bila ia ditegur atau dipindahkan sehingga temannya tahu kalau ia menyontek, ia akan merasa aib (merasa tidak diuntungkan oleh kondisi). Pada kesempatan lain, ia akan berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan itu, alasannya ialah ia mencicipi ada hal yang tidak menyenangkan baginya.
B. Teori Classical Conditionins
Tokoh yang mengemukakan teori ini ialah Ivan Petrovich Pavlov, warga Rusia yang hidup pada tahun 1849-1936. Teorinya ialah wacana condi¬tioned reflects. Pavlov mengadakan penelitian secara intensif mengenai kelenjar ludah. Penelitian yang dilakukan Pavlov memakai anjing sebagai objeknya. Anjing diberi stimulus dengan kuliner dan arahan bunyi, dengan perkiraan bahwa suatu ketika anjing akan merespons stimulan berdasarkan kebiasaan.
Ketika akan makan, anjing mengeluarkan liur sebagai arahan beliau siap makan. Percobaan itu diulang berkali-kali, dan pada akhirnya percobaan dilakukan dengan memberi suara saja tanpa diberi makanan. Hasilnya, anjing tetap mengeluarkan liur dengan anggapan bahwa di balik suara itu ada makanan. Lewat penemuannya, Pavlov meletakkan dasar behaviorisme sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi banyak sekali penelitian mengenai proses mencar ilmu dan pengembangan teori-teori belajar.
Prinsip mencar ilmu berdasarkan Pavlov ialah sebagai berikut:
a. Belajar ialah pembentukan kebiasaan dengan cara menghubungkan/ mempertautkan antara perangsang (stimulus) yang lebih kurang dengan perangsang yang lebih lemah.
b. Proses mencar ilmu terjadi apabila ada interaksi antara organisme dengan lingkungan.
c. Belajar ialah menciptakan perubahan-perubahan pada organisme/individu.
d. Setiap perangsang akan menimbulkan acara otak.
e. Semua acara susunan saraf sentra diatur oleh eksitasi dan inhibitasi.
C. Teori Operant Conditionins
Teori ini dikemukakan oleh Burhus Frederic Skinner. la membedakan tingkah laris responden, yaitu tingkah laris yang ditimbulkan oleh stimulus yang jelas. Misalnya, kucing lari ke sana kemari lantaran melihat daging. Operant Behavior ialah tingkah laris yang ditimbulkan oleh stimulus yang belum diketahui, namun semata-mata ditimbulkan oleh organisme itu sendiri, dan belum tentu dikehendaki oleh stimulus dari luar. Misalnya, kucing lari ke sana kemari lantaran kucing itu lapar, bukan lantaran melihat daging (Sri Rumini, 1993: 75-76). Sesuai dengan dua tingkah laris tersebut, ada dua macam kondisi, yaitu: Pertama, Respont Conditioning. Kondisi ini disebut sebagai tipe S, lantaran menitikberatkan pada sti¬mulus. Hal ini sama dengan kondisi yang dikemuka¬kan oleh Pavlov.
Kedua, Operant Conditioning. Kondisi ini disebut sebagai tipe R, lantaran menitikberatkan pada pentingnya respons. Menurut Skinner, ada dua prinsip umum dalam kondisi ini, yaitu:
• Setiap respons yang diikuti stimulus yang memperkuat reward (ganjaran), akan cenderung diulangi.
• Stimulus yang memperkuat reward akan meningkatkan kecepatan terjadinya respons operant. Dengan kata lain, reward akan menimbulkan diulanginya suatu respons.
Setelah melaksanakan eksperimen berulang-ulang, Skinner berkesimpulan bahwa mula-mula dalam jangka pendek, baik eksekusi maupun hadiah, mempunyai imbas mengubah dan menaikkan tingkah laris yang dikehendaki. Namun dalam jangka panjang, hadiah tetap berefek menaikkan, sedangkan eksekusi justru tidak berfungsi. Artinya, antara hadiah dan eksekusi tidak simetris.
