BAB I PENDAHULUAN
Semantik merupakan salah satu cabang linguistik yang berada pada tataran makna. Verhaar, dalam Pateda (2010:7) menyampaikan bahwa semantik ialah teori makna atau teori arti ( Inggris semantics kata sifatnya semantic yang dalam Bahasa Indonesia dipadankan dengan kata semantik sebagai nomina dan semantis sebagai ajektiva). Kata semantik disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik ynag mempelajari korelasi antara gejala linguistik dengan hal-hal yang ditandainya, (Chaer, 1995 :2).
Objek studi semantik adalah makna, atau dengan lebih tepat makna yang terdapat dalam satuan-satuan ujaran mirip kata, frase, klausa, dan kalimat. Persoalan makna memang sangat sulit dan ruwet, walaupun makna ini ialah duduk kasus bahasa, tetapi keterkaitannya dengan segala segi kehidupan insan sangat erat.
Makna ialah belahan yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu menempel dari apa saja yang kita tuturkan pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam. Pateda mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Menurut Ullman (Pateda, 2001:82) mengemukakan bahwa makna ialah korelasi antara makna dengan pengertian. Dalam hal ini Ferdinand de Saussure (Chaer, 1994:286) mengungkapkan pengertian makna sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik.
BAB II PEMBAHASAN
A. Kata dan Katagori Gramatikal
Kata merupakan unsur utama dalam membentuk kalimat. Selain bentuk dasarnya, kata juga sanggup dibuat melalui proses morfologis, yaitu afiksasi (pengimbuhan), reduplikasi (perulangan), dan komposisi (penggambungan) untuk memberikan maksud yang terkandung di dalam kalimat.
Kategori gramatikal ialah golongan satuan bahasa yang dibedakan atas bentuk, fungsi, dan makna mirip kelas kata, jenis, kasus, kata, dll. (Kridalaksana,1982).
Secara umum kategori gramatikal yang banyak diikuti, membagi kata menjadi dua kelompok besar, yaitu (1) kelompok yang disebut kata penuh (full word) dan (2) kelompok yang disebut partikel atau kata kiprah (function word). Ke dalam kelompok pertama termasuk kata dan kelas verbal, nominal, ajektival, dan adverbial; dan ke dalam kelompok kedua termasuk kata-kata yang disebut preposisi, konjungsi, dan interjeksi. Tetapi perlu dicatat bahwa dalam bahasa Indonesia ada sejumlah morfem dasar yang belum berkategori baik gramatikal maupun semantikal, contohnya morfem acu, juang, henti, kibar, kitar, dan remang (Chaer, 2009; Harimurti 1986).
Secara gramatikal morfem-morfem tersebut tidak sanggup muncul daam satuan-satuan sintaksis tanpa bergabung dulu dengan morfem-morfem tertentu, baik afiks maupun morfem dasar Iainnya. Secara semantik monfem-morfem itu pun dianggap tidak bermakna, sehingga dalam kamus Poerwadarminta (1982) maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) morfem-morfem tersebut memang didaftar sebagai lema (entri) tetapi tidak diberi makna. Yang diberi makna ialah bentuk derivasinya.
Kelas kata atau partikel leksikal (bahasa Inggris: part of speech, lexical category) ialah penggolongan kata menurut bentuk, fungsi, dan maknanya. Meskipun secara semantik ada persamaan antara kelas dalam berbagai bahasa, ciri-ciri formal kelas kata sanggup berbeda antara bahasa. Misalnya, katagori nomina yang secara semantik universal mewakili orang atau benda, dalam bahasa Indonesia biasanya ditandai oleh ketidakbisaannya diberi kata tidak, sedangkan dalam bahasa Inggris nomina mempunyai penanda pluralis dan genitive.
Kelas kata dalam bahasa Indonesia dibagi dalam beberapa katagori yaitu nomina, verba, adverbia, adjektiva, pendamping, dan penghubung.
1. Kategori Nomina
Kata-kata atau leksem-leksem nomina (nominal) dalam bahasa Indonesia secara semantik mengandung ciri makna [+Benda ( B)]; dan oleh karena itu leksem-leksem nominal secara struktural akan selalu sanggup didahului oleh preposisi di atau pada. Berdasarkan analisis semantik lebih lanjut leksem-leksem nominal ini sanggup dikelompokkkan atas tipe-tipe:
a) Tipe I
Tipe I berciri makna utama [+Benda, + Orang (O)]. Tipe satu ini terbagi atas enam subtipe I yang masing-masing berbeda pada ciri makna ketiga. Keenam suptipe I ini adalah:
1. Subtipe Ia
Berciri makna [+Benda, +Orang, + Nama Diri (ND)]. Contohnya, Anita, Sari, Vinda, dan Marsya. Selain berciri makna +B, +O, dan +ND, leksem nomina dari subtipe ini juga mengandung komponen makna [+bernyawa (NY), +konkret (K), dan tidak terhitung (-H)]. Jadi, secara keseluruhan leksem nominal dari subtipe Ia ini mengandung ciri makna [+B, +O, +ND, +NY, +K, -H].
2. Subtipe Ib
Berciri makna [+B, +O, + nama perkerabatan (NK)]. Contohnya ibu, bapak, kakak, dan adik. Selain itu, leksem nomina dari subtipe Ib ini juga mengandung ciri makna [+NY, +K, dan +H}. Jadi, secara keseluruhan leksem nominal dari subtipe Ib ini mengandung ciri makna [+B, +O, +NK, +Ny, +K, +H].
3. Subtipe Ic
Berciri makna [+B, +O, +Nama Pengganti(NP). Contoh dia, saya, kamu, dan mereka. Selain itu, leksem nominal dari subtipe Ic ini mengandung pula makna [+Ny, +K, dan –H]. Jadi, secara keseluruhan mengandung makna antara dia contohnya dengan mereka. Dia mempunyai makna [+Tunggal (T)], sedangkan mereka mempunyai makna [-Tunggal ]. Perbedaan ciri makna antara dia dan mereka sanggup dilihat sebagai berikut:
Dia mereka
+B +B
+O +O
+NP +NP
+Ny +Ny
+K +K
-H -H
-H -H
+T -T
4. Subtipe Id
Berciri makna [+B, +O, +Nama Jabatan(NJ)]. Contohnya, guru, lurah, camat, dangubernur. Selain itu, leksem nominal dari subtipe Id ini mengandung pula makna [+Ny, +K, dan +H]. Jadi, leksem nominal ini secara keseluruhan mengandunng makna [+B, +O, +Ny, +K, dan +H].
5. Subtipe Ie
Berciri makna [+B, +O, dan Nama Gelar (NG)]. Contohnya: insinyur, doktor,raden, dan sarjana aturan (SH), selain itu, leksem-leksem nominal dari subtipe Ie ini jaga mempunyai ciri makna[+Ny, +K, dan +H]. Jadi, leksem nominal ini secara keseluruhan mengandung makna [+B, +O, +NG, +Ny, +K, dan +H]
6. Subtipe If
Berciri makna [+B, +O, dan + Nama Pangkat (Npa)].
Contoh: sersan, obsir, letnan, dan kolonel. Selain itu leksem-leksem nominal dari suptipe If ini mempunyai pula ciri makna [+Ny, +K, dan +H]. Kaprikornus leksem nominal ini secara keseluruhan mengandung makna [+B, +O, +NPa, +Ny, +K, dan +H].
Ciri makna [+H] yang ada pada leksem subtipe Ib, Ie, dan If; dan tidak ada pada leksem subtipe Id dan Ic menyebabkan leksem yang mempunyai ciri itu sanggup diberi keterangan numeral seorang, sedangkan yang tidak mempunyai ciri itu tidak sanggup diberi keterangan numeral seorang.
Bandingkan:
a. Seorang Fatimah - seorang adik
b. Seorang Hasan - seorang camat
c. Seorang kamu - seorang doktor
d. Seorang dia - seorang letnan
b) Tipe II
Berciri makna utama [+B dan institusi (I)]. Contoh : pemerintah, DPR, SMA, dan Pelni.Selain itu leksem-leksem nominal tipe II ini juga mempunyai ciri makna [+Orang metaforis (Om), +K, +H]. Kaprikornus secara keseluruhan leksem-leksem nominal ini berciri makna [+B, +I, +Om, +K, dan +H].
Ciri makna [+Om mengakibatkan leksem nominal tipe II ini sanggup menduduki fungsi gramatikal mirip leksem tipe I.
c) Tipe III
Berciri makna utama [+B, +Binatag (Bi)]. Contoh: tongkol, kucing, gelatik, harimau, dan onta. Selain itu leksem-leksem nominal tipe III ini mempunyai pula ciri makna [+Ny, +K, dan +H]. Dengan demikian secara keseluruhan leksem-leksem nominal tipe III ini berciri makna [+B, +Bi, +Ny, +K, dan +H].
d) Tipe IV
Berciri utama [+B dan +Tumbuhan (T)]. Leksem nominal tipe IV ini terdiri atas 3 subtipe, yaitu:
1. Subtipe IVa
Berciri makna utama [+B, +T], misalnya rumput, perdu, ilalang, dan keladi. Selain itu leksem-leksem nominal IVa mempunyai pula ciri makna [+B, +Pohon (Po)]. Contoh: durian, nangka, ketapang, mahoni,dan kelapa. Selain itu, leksem-leksem nominal
2. subtipe IVb
Memiliki makna [+Hi, +H, dan K]. Jadi, secara keseluruhan leksem nominal subtipe IVb ini mempunyai ciri makna [+B, +Po, +Hi, +H, dan K].