D. Teori Gestalt
Max Wertheimer ialah psikolog Jerman yang menjadi tokoh teori ini. Penemuan teori gestalt bermula ketika Wertheimer melihat cahaya lampu yang berkedap-kedip dikala naik kereta api pada jarak tertentu. Sinar itu memberinya kesan sebagai sinar yang bergerak datang-pergi dan tidak terputus.
Gestalt berasumsi, bila suatu organisasi dihadapkan pada suatu problem, kedudukan kognisi tidak seimbang hingga problem itu terpecahkan. Kognisi yang tidak seimbang mendorong organisme untuk mencari keseimbangan sistem mental. Menurut gestalt, problem merupakan stimulus hingga didapat suatu pemecahannya. Organisme atau individu akan selalu berpikir wacana suatu materi biar sanggup memecahkan perkara yang dihadapinya sebagai bentuk respons dari stimulus yang berupa perkara tadi.
Penerapan teori gestalt tampak pada kurikulum yang kini dipakai di dunia pendidikan. Kurikulum mempunyai sentra yang sama. Dalam tingkatan rendah, disusun kurikulum dari suatu kesatuan yang utuh. Hal pokok diajarkan secara garis besar. Di tingkat yang lebih lanjut, kesatuan itu diberikan lagi dengan muatan yang lebih detail yang mengarah ke bagian-bagian yang telah diberikan di tingkat dasar. Begitu secara berkelanjutan di setiap jenjangnya.
Teori Gestalt dengan metode globalnya juga sangat kuat dalam metode membaca dan menulis. Metode yang resmi dipakai dengan mengacu teori ini dikenal dengan istilah S.A.S (Struktural, Analitis, dan Sintesis). Metode ini dirintis oleh Dr. Ovide De Croly. Proses mengajarnya ialah sebagai berikut:
a. Pada permulaan sekali, anak dihadapkan pada dongeng pendek yang telah dikenal anak dalam kehidupan keluarga. Cerita ini terperinci merupakan satu kesatuan yang telah dikenal anak. Karena itu, dengan gampang anak akan segera sanggup membaca seluruhnya dengan menghafal. Biarkan murid membaca sambil menunjuk kalimat yang tidak cocok dengan yang diucapkan.
b. Menguraikan dongeng pendek tersebut menjadi kalimat-kalimat. Pendidik secara alamiah memperlihatkan bahwa dongeng pendek itu terdiri dari kalimat-kalimat. Antarkalimat diberi warna yang berbeda, dan antarkalimat diberi jarak yang cukup renggang.
c. Memisahkan kalimat-kalimat menjadi kata-kata. Tiap kata ditulis dengan warna yang berbeda, terpisah, dan ditulis agak berjauhan. Susunan tiap kata ditulis semakin menurun dan dibaca pelan-pelan sambil menunjuk tiap kata.
d. Memisahkan kata menjadi suku kata.
e. Memisahkan suku kata menjadi huruf, dan tiap hurufnya ditulis dengan warna yang berbeda.
f. Setelah mengenal huruf, penerima didik diajarkan menyusun suku kata; suku kata menjadi; dan kata menjadi kalimat.
Kebaikan metode ini ialah penerima didik bisa mencar ilmu secara alamiah, sesuai dengan prinsip persepsi gestalt. Pelajaran itu menarik, tidak menjemukan, lantaran dimulai dengan dongeng dan kalimat-kalimat yang mengandung arti. Metode ini sesuai dengan tingkat perkembangan anak, tidak mengganggu, serta tergantung pada proses persepsinya masing-masing. Peserta didik membaca dengan memahami isinya dan akhirnya murid lebih cepat menguasai pembacaan yang sebenarnya.
E. Teori Medan (Field Theory)
Lingkungan dipandang sebagai tanda-tanda yang saling memengaruhi. Teori medan memandang bahwa tingkah laris dan atau proses kognitif ialah suatu fungsi dari banyak variabel yang muncul secara simultan (serempak). Perubahan pada diri seseorang bisa mengubah kuman keseluruhan.
Kurt Lewin (1890-1947) menjelaskan bahwa tingkah laris insan dalam suatu waktu ditentukan oleh keseluruhan jumlah fakta psikologis yang dialami dalam waktu tersebut. Menurutnya, fakta psikologis itu merupakan sesuatu yang kuat pada tingkah laku, termasuk marah, ingatan bencana masa lampau, dan lain-lain. Semua fakta itu menjadi ruang lingkup kehidupan seseorang. Beberapa fakta psikologis akan memberi imbas positif atau negatif pada tingkah laris seseorang. Keseluruhan tanda-tanda itulah yang akan menentukan tingkah laris seseorang dalam suatu waktu. Tetapi, hanya pengalaman yang disadarinya yang akan memberi pengaruh. Perubahan pada fakta psikologis akan menyusun kembali seluruh ruang kehidupan. Jadi, tingkah laris merupakan perubahan-perubahan kontinu dan dinamis. Manusia berada dan berkembang dalam suatu imbas perubahan-perubahan medan yang kontinu. Itulah yang dimaksud dengan teori medan dalam psikologi (Sri Rumini, 1993: 100-101).
Teori medan merupakan perkembangan dari teori gestalt. Berikut penerapan teori medan dalam proses belajar-mengajar.
a. Belajar ialah perubahan struktur kognitif (pengetahuan)
Orang mencar ilmu akan bertambah pengetahuannya, yang berarti tahu lebih banyak daripada sebelum belajar. Tahu lebih banyak berarti ruang lingkupnya bertambah luas dan semakin terdiferensikan. Itu semua berarti seseorang akan banyak mempunyai fakta yang saling berhubungan.
b. Peranan hadiah dan hukuman
Hadiah dan eksekusi merupakan sarana motivasi yang efektif. Tetapi dalam penggunaannya memerlukan pengawasan. Nilai yang baik bagi penerima didik pada umumnya merupakan sesuatu hal yang diinginkan (hadiah). Tetapi, tugas-tugas dalam mencar ilmu untuk mencapai nilai tersebut pada umumnya dianggap sebagai eksekusi yang membebani dan kurang menarik.
c. Masalah sukses dan gagal
Kurt Lewin lebih baiklah penggunaan istilah sukses dan gagal dibanding hadiah dan hukuman. Karena, apabila tujuan yang akan dicapai bersifat intrinsik, kita akan lebih sempurna menyampaikan bahwa suatu tujuan berhasil atau gagal dicapai daripada menyampaikan bahwa suatu tujuan mengandung hadiah dan hukuman. Pengalaman sukses sanggup diperoleh melalui beberapa hal:
1) Pengalaman sukses dialami bila seseorang benar-benar mendapatkan apa yang diinginkannya. Misalnya, seseorang yang ingin lulus dalam suatu acara tertentu, kemudian ternyata memang lulus.
2) Pengalaman sukses juga dialami bila sese¬orang sudah berada di dalam kawasan tujuan yang ingin dicapai. Misalnya, orang dikatakan lulus dalam suatu acara bila tinggal mengulang beberapa mata kuliah saja.
3) Pengalaman sukses juga dialami kalau orang telah menciptakan suatu kemajuan ke arah tujuan yang akan dicapai. Misalnya, orang merasa berhasil kalau telah mempersiapkan diri dengan baik dalam menghadapi ujian.
4) Pengalaman sukses juga dialami kalau orang telah berbuat dengan cara yang oleh masyarakat dianggap sebagai cara untuk mencapai tujuan. Misalnya, seseorang merasa suk¬ses bila pada waktu ujian keluar paling awal.
Pengalaman sukses atau gagal bersifat individual. Kejadian yang sama mungkin dialami sebagai sukses bagi seseorang, tetapi mungkin tidak demikian bagi orang lain. Contoh, anak yang duduk di kelas I SD tidak bisa menghitung 25 X 25 ialah wajar. Tetapi bila penerima didik tidak bisa, ia akan dianggap gagal.
d. Taraf Aspirasi
Pengalaman sukses dan gagal bersangkutan dengan taraf aspirasi seseorang. Untuk itu, dalam mencapai sesuatu, setiap orang perlu merumuskan tujuan meskipun masih bersifat sementara, sehingga ketika ia berada di kawasan tujuan sementara tersebut, ia akan merasa berhasil.
e. Pengulangan sanggup menimbulkan kejenuhan psikologis.