3. Subtipe IVc
Berciri makna utama [+B, +Tanaman (Ta)]. Misalnya padi, bayam, ketela, ubi, dankubis. Selain itu leksem-leksem nominal subtipe IVc ini mempunyai ciri makna [+Hi, +H, dan +K]. Kaprikornus secara keseluruhan leksem-leksem ini mengandung makna [+B, +Ta, +Hi, +H, dan +K]. Perbedaan makna dalm ciri [+T], [Po], dan [+Ta] ialah bahwa [+T] mengandung segala sesuatu yang tumbuh; sedangkan [+Po] habnya yang berbatang keras, dan [+Ta] ialah sebagai perjuangan suatu yang ditanam.
e) Tipe V
Berciri makna utama [+B, Buah-buahan (Bb)]. Misalnya mangga, rambutan, pisang dan nanas. Selain itu tipe ini juga mempunyai makna [+H, +K, dan –Hi]. Kaprikornus secara keseluruhan tipe ini mempunyai makna [+B, +Bb, +H, +K, dan –Hi]
f) Tipe VI
Berciri makna utama [+B, +Bunga-bungaan (Bbu)]. Misalnya mawar, melati, kamboja, kembang sepatu, dan kenanga. Selain itu leksem ini juga berciri makna [+H, +K, dan -Hi]. Kaprikornus secara keseluruhan tipe ini mempunyai ciri makna [+B, +Bbu, +H, +K, dan –Hi].
g) Tipe VII
Berciri makna utama [+B, +Peralatan (Al). Tipe ini terbagi atas sembilan subtipe, yaitu:
1. Suptipe VII a, berciri makna utama [+B, +Al, dan +Masak (Ms).
Contohnya panci,kompor dan kuali. Selain itu subtipe ini juga mempunyai makna [+K, +H, dan –Hi]. Dengan demikian secara keseluruhan ciri makna subtipe ini ialah [+B, +Al, +Ma, +K, +H, dan –Hi].
2. Subtipe VII b, berciri makna utama [+B, +Al, dan +Makan ( Mk).
Contohnya piring,garpu, sendok dan gelas. Selain itu subtipe in juga mempunyai ciri makna [+K, +H, dan +Hi]. Secara keseluruhan subtipe ini mempunyai ciri makna [+B, +Al, +Mk, +K, +H, dan +Hi].
3. Subtipe VII c, berciri makna utama [+B, +Al, dan +Pertukangan (Tk)].
Contohnya palu, gergaji dan pahat. Selain itu sub tipe ini juga berciri makna utama [+K, +H, dan –Hi]. Secara keseluruhan subtipe ini memili ciri makna [+B, +Al, +Mk, +K, +H, dan –Hi].
4. Subtipe VII d, mengandung ciri makna utama [+B, +Al, dan +Perbengkelan (Bkl)]. Contohnya kunci, bubut dan tang. Selain itu subtipe ini juga bermakna utama [+K, +H, dan –Hi]. Secara keseluruhan subtipe ini berciri makna [+B, +Al, +Bkl, +K, +H, dan –Hi].
5. Subtipe VII e, berciri makna utama [+B, +Al, +Pertanian (Tn)]. Contohnya cangkul,sabit, dan garu. Selain itu subtipe ini juga berciri makna [+K, +H, dan –Hi]. Secara keseluruhan subtipe ini berciri makna [+B, +Al, +Tn, +K, +H, dan –Hi].
6. Subtipe VII f, berciri makna utama [+B, +Al, dan + Perikanan (Ik)].
Selain itu subtipe ini juga berciri makna [+K, +H, dan –Hi]. Secara keseluruhan subtipe ini berciri makna [+B, +Al, +Ik, +K, +H dan –Hi].
7. Subtipe VII g, berciri makna utama [+B, +Al, dan +Rumah tangga (Rt) ]. Contohnyalemari, meja dan kursi. Selain itu subtipe ini juga berciri makna [+K, +H, -Hi]. Secara keseluruhan subtipe ini berciri makna [+B, +Al, +Rt, +K, +H, dan –Hi].
8. Subtipe VII h, berciri makna utama [+B, +Al, dan +Tulis menulis (Tm)]. Contohnya buku, pensil, penggaris, dan pena. Selain itu subtipe ini juga berciri makna [+K, +H, dan –Hi]. Secara keseluruhan subtipe ini berciri makna [+B, +Al, +Rt, +K, +H, dan –Hi].
9. Subtipe VII i, berciri makna utama [+B, +Al, dan +Olahraga (Or)]. Contohnya raket,bola, net dan stik. Selain itu subtipe ini juga berciri makna [+K, +H, dan –Hi]. Secra keseluruhan subtipe ini berciri makna [+B, +Al, +Or, +K, +H, dan –Hi].
h) Tipe VIII
Tipe ini mengandung ciri makna utama [+B, +Makanan-minuman (Mm)]. Contohnyanasi, teh manis, susu, bakso, dan roti. Selain iti tipe ini juga berciri makna [+K, -H, dan –Hi]. Secara keseluruhan tipe ini berciri makna [+B, +Mm, +K, -H, dan –Hi].
i) Tipe IX
Tipe ini mengandung ciri makna utama [+B, +Geogrefi (Ge)]. Contohnya sungai,gunung dan laut. Selain itu tipe ini juga berciri makna [+K, +H, -Hi]. Secara keseluruhan tipe ini berciri makna [+B, +Ge, +K, +H, dan –Hi].
j) Tipe X
Tipe ini berciri makna utama [+B, +Bahan baku (Bb). Contoh pasir, semen, batu dankayu. Selain itu tipe ini juga berciri makna [+K, dan –H]. Secara keseluruhan tipe ini berciri makna [+B, +Bb, +K, dan –Hi].
2. Kategori Verba
Leksem-leksem verba dalam bahasa Indonesia secara semantik ditandai dengan mengajukan tiga macam pertanyaan terhadap subjek daerah “verba” menjadi predikat klausanya. Ketiga pertanyaan itu ialah (1) apa yang dilakukan subjek dalam klausa tersebut, (2) apa yang terjadi terhadap subjek dalam klausa tersebut, dan (3) bagaimana keadaan subjek dalam klausa tersebut.
Berdasarkan analisis semantik, sejalan dengan Tampubolon (1979, 1988 a, 1988 b dalam Chaer), kategori lisan sanggup dibedakan menjadi dua belas tipe. Keduabelas tipe itu ialah sebagai berikut:
a) Tipe I
Tipe ini ialah verba yang secara semantik menyatakan tindakan, perbuatan, atau aksi. Pelaku verba ini ialah sebuah maujud berupa sebuah nomina yang berciri makna [+bernyawa]; dan tindakan sebagai pelopor tindakan yang disebutkan oleh verba tersebut.
Secara semantik, verba tipe I ini bekerjsama sanggup dibedakan lagi menjadi verba tindakan yang (1) pelakunya ialah manusia, (2) pelakunya ialah insan dan bukan manusia, dan (3) pelakunya bukan manusia. Contohnya ialah leksem baca dan tulis adalah tindakan yang termasuk kelompok manusia; makan dan minum adalah verba tindakan yang termasuk kelompok pelakunya insan dan bukan manusia; sedangkan pagut dan patukadalah verba tindakan yang pelakunya bukan manusia.
b) Tipe II
Adalah verba yang menyatakan tindakan dan pengalaman. Pada verba ini pelakuya ialah sebuah maujud berupa nomina berciri makna [+bernyawa] dan bertindak sebagai pelopor tindakan yang disebut oleh verba tersebut sekaligus sanggup pula sebagai maujud yang mengalami (secara kognitif, emosional, atau sensasional) tindakan yang dinyatakan oleh verba tersebut. Contoh:
- Dia menaksir harga kendaraan beroda empat bekas itu
- Beliau menjawab pertanyaan para wartawan.
Dia pada kalimat pertama ialah maujud yang melaksanakan tindakan itu dan sekaligus mengalaminya. Begitu juga denga pada kalimat kedua.
Yang melaksanakan tindakan dan yang mengalaminya tidak harus selalu berupa maujud yang sama. Namun bisa juga atau lazimnya ialah berupa dua maujud yang berbeda. Contoh:
- Pak lurah tanya duduk kasus itu kepada kami.
Dalam kalimat tersebut pak lurah adalah pelaku utama; sedangkan yang mengalami adalah kami.
c) Tipe III
Tipe ini ialah verba yang menyatakan tidakan dan pemilikan (benafaktif). Pelaku verba ini ialah maujud berup nomina berciri makna [+bernyawa] dan bertindak sebagai pelopor tindakan yag disebutkan oleh verba tersebut; sedangkan pemilik (bisa juga ketidakpemilikian) juga berupa nomina berciri makna [+bernyawa].
Contoh:
- Dika beli mobil dari Pak Fuad.
- Pemerintah bantu para petani.
Dari kedua kalimat tersebut Dika dan Pemerintah adalah pelaku; sedangkan Pak Fuad dan para petani adalah pemiliknya. Kadang pemilik tidak direalisasikan dalam suatu kalimat. Contoh:
- Dika beli kendaraan beroda empat baru.
d) Tipe IV
Tipe ini merupakan verba yang menyatakan tindakan dan lokasi (tempat). Pelaku tindakan berupa nomina berciri makna [+bernyawa] yang sanggup mengalami tindakan itu sendiri maupun tidak. Lokasinya berupa frase preposisional.
Contoh:
- Nita pergi ke pasar.
- Beliau baru tiba dari dari Yogyakarta.
e) Tipe V
Tipe ini merupakan verba yang menyatakan proses. Subjek dalam kalimat ini berupa nomina umum yang mengalami proses perubahan keadaan atau kondisi. Contoh:
- Daun tembakau itu layu.
- Kaca jendela itu pecah.
Ada tiga duduk kasus mengenai verba tipe V ini (dan juga verba proses lainnya, tipe VI, tipe VIII). Ketiga duduk kasus itu adalah:
(1) Proses perubahan yang terjadi pada suatu maujud sanggup berlangsung dalam waktu singkat sanggup juga dalam waktu yang relatif lama. Oleh karena itu, ada verba proses yang sanggup diberi keterangan “sedang” seperti “sedang pecah”.