Sebagai penerus dan penyempurna aliran gestalt, Kurt Lewin beropini bahwa yang diperoleh pertama pada dikala mencar ilmu ialah pencerahan (insight), sedangkan pengulangan mempunyai kedudukan sekunder. Memang untuk mencapai pencerahan memerlukan pengulangan, tetapi kuantitas pengulangan bukan yang menentukan insight. Justru ulangan yang terlalu banyak akan menimbulkan kejenuhan psikologis, yang menimbulkan terjadinya diferensiasi (kekaburan). Itu berarti menambah jauhnya mencar ilmu dari pemecahan masalah.
F. Teori Humanistik
Arthur Combs, Abraham H. Maslow, dan Carl R. Rogers ialah tiga tokoh utama dalam teori bela¬jar humanistik. Berikut uraian pandangan mereka.
Arthur Combs, seorang humanis, beropini bahwa sikap batiniah, menyerupai perasaan, persepsi, keyakinan, dan maksud, mengakibatkan seseorang berbeda dengan orang lain. Untuk memahami orang lain, kita harus melihat dunia orang lain menyerupai ia merasa dan berpikir wacana dirinya.
Pendidik sanggup memahami sikap penerima didik bila ia mengetahui bagaimana penerima didik memersepsikan perbuatannya pada suatu situasi. Apa yang kelihatannya asing bagi kita, mungkin saja ti¬dak asing bagi orang lain.
Dalam proses pembelajaran, berdasarkan para hebat psikologi humanistis, bila penerima didik memperoleh informasi baru, informasi itu dipersonalisasikan ke dalam dirinya. Sangatlah keliru bila pendidik beranggapan bahwa penerima didik akan gampang mencar ilmu kalau materi didik disusun rapi dan disampaikan dengan baik, lantaran penerima didik sendirilah yang menyerap dan mencerna pelajaran itu. Yang menjadi perkara dalam mengajar bukanlah bagaimana materi didik itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu penerima didik memetik arti dan makna yang terkandung di dalam materi didik itu. Apabila penerima didik sanggup mengaitkan materi didik dengan kehidupannya, pendidik boleh berbesar hati lantaran misinya telah berhasil.
Abraham H. Maslow dikenal sebagai salah satu tokoh psikologi humanistik. Karyanya di bidang ini kuat dalam upaya memahami motivasi manusia. la menyatakan bahwa dalam diri insan terdapat dorongan positif untuk tumbuh sekaligus ke-kuatan yang menghambat.
Suwardi (2005: 54), mengutip pendapat Mas¬low, menyampaikan bahwa ada beberapa kebutuhan yang perlu dipenuhi oleh setiap insan yang siratnya hierarkis. Pemenuhan kebutuhan dimulai dari kebutuhan terendah, selanjutnya meningkat pada kebutuhan yang lebih tinggi. Kebutuhan tersebut adalah.
a. Kebutuhan jasmaniah
b. Kebutuhan keamanan
c. Kebutuhan kasih sayang
d. Kebutuhan harga diri
e. Kebutuhan aktualisasi diri
Menurut hebat teori ini, hierarki kebutuhan insan tersebut mempunyai implikasi penting bagi individu penerima didik. Oleh karenanya, pendidik harus memerhatikan kebutuhan penerima didik sewaktu beraktivitas di dalam kelas. Seorang pendidik dituntut memahami kondisi tertentu, misalnya, ada penerima didik tertentu yang sering tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya, atau ada yang berbuat gaduh, atau ada yang tidak minat belajar. Menurut Maslow, minat atau motivasi untuk mencar ilmu tidak sanggup berkembang bila kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi. Peserta didik yang tiba ke sekolah tanpa persiapan, atau tidak sanggup tidur nyenyak, atau membawa dilema pribadi, cemas atau takut, akan mempunyai daya motivasi yang tidak optimal, alasannya ialah persoalan-persoalan yang dibawanya akan mengganggu kon¬disi ideal yang beliau butuhkan.