(2) Sebenarnya suatu proses atau perubahan bukan hanya terjadi pada verba proses saa tetapi juga pada verba tindakan, alasannya sesungguhnya suatu tindakan akan menyababkan terjadinya proses.
(3) Sering kita sukar untuk membedakan verba proses dengan verba keadaan (verba tipe IX, X, XI, dan XII). Misalnya pada verba layu. Diuji daengan pertanyaan “apa yang terjadi pada subjek?” maka jawabannya subjek itu layu. Jadi, jelas layudi situ ialah proses. Tetapi kalau diuji denga pertanyaan “bagaimana keadaan subjek?” maka jawabannya ialah subjek itu layu dan menjadi verba keadaan.
f) Tipe VI
Tipe ini merupakan verba yang menyatakan proses-pengalaman.
Contoh:
- Rupanya kau sudah bosan padaku.
- Ibu cemas akan keselamata anank-anak itu.
Pada kedua kalimat itu bosan dan cemas adalah proses pengalaman sedangkan kaudan ibu adalah maujud yang mengalami prose situ.
g) Tipe VII
Tipe ini merupakan verba yang menyatakan proses benefaktif subjek dalam kalimat yang menggunaan verba tipe VII ini berupa nomina yang mengalami suatu proses atau kejadian memperoleh atau kehilangan (kerugian).
Contoh:
- PSSI menang 2-0 atas Singapura.
- Dia kalah 2 juta rupiah.
Menang dan kalah adalah verba proses benefaktif; sedangkan PSSI dan dia adalah maujud yang mengalami kejadian yang dinyatakan oleh verba tersebut.
h) Tipe VIII
Tipe ini merupakan verba yang menyatakan proses-lokatif. Subjek dalam tipe ini berupa nomina yang mengalami suatu proses perubahan daerah (lokasi).
Contoh:
- Pesawat itu baru tiba dari Surabaya
- Matahari terbit di ufuk timur
Leksem tiba dan terbit pada kalimat ialah verba proses-lokatif; sedangkan leksempesawat dan matahari adalah maujud yang mengalami proses perubahan lokasi itu.
i) Tipe IX
Tipe ini merupakan verba yang menyatakan keadaan. Subjek kalimat dalam tipe ini berupa nomina umum yang berada dalam keadaan atau kondisi yang dinyatakan oleh verba tersebut.
Contoh:
- Wajah mereka selalu cerah.
- Sawah-sawah di situ mulai kering.
Cerah dan kering pada kalimat di atas ialah verba keadaan; sedangkan leksemwajah mereka dan sawah-sawah adalah maujud yang berada dalam keadaan itu.
j) Tipe X
Tipe ini merupakan verba yang menyatakan keadaan pengalaman. Subjek dalam kalimat yang memakai tipe ini ialah sebuah nomina yang berada dalam keadaan kognisi, emosi, atau sensasi.
Contoh:
- Dia memang takut kepada orang itu.
- Kami tahu hidup di kota memang sukar.
Takut dan tahu pada kalimat di atas ialah verba keadaan pengalaman. Pada kallimat pertama, subjek Dia yang mengalami keadaan yang disebutkan oleh predikat takut, pada kalimat kedua kami adalah subjek yangmengalami keadaan tahu itu.
k) Tipe XI
Tipe ini merupakan verba yang menyatakan keadaan benafaktif subjek dalam kalimat yang memakai tipe XI ini ialah sebuah nomina yang menyatakan memiliki, memperoleh, atau kehilangan sesuatu.
Contoh:
- Ia sudah punya istri.
- Dia ada uang lima juta.
Punya dan ada pada kalimat di atas ialah verba keadaan benefaktif. Sedangkan iadan dia adalah subjek yang berada dalam keadaan memiliki. Menurut Tampubolon (1979) verba dasar yang menyatakan keadaan keadaan benefaktif hanya kedua kata itu saja. Tetapi yang bukan verba dasar cukup banyak seperti berhasil, kehilangan, beruntung, berwarna, memiliki, dan bertubuh.
l) Tipe XII
Tipe ini merupakan verba yang menyatakan keadaan-lokatif. Subjek pada kalimat yang mengunakan verba ini ialah nomina yang berada dalam satu daerah atau lokasi.
Contoh:
- Petani itu diam di gubuk itu.
- Pak Menteri hadir di sana.
Diam dan hadir adalah verba yang menyatakan keadaan lokatif. Sedangkan petani itu dan Pak Menteri adalah subjek yang berada di daerah yang disebutkan pada unsure keterangan.
- Verba dasar Tipe XII ini memang jarang, tetapi verba yang bukan dasar cukup banyak seperti mengalir, berganti, berserakan, bermimpi, dan menanjak.
3. Kategori Adjektival
Leksem-leksem adjektival dalam bahasa Indonesia secara semantik ialah leksem yang mengambarkan keadaan suatu nomina atau menyifati nomina itu. Secara semantik akjetival sanggup dibagi menjadi delapan tipe.
1. Tipe I ialah leksem ajektif yang menyatakan sikap, tabiat, atau sikap batin insan yang termasuk di dalamnya yang dipersonifikasikannya.
Misalnya: marah, galak, baik, sopan, berani, takut dan jahat.
2. Tipe II ialah leksem ajektif yang menyatakan keadaan bentuk.
Misalnya: bundar, bulat, lengkung, bengkok, lurus, dan miring
3. Tipe III ialah leksem ajektif yang menyatakan ukuran.
Misalnya: panjang, pendek, tinggi, gemuk, kurus, lebar, luas, ringan,dan berat.
4. Tipe IV ialah leksem yang menyatakan waktu dan usia.
Misalnya: lama, baru, muda, tua.
5. Tipe V ialah leksem ajektif yang menyatakan warna.
Misalnya: merah, kuning, biru, hijau, ungun, cokelat dan lembayung.
6. Tipe VI ialah leksem ajektif yang menyatakan jarak
Misalnya: jauh, dekat, sedang.
7. Tipe VII ialah leksem ajektif yang menyatakan kuasa tenaga.
Misalnya: kuat, lemah, segar, lesu dan tegar.
8. Tipe VIII ialah leksem ajektif yang menyatakan kesan atau evaluasi indra.
Misalnya: sedap, lezat, manis, pahit, cantik, tampan, cemerlang, harum, bau, wangi, kasar, halus dan licin.
Perbedaan yang hakiki antara verba-keadaan dengan ajektifal ialah terletak pada fungsinya dalam suatu kontruksi. Pada kontruksi predikat leksem-leksem tersebut cenderung berciri verba sedangkan pada kontruksi atributif berciri ajektiva. Misalnya kontruksi meja batu danmeja itu baru. Pada kontruksi meja baru, leksem baru adalah ajektiva sedangkan padameja itu baru adalah verba, sebab meja baru adalah kontruksi atributif sedangkan meja itu baru adalah kontruksi predikatif.
4. Kategori Pendamping
Kategori pendamping adalah leksem-leksem tetentu yang mendampingi nomina, verba, ajektif, dan juga klausa untuk memperlihatkan keterangan tertentu yang bukan menyatakan keadaan atau sifat.
a) Pendamping Nomina
Leksem-leksem pendamping nomina, antara lain, menyatakan:
1) Pengingkaran
Leksem ini hanya satu yaitu kata bukan yang ditempatkan di muka nomina tersebut. Misalnyabukan buku, bukan ayam, bukan guru, dan bukan agama.
2) Kuantitas atau jumlah
Jumlah leksem untuk menyatakan kuantitas banyak antara lain:
- Beberapa
- Semua
- Seluruh
- Sejumlah
- Banyak
Semua pendamping yang menyatakan kuantitas di atas ditempatkan di muka nominanya dan yang lain adalah sebagian, separuh, dan sementara.
3) Pembatasan
Leksemnya adalah hanya dan saja. leksem hanya ditempatkan di muka nomina, sedangkan leksem saja di belakang nomina. Misalnya hanya air putih, hanya dia, hanya sopir, kopi saja, siapa saja, dan mereka saja.
4) Tempat berada.
Leksem yang digunakan adalah di dan pada. Misalnya di kelas, di pasar, di Bogor, pada dinding, pada ayah, dan pada tahun. Pendamping di dan pada seringkali secara bebas sanggup dipertukarkan seperti di tahun atau pada tahun, di ayah atau pada ayah, tetapi di Bogor tidak sanggup menjadi pada Bogor. Perbedaanya ialah menyatakan lokasi yang sebenarnya, sedangkan pada untuk lokasi yang tidak sebenarnya. Bogor ialah lokasi yang sebenarnya. Jadi, sanggup dengan pembanding di tetapi tidak sanggup dengan pendamping pada. Sebaliknya agama tidak dapat di agama tetapi dapat pada agama.
5) Tempat Asal
Leksem yang digunakan adalah dari. Misalnya dari Jepang, dari rumah, dan dari pasar.Selain menyatakan asal tempat, pendamping dari dapat juga menyatakan asal materi sepertidari gula, dari semen, dan dari tanah liat; juga sanggup menyatakan asal waktu seperti dari pagi, dari kemarin, dan dari hari senin.
6) Tempat tujuan atau arah sasaran.
Leksem yang digunakan adalah ke dan kepada. Misalnya ke pasar, ke Bogor, ke sekolah; kepada ayah, kepada polisi, kepada agama.
Pendamping ke lazim untuk menyatakan daerah yang bekerjsama sedangkan kepada untuk menyatakan daerah yang tidak sebenarnya.
7) Hal atau perkara
Leksem yang digunakan adalah tentang, mengenai, perihal, dan masalah. Pendamping ini lazim digunakan di depan nomina yag berada dalam suatu klausa intransitif. Misalnya:
- Berdiskusi mengenai nilai-nilai sastra.
- Berbicara wacana kenakalan remaja.
- Berdebat mengenai pancasila.
8) Alat
Leksem yang digunakan ialah kata dengan, contohnya (menulis) dengan pensil, (memotong) dengan pisau, dan (mengikat) dengan tali. Tapi perlu dicatat, pendamping dengan selain menyatakan “alat” sanggup juga digunakan untuk menyatakan kebersamaan mirip (pergi) dengan kakak, (berjalan) dengan adik dan (bermain) dengan teman-temannya.
9) Pelaku
Leksem yang digunakan ialah kata oleh yang ditempatkan di muka nomina. Misalnya olehanak buahnya, dan oleh ayahnya.
10) Batas daerah dan batas waktu
Leksem yang digunakan ialah kata, sampai dan hingga yang ditempatkan di muka nomina atau nomina waktu. Misalnya, sampai Jakarta, hingga pasar, hingga pagi, hingga pukul dua,; hingga sore, hingga larut malam, dan hingga tengah hari.
b) Pendamping Verba
Leksem-leksem pendamping verba, antara lain, menyatakan:
1) Pengingkaran. Leksem yang digunakan ialah kata tidak dan bukan yang ditempatkan di muka verba itu. Misalnya tidak mandi, tidak datang, tidak pulang, tidak menangis, dan tidak berhasil.
Leksem bukan hanya digunakan di muka verba dalam suatu klausa yang dikontraskan dengan klausa lainnya. Misalnya :
- Dia bukan menangis karena sedih melainkan karena gembira.
- Kami bukan membantah perintah Bapak, hanya meminta waktu untuk mengerjakannya.
2) Berbagai aspek. Antara lain aspek selesai (perpektif) dengan leksem sudah, telah,dan pernah, aspek belum selesai (imperfek) dengan leksem masih dan lagi;aspek gres mulai (inkoatif) dengan leksem mulai. Contoh pemakaian.
- Mereka sudah makan.
- Ibu pernah makan daging rusa.
- Dia masih duduk di SD.
3) Berbagai modalitas. Antara lain leksem belum,sedang, akan, boleh, dapat, harus, wajib, mesti, dan jangan.
- Susi sedang makan
- Dia akan datang
- Kita mesti mendengar kata guru
4) Kuantitas. Leksem yang diguakan, antara lain; sering, seringkali, acapkali, jarang, banyak, kurang selalu, dan sebagainya. Contoh pemakaian:
- Kami sering duduk di depan kelas.
- Dia seringkali lewat dari jalan ini.
5) Kualitas. Leksem yang digunakan antara lain: sangat, agak, cukup, paling, dansekali. Leksem-leksem ini lazimnya mendampingi verba keadaan. Contoh pemakaian:
- Lili sangat cantik.
- Kami paling suka menulis puisi dikala senja menjelma.
6) Pembatasan. Leksem yang digunakan ialah kata saja dan hanya Leksem saja diletakkan di belakang verba, sedangkan hanya di muka verba. Misalnyamenangis saja, tidur saja.
c) Pendamping Ajektiva
Leksem-leksem pendamping ajektiva, antara lain menyatakan:
1) Pengingkaran. Leksem yang digunakan ialah kata tidak dan bukan. Misalnya tidak baik, tidak lurus, tidak gemuk, tidak bandel, dan tidak merah.
Leksem bukan dapat digunakan dimuka nama warna seperti bukan merah, bukan hijau, dan bukan kuning; dan di muka ajektiva yang mirip dengan verba keadaan seperti bukan bandel, bukan kosong, bukan nakal, danbukan buruk.
2) Kualitas. Leksem yang digunakan ialah kata-kata sangat, agak, cukup, paling, sekali, maha, dan serba. Misalnya sangat baik, agak datar, cukup licin, paling miskin, pintar sekali, maha mulia, dan serba modern.
d) Pendamping Klausa
Leksem-leksem pendamping klausa mempunyai posisi yang agak bebas. leksem-leksem itu sanggup ditempatkan pada awal klausa di tengah klausa, atau pada selesai klausa. Distribusinya ini tentu saja memberi nuansa makna yang berbeda.
Leksem-leksem pendamping klausa ini, antara lain, memberi makna:
1) Kepastian. Leksem yang digunakan adalah pasti, tentu, dan memang misalnya:
- Pasti dia hadir
- Dia hadir pasti
- Memang, dia belum makan dari pagi
- Dia memang belum makan dari pagi
2) Keraguan. Leksem yang digunakan ialah kata barangkali, mungkin, dan boleh jadi.Misalnya:
- Barangkali dia lupa.
- Kami mungkin tidak hadir di pesta pernikahanmu.
3) Harapan. Leksem yang digunakan ialah kata-kata moga-moga, semoga, mudah-mudahan, hendaknya, sebaiknya, dan seharusnya. Misalnya:
- Kamu hendaknya menemani ayah ke ladang.
- Kamu seharusnya tidak berkata begitu
5. Kategori Penghubung
Kategori penghubung ialah leksem-leksem tertentu yang bertugas menghubungkan, baik kata dengan kata, frase dengan frase, klausa dengan klausa, maupun kalimat dengan kalimat secara koordinatif maupun secara subordinatif.
a) Penghubung koordinatif
Leksem-leksem penghubung koordinatif, antara lain menyatakan makna:
1) Penghubungan
Leksem yang digunakan ialah untuk menyatakan penggabungan antara dua buah kata, dua buah frase, atau dua buah klausa; serta untuk menyatakan penggabungan bisa sama seperti dan, dengan untuk menyatakan adonan biasa antara dua buah kata. Perhatikan referensi berikut:
· Loli dan Rina sedang belajar
· Kakek serta Nenek pergi ke Lampung.
· Kami menangkap ayam itu serta memasukkannya ke dalam kandang.
Penghubung dan dan serta sanggup digunakan untuk menghubungkan dua buah adjektiva yang maknanya sejalan seperti
· Gadis itu ramah dan rajin
· Guru kami tinggi dan besar
Tetapi tidak sanggup digunakan untuk menghubungkan dua adjektiva yang maknanya berlawanan, kecuali pada posisi subjek. Perhatikan!
· Pemuda itu rajin dan malas
· Rajin dan malas bagi kami tidak ada bedanya
2) Pemilihan
Leksem yang digunakan ialah kata atau. Leksem ini sanggup menghubungkan kata dengan kata dan juga klausa dengan klausa. Misalnya:
· Dia atau Ahmad yang kau cari?
· Saya akan tiba sendiri mengatarkan buku ini atau kau yang akan tiba mengambilnya ke rumahku?
3) Mempertentangkan dan mengontraskan
Leksem yang digunakan adalah tetapi yang sanggup digunakan antara kata dan kata atau klausa dan klausa, sedangkan yang digunakan antara klausa dengan klausa; namun yang digunakan antara kalimat dan kalimat; dan sebaliknya yang digunakan antara kalimat dan kalimat. Contoh pemakaian.
Anak itu cerdas tetapi malas
· Anak itu memang cerdas tetapi malas.
· Dua orang pencuri masuk ke rumah itu, sedangkan seorang temannya menunggu di luar.
4) Mengoreksi atau membetulkan
Leksem yang digunakan adalah melainkan dan hanya yang digunakan di anatara dua klausa. Misalnya:
· Bukan dia yang datang, melainkan temannya.
· Kami tidak meminta ganti rugi yang banyak, hanya meminta yang wajar-wajar saja.
5) Menegaskan
Leksem yang digunakan adalah bahkan, itupun, malah, lagipula, apalagi, padahal, dan jangankan. Perhatikan referensi berikut ini.
· Ditambah garam sayur ini bukan menjadi sedap. Malah menjadi tidak enak.
· Masakan di restauran ini enak dan harganya murah. Lagipulapelayanannya baik.
· Jangankan seribu rupiah, seratus pun saya tak punya.
6) Pembatasan
Leksem yang digunakan adalah kecuali dan hanya. Kedua leksem ini digunakan di antara dua klausa. Contoh:
· Semua pertanyaannya sanggup kujawab, kecuali pertanyaan mengenai jumlah penduduk miskin itu.
· Soal-soal itu sanggup kuselesaikan dengan baik, hanya soal nomor lima yang saya ragukan jawabannya.
7) Mengurutkan
Leksem yang digunakan adalah lalu, kemudian, selanjutnya, dan setelah itu. Perhatikan referensi berikut:
· Dia mengambil sebuah buku, lalu duduk membacanya.
· Beliau menyilakan kami masuk, kemudian menyuruh kami duduk.
Dalam suatu paragraf yang klausa-klausa atau kalimat-kalimat merupakan kejadian yang kronologis, semua leksem penghubung itu sanggup digunakan, misalnya:
· Mula-mula diambilnya kertas dan pena, lalu ditulisnya sebuah surat,kemudian dipanggilnya anaknya, selanjutnya disuruhnya anaknya itu mengantarkan surat itu.
8) Menyamakan
Leksem-leksem yang digunakan adalah yaitu dan yakni untuk menyamakan dan menjelaskan; dan leksem adalah dan ialah untuk menyamakan-menjelaskan dua konsituen yang sama maknanya. Perhatikan referensi berikut:
· Presiden pertama Republik Indonesia, yaitu Soekarno, dimakamkan di Blitar.
· Soekarno adalah Presiden pertama Republik Indonesia.
9) Kesimpulan dari yang sudah dibicarakan sebelumnya
Leksem yang digunakan adalah jadi, karena itu, oleh alasannya itu, dan dengan demikian. Perhatikan referensi berikut!
· Mereka ialah orang-orang yang sering berlaku curang. Oleh karena itu kita harus berhati-hati menghadapinya.