Carl R. Rogers ialah spesialis psikologi humanis yang gagasan-gagasannya kuat terhadap pikiran dan praktek pendidikan. la menyarankan adanya suatu pendekatan yang berupaya menjadikan mencar ilmu dan mengajar lebih manusiawi. Menurut Sri Rumini (1993: 110-112), gagasan itu adalah:
a. Hasrat untuk belajar
Menurut Rogers, insan mempunyai hasrat untuk belajar. Hal itu gampang dibuktikan. Perhatikan saja, betapa ingin tahunya anak kalau sedang mengeksplorasi lingkungannya. Dorongan ingin tahu dan mencar ilmu merupakan perkiraan dasar pendidikan humanistis. Di dalam kelas yang humanistis, penerima didik diberi kebebasan dan kesempatan untuk memuaskan dorongan ingin tahu dan minatnya terhadap sesuatu yang menurutnya bisa memuaskan kebutuhannya. Orientasi ini bertentangan dengan gaya lama, di mana seorang pendidik atau kurikulum mendominasi peta proses pembelajaran.
b. Belajar yang berarti
Prinsip ini menuntut adanya relevansi antara materi didik dengan kebutuhan yang diinginkan penerima didik. Anak akan mencar ilmu bila ada hal yang berarti baginya. Misalnya, anak cepat mencar ilmu menghitung uang receh lantaran uang tersebut sanggup dipakai untuk membeli barang kesukaannya.
c. Belajar tanpa ancaman
Belajar gampang dilakukan dan hasilnya sanggup disimpan dengan baik apabila berlangsung dalam lingkungan yang bebas ancaman. Proses pembelajaran sanggup berjalan dengan lancar ketika penerima didik sanggup menguji kemampuannya, sanggup mencoba pengalaman-pengalaman baru, atau menciptakan kesalahan-kesalahan tanpa mendapat kecaman yang menyinggung perasaannya. Jika kenyamanan sudah beliau dapatkan, pembelajaran pun akan menjadi kondusif. Anak tidak merasa tertekan dan pendidik dianggapnya sebagai fasilitator yang menyenangkan.
d. Belajar atas inisiatif sendiri
Bagi para humanis, mencar ilmu akan sangat bermakna ketika dilakukan atas inisiatif sendiri. Peserta didik akan bisa menentukan arah belajarnya sendiri, sehingga mempunyai kesempatan untuk menimbang dan menciptakan keputusan serta menentukan pilihan dan introspeksi diri. Dia akan bergantung pada dirinya sendiri, sehingga kepercayaan dirinya menjadi lebih baik.
e. Belajar dan perubahan
Prinsip terakhir yang dikemukakan Rogers ialah bahwa mencar ilmu paling bermanfaat ialah mencar ilmu wacana proses belajar. Menurutnya, di waktu lampau penerima didik mencar ilmu mengenal fakta-fakta dan gagasan-gagasan yang statis, dan apa yang didapat di sekolah dirasa sudah cukup untuk kebutuhan dikala itu. Tetapi sekarang, tuntutan mengubah contoh pikir yang tiba setiap waktu. Apa yang dipelajari di masa kemudian tidak sanggup gampang dijadikan pegangan untuk mencapai sukses di masa kini ini. Apa yang diharapkan kini ialah orang-orang yang bisa mencar ilmu di lingkungan yang sedang berubah dan terus akan berubah.
Teori-teori pendidikan ini menjadi warna yang secara umum dikuasai di dunia pendidikan. Meski tidak dianut seluruhnya, minimal ada satu teori yang dipakai sebagai upaya pengembangan pendidikan.
0 Komentar untuk "Teori Berguru Atau Toeri Pendidikan"