· Sejak kecil belum dewasa itu harus kita biasakan bangkit pagi-pagi, mandi, dan berangkat ke sekolah pada waktunya. Dengan demikian, kelak mereka akan menjadi insan yang berdisiplin.
b) Penghubung Subordinatif
Penghubung subordinatif menghubungkan dua konstituen yang kedudukannya tidak setingkat. Konstituen yang satu merupakan konstituen bebas, sedangkan konsituen yang lain, yang di mukanya diberi leksem penghubung subordinatif ini merupakan konsituen bawahan yang terikat pada konsituen pertama. Posisi kedua konsituen itu sanggup dipertukarkan sehingga penghubung subordinatif itu sanggup berada pada awal kalimat maupun ditengah kalimat.
Leksem-leksem subordinatif ini antara lain, menyatakan makna:
1) Penyebab
Leksem yang digunakan adalah sebab, karena, lantaran dan berhubung, misalnya:
· Mereka terlambat karena jalan macat.
· Anak itu sakit perut lantaran terlalu banyak makan mangga muda.
2) Akibat
Leksem yang digunakan adalah hingga, atau sehingga, sampai dan sampai-sampai.Misalnya:
· Dia terlalu banyak makan mangga muda hingga perunya sakit.
· Tukang copet itu dipukuli orang banyak sampai mukanya babak belur.
3) Syarat atau kondisi yang harus dipenuhi
Leksem yang digunakan adalah jika, jikalau, kalau, bila, bilamana, dan asal. Misalnya:
· Bila dia tiba kita segera berangkat.
· Bilamana cuaca buruk, jendela itu harus kalian tutup.
4) Pengandaian
Leksem yang digunakan adalah andaikata, seandainya, dan andaikata. Misalnya:
· Andaikata saya punya uang satu miliar, kau akan saya bagi separuhnya.
· Andaikan puteri itu menjadi pacarku saya akan bahagia sekali.
5) Penegasan
Leksem yang digunakan ialah walau (walaupun), biar (biarpun), meski (meskipun), kendati (kendatipun), sungguhpun, sekalipun dan walaupun. Misalnya:
· Meskipun tidak lulus ujian, dia tertawa-tawa saja.
· Sayur ini masih terasa hambar walaupun sudah ditambah garam.
6) Perbandingan
Leksem yang digunakan adalah seperti, sebagai, laksana, seolah-olah, dan seakan-akan. Misalnya:
· Dimakannya nasi itu dengan lahap seperti orang tiga hari belum makan.
· Sorot matanya begitu tajam seolah-olah kami ini betul-betul bersalah.
7) Tujuan
Leksem yang digunakan ialah agar, supaya, untuk, buat, bagi, dan guna. Misalnya:
· Buat orang-orang kaya harga karcis masuk itu sangat murah.
· Jalan layang dibangun guna melancarkan arus kemudian lintas.
8) Waktu
Leksem yang digunakan bermacam-macam, tergantung pada waktu yang diterangkan, diantaranya adalah ketika, sewaktu, dan tatkala untuk menyatakan waktu yang bersamaan; sementara, selama, sambil dan seraya untuk menyatakan jangka waktu tertentu yang bersamaan; sejak, atau semenjak nntuk menyatakan awal waktu; sampai. Untuk menyatakan batas waktu; sebelum Untuk menyatakan waktu lebih dahulu sesudah, setelah, dan sehabis Untuk menyatakan waktu lebih kemudian. Contohnya:
· Mereka datang ketika nenek tidak ada dirumah.
· Sewaktu kami tiba dia sedang tidur.
· Tatkala melihat kami, dia cepat-cepat bersembunyi.
9) Penjelasan
Leksem yang digunakan ialah kata bahwa: misalnya
· Kabar bahwa mereka akan menikah bulan depan saya sudah tahu.
· Kami belum mendengar bahwa harga sembako sudah normal lagi.
10) Keadaan atau cara
Leksem yang digunakan adalah dengan dan tanpa. Misalnya:
· Dengan berbisik-bisik ditawarkannya majalah porno itu kepada setiap penumpang.
· Dia berjalan terus tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan.
Namun berdasarkan Saeed (2003: 55) kategori gramatikal mirip kata benda, kata depan dll, meskipun didefinisikan dalam linguistik modern pada tingkat sintaksis dan morfologi, tidak mencerminkan perbedaan semantik: banyak sekali kategori kata harus diberi deskripsi semantik yang berbeda. Sebagai contoh: nama, kata benda umum, kata ganti, dan apa yang kita sebut kata-kata kecerdikan semua memperlihatkan karakteristik yang berbeda dari referensi dan maknanya:
Contoh :
a. nama misalnya: Fred Flinistone
b . Kata umum misalnya: anjing, pisang, tarantula
c. ganti misalnya: Aku, kamu, kita, mereka
d. kata kecerdikan misalnya: tidak, dan, atau, semua, apapun
Melihat jenis kata-kata, kita sanggup menyampaikan kata itu beroperasi dengan cara yang berbeda. Beberapa jenis kata sanggup digunakan untuk merujuk contohnya nama, sedangkan yang lain mungkin tidak contohnya jenis kata yang masuk katagori kata-kata logika. Beberapa jenis kata hanya sanggup ditafsirkan dalam konteks tertentu saja contohnya kata ganti, sedangkan yang lain digunakan dalam banyak sekali macam konteks contohnya kata yang masuk dalam katagori kata-kata logis; dan seterusnya. Tampaknya juga bahwa korelasi semantik akan cenderung berbeda antara anggota dari kelompok yang sama, bukan di seluruh kelompok, sehingga korelasi semantik antara kata benda umum mirip laki-laki wanita, binatang dan lainnya lebih terang daripada antara setiap kata benda dengan kata-kata mirip dan, atau, tidak, dan sebaliknya.
B. Kata dan Item Leksikal
Semantik ialah telaah makna. Semantik menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Oleh karena itru, semantik mencakup makna-makna kata, perkembangannya dan perubahannya Objek studi semantik adalah makna bahasa. Lebih tepat lagi, makna dari satuan-satuan bahasa seperti kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Bahasa mempunyai tataran-tataran analisis, yaitu fonologi, morfologi, dan sintaksis. Bagian-bagian yang mengandung masalah semantik ialah leksikon dan morfologi
Ada beberapa jenis semantik, yang dibedakan berdasarkan tataran atau bagian dari bahasa penyelidikannya adalah leksikon dari bahasa itu, maka jenis semantiknya disebut semantik leksikal. Semantik leksikal ini diselidiki makna yang ada pada leksem-leksem dari bahasa tersebut. Oleh kerena itu, makna yang ada pada leksem-leksem itu disebut makna leksikal. Leksem adalah istilah yang lazim digunakan dalam studi semantik untuk menyebut satuan-bahasa bermakna atau item leksikal. Istilah leksem ini kurang lebih dapat dipadankan dengan istilah kata yang lazim digunakan dalam studi morfologi dan sintaksis, dan yang lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal bebas terkecil.
Berdasarkan maknanya, sanggup diartikan makna leksikal ialah makna kata secara lepas, tanpa kaitan dengan kata yang lainnya dalam sebuah struktur (frase klausa atau kalimat).
Contoh:
rumah : bangunan untuk daerah tinggal manusia
rumah : bangunan untuk daerah tinggal manusia
makan : mengunyah dan menelan sesuatu
makanan : segala sesuatu yang boleh dimakan
C. Relasi Makna
Relasi makna ialah korelasi semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lain. Relasi makna sanggup berupa homonimi, polisemi, sinonimi, antonimi, hiponimi, dan metonimia, dan lainnya
1. Homonimi
Saeed (2000:63) menyebutkan bahwa homonimi ialah kekerabatan antara kata fonologis yang sama namun maknanya tidak berhubungan. Definisi ini agak berbeda dengan definisi dari Matthews (1997:164) yang menyebut homonimi sebagai kekerabatan antara kata-kata yang bentuknya sama namun maknanya berbeda dan tidak bisa dihubungkan. Menurut pendapat saya, definisi homonimi berdasarkan Saeed rancu dengan definisi homofon, sedangkan definisi hominimi berdasarkan Matthews rancu dengan definisi homograf. Homonimi seharusnya meliputi kekerabatan antara kata yang pengucapannya dan bentuknya sama, namun maknanya tidak berafiliasi .
Contoh: pen ‘alat tulis’ dengan pen ‘kandang’.
Lyons (1996:55) membedakan antara homonimi adikara dan homonimi parsial. Menurut Lyons, homonimi adikara memenuhi tiga kondisi yaitu: (1) maknanya tidak berhubungan, (2) Seluruh bentuknya identik, dan (3) Ekuivalen secara gramatikal. Contoh: sole ‘bagian bawah sepatu’ dengan sole ‘jenis ikan’ ialah referensi homonimi adikara karena memenuhi ketiga kondisi tersebut. Sedangkan found ‘bentuk lampau dari kata menemukan’ dengan found ‘bentuk sekarang dari mendirikan’ termasuk homonimi parsial karena aspek gramatikalnya tidak ekuivalen.
2. Polisemi
Menurut Saeed (2000:64) polisemi mirip dengan homonimi, tetapi dalam polisemi ada kekerabatan makna yang erat antara kata yang bentuknya dan ucapannya sama.
Contoh: hook ‘kail’ dengan hook ‘pengait’.
3. Sinonimi
Menurut Saeed (2000, hal 65) sinonimi merupakan kata yang secara fonologi berbeda namun mempunyai makna yang sama atau hampir sama. Dijelaskan bahwa kata couch dan sofa adalah sinonimi. Begitu pula kata boy dan lad, lawyer dan attorney, toilet dan lavatory, serta large dan big.
Namun demikian, bahwa kata-kata tersebut tidaklah memperlihatkan suatu sinonim yang benar-benar mutlak. Kemutlakan sinonim sangat jarang ditemukan atau bahkan tidak ada. Hal ini karena sinonim sering memiliki distribusi yang berbeda dalam sejumlah parameter. Mungkin kat-kata yang bersinonim tersebut termasuk ke dalam suatu dialek yang berbeda dan kemudian menjadi sinonim karena para penutur sudah sangat akrab dengan kedua dialek tersebut. Atau juga kata-kata yang bersinonim tersebut mungkin termasuk ke dalam ragam bahasa yang berbeda, gaya bahasa, koloquial, formalitas, kesusastraan, dan lain-lain yang termasuk dalam situasi yang berbeda pula. Sebagaimana kata-kata berikut misalnya, bahwa wife, spouse, old lady, dan missus merupakan sinonimi, namun kata-kata wife atau spouse lebih formal daripada old lady atau missus.
Wijana (1999, hal 2) menjelaskan bahwa sinonimi adalah relasi kesamaan makna. Satuan kebahasaan dimungkinkan memiliki kesamaan makna dengan satuan kebahasaan yang lain. Misalnya kata ayah bersinonim dengan kata bapak, ibu dengan mama, kakak dengan abang, dsb. Wijana juga menjelaskan bahwa tidak terdapat sinonimi total di dalam bahasa. Kesinoniman di dalam bahasa senantiasa bersifat partial (sebagian). Kata-kata yang bersinonim memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut sanggup dirinci menjadi:
a. Makna sebuah kata mungkin lebih umum dibandingkan dengan pasangan yang lain. Misalnya antara kata melihat dan menjenguk, menengok, membesuk, dsb.
b. Makna sebuah kata lebih formal dari kata yang lain. Misalnya antara kata praktis dan gampang, buat, bikin, dsb.
c. Makna sebuah kata lebih intensif dibandingkan dengan kata yang lain. Misalnya antara kata melihat dan menatap, bahagia dan gemar, sukar dan sulit, dsb.
d. Makna sebuah kata lebih dialektal dibandingkan dengan kata yang lain. Misalnya antara kata saya dan gua atau beta, istri dan bini, suami dan laki, dsb.
e. Makna sebuah kata lebih sopan dibandingkan dengan kata yang lain. Misalnya antara kata makan, dan santap, perempuan dan perempuan, mau dan berkenan, dsb.
f. Makna sebuah kata lebih literer dibandingkan dengan kata yang lain. Misalnya kata matahari dan surya, bulan dan rembulan, angin dan bayu, dsb.
Definisi senada mengenai ketidakadaan sinonim yang benar-benar mutlak ini diungkapkan oleh Nida (dalam Subroto 1999, hal 9). Nida menjelaskan bahwa sejumlah butir leksikal yang maknanya bertumpang-tindih disebut sinonim. Butir-butir leksikal itu tidak dapat dinyatakan memiliki makna yang identik, melainkan memiliki makna yang bertumpang-tindih. Hampir tidak terdapat dua butir leksikal atau lebih yang maknanya benar-benar identik (sinonim absolut). Dua butir leksikal memiliki makna yang identik dapat dites bahwa butir-butir itu dapat saling menggantikan dalam keseluruhan kemungkinan konteksnya tanpa mengubah isi konseptualnya. Hal ini sanggup dilihat dalam contoh berikut: mati, meninggal, wafat, mangkat, tewas, yang dalam konteks kalimat adalah:
· Penjahat itu tertembak mati.
· Tanaman itu mati kekeringan.
· Burungnya mati kelaparan. (kata mati tidak dapat digantikan oleh butir-butir lainnya: meninggal, wafat, mangkat, tewas).
Berdasarkan pengetesan pada konteks kalimat diatas dapat diketahui bahwa butir-butir meninggal, wafat, mangkat, tewas digunakan untuk mengacu pada suatu entitas yang berciri insan (human), sedangkan mati mengacu pada entitas yang lebih luas (tanaman, hewan, manusia, benda-benda yang dianggap hidup).
Ditambahkan juga bahwa secara teoritik kesinoniman itu terdapat pada tataran morfem, kata, frase, klausa, dan kalimat. Dalam lingkup semantik leksikal, kesinoniman terdapat dalam lingkup: 1) nomina (rumah, wisma, istana, tempat tinggal), 2) verba (datang, tiba, hadir), 3) adjektiva (kuat, kokoh, perkasa, teguh, tegar), 4) pronominal persona (aku, saya, hamba, gue), 50 numeralia (satu, eka), 6) adveribia (baru, sedang, tengah, lagi), dan 7) preposisi (di, pada).
Hurford (1986, hal 102) memperlihatkan definisi sinonimi sebagai suatu korelasi antara dua predikat yang memiliki makna sama. Misalnya conceal bersinonim dengan hide, purchase-buy, wide-broad, loose-short. Namun demikian, contoh dari sinonimi yang benar-benar tepat sama (perfect) sangatlah sulit ditemukan. Hal ini mungkin dikarenakan terdapat beberapa perbedaan dalam suatu dialek yang memiliki dua predikat dengan makna benar-benar sama. Perlu kita pahami bahwa dalam menentukan suatu kata bersinonim selalu mensyaratkan identitas maknanya. Secara umum, dikala berhubungan dengan relasi makna, kita menghubungkan secara jelas dengan banyak sekali gaya bahasa, sosial, atau korelasi dialek dari yang dimiliki kata tersebut. Hal ini sering kita sebut dengan makna konseptual atau koginitif (cognitive or conceptual meaning).
· Mari kita lihat referensi berikut ini:
· How many kids have you got?
· How many children have you got?
Disini kita katakan bahwa kata kids dan children memiliki makna yang sama, namun secara terang berbeda dalam gaya atau tingkat formalitasnya.
Lebih lanjut Reinhart (1971, hal 4) menyatakan bahwa tidak ada dua kata yang benar-benar sinonim, bahkan yang termasuk pasangan kata yang secara transformasional berhubungan sekalipun. Pandangannya yang sangat ekstrim mengatakan bahwa dua kalimat benar-benar bersinonim bila kedua kalimat tersebut memiliki nilai kebenaran (truth value) yang sama. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Tarski (dalam Wahab, 1999, hal 4). Tarski mengemukakan sebuah postulat bahwa makna suatu pernyataan sanggup diperikan dengan kondisi kebenaran. Sebuah pernyataan mempunyai arti bila ada kondisi kebenaran yang menjamin kebenaran pernyataan itu. Ketika kondisi kebenaran itu tidak ada, maka pernyataan itu tidak bermakna apa-apa. Rumus yang diusulkan Tarski sebagai berikut:
· S is true if and only if p.
S (sentence) dianggap benar, jika kondisi p (proposition) yang menjamin kebenaran pernyataan itu benar. Untuk menjelaskan rumusnya itu, Tarski memberi contoh sebagai berikut:
· Snow is white is true if and only if snow is white.
Menurut Tarski, pernyataan ‘Snow is white’ itu bermakna, jika salju memang putih. Seandainya ada salju yang berwarna selain putih, maka pernyataan bahwa ‘Snow is white’ tidak bermakna, karena tidak ada kondisi yang menjamin kebenaran pernyataan itu.
Jadi, sanggup dikatakan bahwa :
1. Sinonim adalah sejumlah butir leksikal yang maknanya tumpang-tindih, tidak mempunyai makna yang identik (sinonim absolut).
2. Kata-kata yang bersinonim mempunyai perbedaan: makna sebuah kata mungkin lebih umum, lebih formal, lebih intensif, lebih dialektal, lebih sopan, dan lebih literer dibandingkan dengan pasangan yang lain.
3. Sinonim adalah hubungan antara bentuk dan makna (lebih dari satu bentuk dan mempunyai makna yang sama).
4. Antonimi
Terminologi tradisional menjelaskan bahwa antonimi merupakan kata-kata yang berlawanan makna (Saeed, 2000, hal 66). Relasi makna jenis ini oleh Nida disebut dengan meanings complementary, yaitu butir leksikal yang memiliki ciri semantik bersama, namun juga memperlihatkan kontras makna dan bahkan perlawanan makna. Keberlawanan makna dirumuskan sebagai kontras makna yang bersifat polar dan sanggup mengenai kualitas (high x low), atau jumlah (banyak x sedikit), keadaan (terbuka x tertutup), waktu (now x then), ruang/tempat (here x there), gerakan (maju x mundur). Pandangan ini meskipun belum memuaskan, karena kata mungkin berlawanan (opposite) makna dalam cara yang berbeda-beda dan beberapa kata tidaklah berlawanan secara jelas (Hurford, 1986, 114), namun cukup bermanfaat untuk mengidentifikasi banyak sekali jenis korelasi makna dengan memakai penanda yang lebih umum yaitu ‘opposition’. Oleh karena itu pengertian yang lebih bermanfaat untuk ‘keberlawanan semantik’ daripada antonimi adalah pengertian inkompatibilitas (eksklusi makna) (Leech, 2003, hal 128). Kita dapat mengatakan bahwa makna yang diungkapkan inkompatibel jika yang satu mengandung paling sedikit satu ciri yang berlawanan dengan ciri yang lain. Hubungan yang dimaksud ialah antonim sederhana (pasangan komplementer/pasangan binari/antonim binari), antonim yang bergradasi, reversif, konversif, dan korelasi taksonomi.
Antonim sederhana yaitu hubungan lawan kata dari kata-kata yang berpasangan dimana bila salah satu kata dapat dipakai maka kata yang lain secara otomatis tidak sanggup digunakan. Contoh dari antonim sederhana ini adalah: dead x alive, pass x fail, true x false, same x different, married x unmarried, dan sebagainya. Jadi, true x false (benar x salah) merupakan suatu antonim sederhana, maksudnya bila suatu kalimat ialah BENAR, maka niscaya bahwa kalimat tersebut TIDAK SALAH. Bila suatu kalimat adalah SALAH, maka pasti bahwa kalimat tersebut TIDAK BENAR. Begitu pula dengan same x different (sama x berbeda), bila dua barang adalah SAMA, maka barang tersebut TIDAK BERBEDA: bila barang tersebut TIDAK SAMA, maka barang tersebut BERBEDA.
Antonim bergradasi (dipertatarkan) adalah korelasi lawan kata dimana kata-kata tersebut membawa implikasi bahwa perbedaan makna antara pasangan itu tidak diskret benar (Subroto, 1999, 11), dalam arti bahwa kata tersebut masih bisa dipertatarkan dalam rentang nilai yang berkelanjutan (Hurford, 1986, 118) tergantung pada konteks pemakaiannya. Contoh dari antonim bergradasi ini adalah: hot x cold, tall x short, long x short, clever x stupid, dan sebagainya. Jadi, hot dan cold merupakan antonim bergradasi dimana antara hot dan cold terdapat suatu rentang nilai yang berkelanjutan, yaitu hot-warm-tepid-cool-cold. Begitu pula pasangan berlawanan arti tall x short (tinggi x rendah). Terdapat gradabilitas: sangat tinggi, tinggi, kurang tinggi: kurang rendah, rendah, sangat rendah. Terdapat perbedaan relatif antara kurang tinggi dan kurang rendah. Terdapat ciri yang bersifat ‘berkelanjutan’, dimana terdapat gerak berkelanjutan antara pasangan yang berantonim, dalam hal ini terjadi gerak yang semakin berjauhan antara sangat tinggi x sangat rendah.
Reversif merupakan hubungan atau pasangan berlawanana arti yang menggambarkan suatu pergerakan, dimana salah satu kata menggambarkan suatu gerakan dalam satu arah sementara kata yang lain menggambarkan suatu gerakan lain yang berlawanan dan keberadaannya tidak saling membutuhkan. Ciri dari pasangan berlawanan arti ini ialah tidak adanya hubungan yang berbalikan (konversif). Contoh dari reversif ini adalah: push x pull, come x go, go x return, up x down, dan sebagainya.
Konversif merupakan hubungan atau pasangan berlawanan arti dan keberadaannya bersifat saling membutuhkan dan melengkapi. Contoh dari konversif ini adalah: parent x child, below x above, greater than x less than, own x belong to, employer x employee, suami x istri, guru x murid, meminjam x meminjami, dan sebagainya. Parent x child (orang bau tanah x anak) merupakan konversif yaitu bahwa bila X adalah orang tua dari Y (one order), maka Y adalah anak dari X (opposite order). Begitu pula, bila X meminjam uang dari Y, maka Y meminjami X uang. Bila X ialah suami Y, maka Y ialah istri. bila X ialah dosen Y, maka Y ialah mahasiswa X, dan sebagainya.
Hubungan taksonomi (taxonomic sisters) merupakan suatu sistem pengklasifikasian dimana istilah antonimi kadang-kadang digunakan untuk menggambarkan kata-kata yang berada pada tingkatan yang sama dalam suatu taksonomi. Hubungan taksonomi ini merupakan suatu hubungan yang horizontal.
Contoh dari jenis ini ialah kata sifat warna sebagai berikut: red, orange, yellow, green, blue, purple, brown. Kita dapat mengatakan bahwa kata-kata red dan blue merupakan anggota hubungan taksonomi yang sama dan oleh karenanya inkompatibel satu sama lain.
5. Hiponimi
Menurut Saeed (2000, hal 68) bahwa hyponymy is a relation of inclusion. A hyponym includes the meaning of a more general word. Jadi, hiponimi merupakan relasi inklusi. Suatu hiponimi mencakup makna dari suatu kata yang lebih umum. Banyak kosakata yang dihubungkan dengan memakai sistem inklusi ini dan hasil jejaring semantiknya membentuk suatu hirarkhi taksonomi.
Edi Subroto (1999, hal 7) memperlihatkan bahwa kekerabatan inklusi (relasi makna yang bersifat hiponimik) ialah arti sebuah leksem yang termasuk ke dalam atau tercakup ke dalam arti leksem lain yang lebih luas. Jadi, arti leksem: mawar, melati, anggrek, bogenvil, dan sebangsanya termasuk dalam arti leksem bunga. Dengan perkataan lain, arti leksem bunga meliputi arti leksem-leksem mawar, melati, dan seterusnya. Leksem yang artinya mencakupi tersebut disebut penggolong atau superordinat; sedangkan leksem yang artinya tercakup ke dalamnya disebut bawahan atau hiponim. Jadi, terdapat kekerabatan makna antara mawar, melati, anggrek…dengan leksem bunga. Leksem mawar, melati, anggrek termasuk golongan bunga, atau leksem bunga mencakupi arti leksem mawar, melati, anggrek.
Sementara itu, Wijana (1999, hal 3) menyatakan bahwa hiponimi membicarakan relasi makna generik dan spesifik (misalnya antara membawa dengan menjinjing, menggendong, memapah, memanggul, dsb.) dan kekerabatan taksonomi dan nama taksonomi (misalnya antara kendaraan dengan sepeda, becak, bemo, mobil, dsb).
Terdapatnya relasi semantik hiponimik ini memberi beberapa petunjuk bermanfaat di dalam membuat definisi logis sebuah leksem yang termasuk bawahan. Definisi tersebut harus bertolak dari kelas penggolong serta harus sesuai dengan kelas penggolong. Kaprikornus apabila kelas penggolong termasuk nomina maka definisi bawahannya juga sesuai dengan kelas nomina, bila termasuk verba maka hendaknya harus sesuai pula dengan kelas verba.
Apabila ciri semantik masing-masing leksem itu dapat diidentifikasi secara akurat, maka sanggup dinyatakan bahwa ‘semua ciri semantik penggolong juga menjadi ciri semantik masing-masing leksem bawahannya namun tidak sebaliknya (Subroto, 1999, 7). Hal ini berarti bahwa masing-masing bawahan memiliki sejumlah ciri semantik unik yang membedakannya dari penggolongnya. Dengan rumusan itu sanggup dinyatakan bahwa semakin rinci ciri semantik sebuah leksem maka referentnya semakin terbatas atau tertentu. Hal itu sanggup ditunjukkan dengan kekerabatan makna antara penggolong ‘saudara’ dengan bawahan ‘kakak, adik’. Leksem saudara di sini diasumsikan berarti ‘orang yang lahir dari ayah dan ibu yang sama’. Dengan melihat pada ciri semantiknya sanggup digambarkan sebagai: animate (benda bernyawa), human (manusia), laki-laki atau perempuan, kekerabatan, lahir dari ayah dan ibu yang sama, satu tingkat dibawah ayah dan ibu. Sementara ciri semantik dari ‘kakak’ atau ‘adik’ adalah: animate, human, laki-laki/perempuan, kekerabatan, lahir dari ayah atau ibu yang sama, satu tingkat di bawah ayah dan ibu, lebih bau tanah dari saya (kakak). Leksem adik berbeda dari kakak hanya dalam ciri uniknya, yaitu ‘lebih muda dari aku’. Berdasarkan deskripsi itu jelas terdapat relasi makna antara ‘saudara’, ‘kakak’, dan ‘adik’. Relasi antara bawahan dengan penggolong ini disebut kekerabatan hiponimik.
6. Meronimi
Meronimi ialah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan korelasi bagian-keseluruhan antar unsur leksikal (Saeed, 2000:70). Definisi ini sesuai dengan asal kata meronim dari bahasa Yunani, yaitu: meros ‘bagian’ dan onima ‘nama’.
Contoh: page ‘halaman’ ialah meronim dari book ‘buku’.
D. Leksikal Universal
Telaah Leksikal Universal diimplementasikan dalam teori Natural Semantic Metalanguage (Metabahasa Makna Alami). Teori NSM mempunyai dua keunggulan yaitu sanggup diterima oleh semua penutur karena paraphrase maknanya dibingkai dalam sebuah metabahasa yang bersumber dari bahasa alamiah dan NSM selalu terbuka untuk pembiasaan dan modifikasi terhadap representasi maknanya.
Metabahasa teori Natural Semantic Metalanguage (NSM) diakui sebagai pendekatan kajian semantik yang dianggap bisa memberi hasil analisis makna yang memadai karena dengan teknik eksplikasi sanggup menghasilkan analisis makna suatu bahasa yang mendekati postulat ilmu semantik yang menyatakan bahwa satu bentuk untuk satu makna dan satu makna untuk satu bentuk, dengan kata lain satu butir leksikon bisa mewahanai satu makna atau satu makna diungkapkan dengan satu butir leksikon biar tidak terkesan bahwa pemerian makna yang berputar terhadap satu leksikon.
Teori Natural Semantic Metalanguage (NSM) dirancang untuk mengeksplikasi semua makna, baik makna leksikal, makna ilokusi maupun makna gramatikal. Sebagai referensi bahwa teori ini juga sanggup digunakan untuk mengeksplikasi makna verba bahasa Indonesia. Dalam teori ini, eksplikasi makna dibingkai dalam sebuah metabahasa yang bersumber dari bahasa alamiah yang pada umumnya bisa dipahami oleh semua penutur orisinil (Wierzbicka, 1996: 10 dan band. Mulyadi, 1998: 34). Asumsi dasar teori ini bertalian dengan prinsip semiotik yang menyatakan bahwa analisis makna akan menjadi diskret dan tuntas, dalam arti bahwa kompleks apapun sanggup dijelaskan tanpa harus berputar-putar dan tanpa residu dalam kombinasi makna diskret yang lain (Goddard, 1996: 24; Wierzbicka, 1996: 10; Sutjiati Beratha, 1997: 10, Mulyadi, 1998: 35).
Konsep dasar lain dalam teori MMA ialah polisemi, yang dipahami sebagai bentuk leksikon tunggal untuk mengekspresikan dua makna asali yang berbeda. Di antara dua makna asali itu tidak terdapat korelasi komposisi (nonkomposisi) alasannya masing-masing mempunyai kerangka gramatikal yang berbeda. Misalnya, dalam bahasa Yankunytjatjara konsep BERPIKIR dan MENDENGAR diwujudkan pada verba kulini (Wierzbicka 1996b: 25—26). Dalam bahasa Indonesia, verba menonton merupakan ekspresi dari MELIHAT dan MEMIKIRKAN (Mulyadi 2000: 81).
Seperti halnya makna asali, polisemi juga bukanlah konsep gres (Goddard 1996a: 29, Be-ratha 1997: 113), kecuali cara mengidentifikasi eksponen dari makna asali. Pada tingkatan yang sederhana, eksponen dari makna asali yang sama mungkin menjadi polisemi dengan cara yang berbeda pada bahasa yang berbeda. Goddard (1996a: 29) memberi referensi makna kedua dari eksponen mukuringanyi INGIN dalam bahasa Yankunytjatjara menyerupai like , be fond of, dan need dalam bahasa Inggris padahal ranah penggunaannya berbeda dengan ranah want bahasa Inggris.
Menurut Goddard (1996a: 31), ada dua korelasi nonkomposisi yang paling kuat, yakni korelasi pengartian (entailment-like relationship) dan korelasi implikasi (implicational relationship). Hubungan pengartian diilustrasikan pada MELAKUKAN/TERJADI dan MELAKUKAN PADA/TERJADI. Contohnya, bila X MELAKUKAN SESUATU PADA Y, SESUATU TERJADI PADA Y. Hubungan implikasi terdapat pada eksponen TERJADI dan MERASAKAN; contohnya, bila X MERASAKAN SESUATU, SESUATU TERJADI PADA X.
Berikutnya ialah konsep aloleksi. Konsep aloleksi diusulkan pertama kali oleh Cliff Goddard pada Simposium Semantik di Canberra pada tahun 1992 (Wierzbicka 1996b: 26—27) untuk mengambarkan beberapa bentuk kata yang berbeda dalam konteks komplementer mengekspresikan sebuah makna tunggal. Gagasan aloleksi berperan penting dalam ancangan MMA, terutama untuk bahasa infleksi.
Ada beberapa tipe aloleksi. Pertama, aloleksi posisional untuk mengambarkan kata I dan me bahasa Inggris. Keduanya mempunyai makna yang sama, kecuali posisinya: I sebelum verba dan me di posisi lain. Kedua, aloleksi kombinatorial untuk menjelaskan korelasi ‘someone ’ dengan ‘ person ’. Berkombinasi dengan determiner dan kuantifier, ‘people ’ berfungsi sebagai aloleks ‘ someone ’ (mis. ‘ this someone ’ = ‘this person ’, ‘ the same someone ’ = ‘ the same person’, ‘ two someones ’ = ‘ two person ’, dsb.). Juga berlaku untuk ‘ something’ dan ‘thing’ (mis. ‘ this something’ = ‘ this thing’, ‘the same something’ = ‘ the same thing ’, ‘ two somethings ’ = ‘ two things ’).
Ada pula aloleksi kasus. Misalnya, dalam bahasa Yankunytjatjara subjek verba kulini BERPIKIR, wangkanyi BERKATA, dan palyani MELAKUKAN menentukan masalah ergatif, sedangkan mukuringanyi INGIN menentukan masalah nominatif. Tipe aloleksi lain ialah aloleksi infleksi. Dalam kalimat mirip ‘I did something’ mirip (1a), kata did secara semantis kompleks (DO + kala lampau). Namun, bila diparafrase isi semantis kata lampaunya, maknanya menjadi ‘at some time before now’, mirip (1b). Dalam konteks ini, pilihan bentuk did menjadi automatis dan aloleksis.
a. I did something.
b. At some time before now, I did /* do something.
Tipe aloleksi terakhir dinamakan aloleksi portmanteau, yaitu sebuah kata tunggal (morfem, frasem) mengekspresikan kombinasi makna asali. Contohnya, dalam bahasa Inggris can’t ialah kombinasi CAN + NOT. Dalam catatan Goddard (1996a: 28—29), banyak bahasa mempunyai aloleksi portmanteau pada bentuk negasi dan adakala berkombinasi dengan beberapa elemen lain. Kata noli dalam bahasa Latin, umpamanya, merupakan kombinasi TIDAK INGIN dan AKU MELAKUKAN.
Konsep dasar selanjutnya ialah sintaksis makna universal (SMU). SMU dikembangkan oleh Wierzbicka pada selesai tahun 1980-an sebagai perluasan dari sistem makna asali (Goddard 1996a: 24). Dalam teori MMA makna dipahami sebagai struktur yang sangat kompleks, terdiri atas komponen berstruktur mirip ‘aku menginginkan sesuatu’, ‘ini baik’, atau ‘kau melaksanakan sesuatu yang buruk’. Kalimat mirip ini disebut SMU. Jadi, SMU ialah kombinasi dari butir-butir leksikon makna asali yang membentuk proposisi sederhana sesuai dengan perangkat morfosintaksisnya.
Unit dasar SMU sanggup disamakan dengan “klausa”, dibuat oleh substantif dan predikat, serta beberapa elemen tambahan sesuai dengan ciri predikatnya. Contoh pola SMU antara lain ialah
a. Aku melihat sesuatu di daerah ini.
b. Sesuatu yang jelek terjadi padaku .
c. Jika saya melaksanakan ini, orang akan menyampaikan sesuatu yang jelek wacana aku.
d. Aku tahu bahwa kau orang yang baik.
Pola kombinasi yang berbeda dalam SMU mengimplikasikan gagasan pilihan valensi. Contohnya, elemen MELAKUKAN, selain memerlukan “subjek” dan “komplemen” wajib (seperti ‘seseorang melaksanakan sesuatu’), juga “pasien” (seperti ‘seseorang melakukan sesuatu pada seseorang’). Begitu pula, MENGATAKAN, di samping memerlukan “subjek” dan “komplemen” wajib (seperti ‘seseorang menyampaikan sesuatu’), juga “pesapa” (seperti ‘seseorang menyampaikan sesuatu pada seseorang’), atau “topik” (seperti ‘seseorang menyampaikan sesuatu tentang sesuatu’), atau “pesapa” dan topik” (seperti ‘seseorang menyampaikan sesuatu pada seseorang wacana sesuatu’).
Tiga konsep dasar di atas, yaitu makna asali, polisemi, dan sintaksis makna universal sangat relevan diterapkan pada bahasa Indonesia. Konsep aloleksi hanya cocok untuk bahasa yang mempunyai infleksi dan kasus.
BAB III SIMPULAN
Kategori gramatikal yang banyak diikuti, membagi kata menjadi dua kelompok besar, yaitu (1) kelompok yang disebut kata penuh (full word) dan (2) kelompok yang disebut partikel atau kata kiprah (function word). Ke dalam kelompok pertama termasuk kata dan kelas verbal, nominal, ajektival, dan adverbial; dan ke dalam kelompok kedua termasuk kata-kata yang disebut preposisi, konjungsi, dan interjeksi.
Kategori gramatikal mengkaji wacana (1) kategori nominal yang terbagi atas sepuluh tipe, yaitu: orang, institusi, binatang, tumbuhan, buah-buahan, bunga-bungaan, peralatan, makanan-minuman, geografi, materi baku; (2) kategori lisan terdiri dari duabelas tipe, yaitu: tindakan, pengalaman, pemilikan, lokasi, proses, proses-pengalaman, memperoleh atau merugi, lokatif, keadaan, keadaan pengalaman, keadaan benefaktif, dan keadaan lokatif; (3) kategori adjektival; (4) kategori pendamping, meliputi: pendamping nomina, pendamping verba, pendamping ajektiva, dan pendamping klausa; (5) kategori penghubung, meliputi: penghubung koordinatif dan penghubung subordinatif.
Teori MMA memakai konsep makna asali, polisemi, aloleksi, dan sintaksis makna universal dalam analisis makna. Cirinya ialah membatasi makna kata dengan memakai teknik parafrase. Skenario semantis disusun dari perangkat makna asali dan melalui perangkat itu sanggup diungkapkan persamaan dan perbedaan makna kata. Deskripsi maknanya bersifat tuntas dan tidak berputar-putar.
DAFTAR PUSTAKA
Agnes, Michael (Ed). 2001 (1999). Webster’s New World College Dictionary (Edisi ke-4). Cleveland: IDG Books Worldwide, Inc.
Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Cruse, Alan.200. Meaning in Language. An Introduction to Semantics and Pragmatics. Oxford : University Pres
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Reneka Cipta.
------------------------. Sintaksis Bahasa Indonesia. Jakarta: Reneka Cipta.
Fromkin, Victoria dan Robert Rodman. 1998. An Introduction to Language (Edisi ke-6). Orlando: Harcourt Brace College Publishers.
Lyons, John. 1996/1995. Linguistic Semantics. Cambridge: Cambridge University Press.
Matthews, Peter. 1997. The Concise Oxford Dictionary of Linguistics. Oxford: Oxford University Press.
Russo, Vito. 1993. History of Motion Pictures. Microsoft Encarta 96 Encyclopedia © 1993-1995 Microsoft Corporation.
Saeed, John.I. 2000/1997. Semantics. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.
Suwandi, Sarwiji. 2008. Semantik Pengantar Kajian Makna. Yogyakarta: Media Perkasa.
Tarigan, HG. 1983. Prinsip-prinsip dasar Sintaksis. Bandung: Angkasa
0 Komentar untuk "Katagori Gramatikal, Item Leksikal Dan Leksikal Universal"